Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@uinmadura.ac.id

Pesantren sebagai Benteng Pemertahanan Ekosistem Syi'ir Madura

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Senin, 1 Desember 2025
  • Dilihat 7 Kali
Bagikan ke

Oleh: Dr. Moh. Hafid Effendy, M.Pd.

(Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Madura dan Ketua Yayasan Pakem Maddhu)

Di tengah derasnya arus modernisasi yang melaju tanpa ampun, kebudayaan lokal sering kali menjadi korban yang berjalan tertatih. Syi’ir Madura yang notabene warisan lisan memadukan keindahan sastra, nilai-nilai religius, dan filosofi hidup orang Madura. Hal ini mengalami nasib serupa. Ia tetap hidup, tetapi perlahan kehilangan ruang tumbuhnya. Di sinilah pesantren hadir sebagai salah satu institusi yang paling konsisten menjaga keberlanjutan ekosistem syi’ir Madura, baik sebagai media pendidikan moral, sarana dakwah, maupun sebagai identitas kultural masyarakat.

Syi’ir Madura memiliki karakteristik unik; berirama, religius, dan sarat pesan etika kehidupan. Di masa lalu, ia menjadi media utama transmisi nilai, mulai dari pendidikan akhlak, penguatan ketauhidan, hingga tata pergaulan masyarakat. Namun, kini generasi muda tumbuh dalam budaya digital yang instan. Mereka mengenal musik-musik viral, tetapi jarang mengenal syi’ir “Bismillah” atau syi’ir Carètana Orèng Matè”, yang dulu menjadi pengantar tidur anak-anak Madura. Perubahan ini tidak hanya soal selera, tetapi menyangkut hilangnya ekosistem budaya yang selama berabad-abad menjadi akar identitas Madura.

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara, masih memiliki napas panjang untuk merawat tradisi tersebut. Bagi pesantren, syi’ir bukan sekadar karya sastra; ia adalah medium dakwah yang hidup, dalam konteks pengajian, syi’ir dibacakan sebelum ngaji kitab, sebagai pengantar untuk melunakkan hati santri. Irama syi’ir yang lembut memungkinkan nilai agama dan nasihat moral mudah masuk ke hati tanpa paksaan. Karena itu, keberadaan syi’ir di pesantren bukan perkara hiasan budaya, tetapi bagian dari metode pendidikan.

Lebih dari itu, pesantren mempertahankan syi’ir biasanya melalui tiga cara utama. Pertama, transmisi langsung. Pengasuh pesantren, ustaz, dan kiai sering kali membaca syi’ir di berbagai momentum: pengajian rutin, khatmil qur’an, haul, hingga acara-acara selamatan. Santri yang mendengarkan secara berulang otomatis menyerap dan menghafal syi’ir tersebut. Hubungan guru-santri yang dekat membuat tradisi ini bertahan tanpa perlu kurikulum khusus.

Cara kedua, penggunaan syi’ir sebagai alat pembelajaran. Banyak pesantren di Madura menggunakan syi’ir berbahasa Madura untuk memperkenalkan kaidah dasar akhlak, fiqih, dan tauhid. Syi’ir “Laa ilaha illallah, dan Carètana Orèng Matè” misalnya, menjadi media yang efektif untuk menanamkan pesan keagamaan. Bahasa Madura yang sederhana dan ritme yang khas membuat santri mudah memahami dan mengingat isi ajaran. Hal ini menunjukkan bahwa syi’ir tidak hanya dilestarikan, tetapi juga dimaknai ulang sesuai kebutuhan pendidikan Islam.

Cara ketiga, pelestarian melalui praktik budaya pesantren. Banyak pesantren di Madura menggelar lomba baca syi’ir, latihan seni hadrah yang memasukkan syi’ir Madura, hingga penciptaan syi’ir baru yang relevan dengan isu-isu kekinian. Tradisi ini berkembang karena pesantren tidak hanya mempertahankan yang lama, tetapi juga memperbarui sesuai perkembangan zaman. Dengan cara inilah ekosistem syi’ir Madura tetap bernapas, bahkan memiliki kesempatan untuk berkembang di generasi-generasi berikutnya.

Namun tantangan tetap ada. Arus digital yang serba cepat membuat budaya lisan seperti syi’ir kurang diminati. Anak muda lebih tertarik membuat konten TikTok daripada menghafal syi’ir. Jika pesantren tidak merespons perubahan ini, syi’ir berisiko terpinggirkan. Karena itu, pesantren perlu bertransformasi dengan memanfaatkan teknologi. Banyak pesantren mulai mendokumentasikan syi’ir dalam bentuk video, membuat kanal YouTube  atau menerbitkan buku syi’ir. Langkah-langkah ini patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa pesantren tidak terseret nostalgia, tetapi progresif dalam merawat identitas budaya.

Selain itu, kolaborasi pesantren dengan perguruan tinggi, lembaga kebudayaan, dan pemerintah daerah juga sangat penting. Seperti Komunitas Sintong yang ada di Ambunten Tengah Kabupaten Sumenep, kajian ilmiah tentang syi’ir Madura yang dilakukan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI bersama Yayasan Pakem Maddhu dan LPPM UIN Madura dapat memperkuat legitimasi akademik dan membuka ruang baru untuk pengembangan kurikulum kultural di pesantren dan perguruan tinggi. Pemerintah kabupaten di Madura juga dapat memasukkan syi’ir sebagai bagian dari program pelestarian budaya dengan memberikan penghargaan bagi pesantren yang aktif mengembangkan tradisi syi’ir.

Pada akhirnya, pesantren telah membuktikan diri sebagai benteng kokoh penjaga ekosistem syi’ir Madura. Jika tidak ada pesantren, mungkin syi’ir akan tinggal sebagai catatan sejarah dalam buku-buku folklor. Namun kenyataannya, syi’ir masih hidup, masih dibacakan, dan masih menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Madura. Hal ini berkat kerja panjang pesantren yang sering kali tidak terlihat tetapi terasa dampaknya.

Syi’ir bukan hanya warisan masa lalu, melainkan cermin nilai dan cara hidup masyarakat Madura. Selama pesantren tetap menjaga tradisi ini, syi’ir Madura tidak akan pernah kehilangan masa depan. Sebaliknya, ia justru memiliki kesempatan untuk memancarkan kembali cahaya kebijaksanaan yang telah lama menjadi ruh kebudayaan Madura. Pesantren, dengan segala kekuatan moral dan kulturalnya, terbukti mampu menjaga nyala syi’ir agar tetap hidup, relevan, dan bermakna bagi generasi kini dan mendatang.

 


Editor: Achmad Firdausi