Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

Kartini dan Candu Literasi

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Senin, 30 Mei 2016
  • Dilihat 37 Kali
Bagikan ke

Ditulis oleh. Nur Holis

Pengisahan Kartini selalu menggairahkan. Buah pikirnya menjadi catatan abadi literasi memuat autobiografi dan kegelisahan diri. Ia feminis cerdas yang dipuji meski lemah hati. Berikhtiar melawan tradisi dari balik tembok kekuasaan sang ayah sendiri. Ia dipoligami Bupati Rembang, Adipati Djojoadiningrat, sesuatu yang sangat ia tentang dan benci.

Hidupnya memang gelap-terang. Perkenalannya dengan Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara Ovink membuka jalan gagasan awal intensitas pemberontakannya terhadap adat istiadat, feodalisme, dan poligami. Kartini merasa terbelenggu, kebebasannya sebagai manusia juga terasa dirampas. Untuk itu ia berusaha melepaskan diri dengan berliterasi, satu-satunya cara paling terbuka untuk menyuarakan segala ketidakadilan menurutnya.

Pemikiran Kartini sangat mungkin dipengaruhi oleh Marie dan Estelle Zeehandelar yang biasa Kartini panggil Stella, feminis Belanda yang menjadi sahabat penanya. Kartini kemudian dicuriagi karena dianggap bergerak di balik bayang-bayang ide kolonial. Penobatannya sebagai pahlawan oleh Sukarno di tahun 1964 menuai kritik dari beberapa tokoh.

Sejarawan Harsja W. Bachtiar menganggapnya tidak lebih baik dari Dewi Sartika dan Rohana Kudus, yang dinilai lebih berhasil mewujudkan impian mereka. Harsja menilai Kartini tak lebih dari “pahlawan” yang dibesarkan belanda. (Tempo, 22-28 April 2013).   

Tapi, bagaimanapun Kartini adalah simbol perlawanan perempuan paling sangar di negeri ini. Buku-buku dari berbagai macam perspektif kehidupannya yang pendek ditulis dan diterbitkan. Pembacaan terhadap Kartini berusaha keluar dari simplifikasi peran sejarah dan identitas diri. Ia tidak hanya merefleksikan ide emansipasi sebagai bentuk reaksi diri. Tapi, pemikiran-pemikirannya juga dinilai turut serta merekonstruksi spirit nasiolanisme. Ide-ide cemerlang Kartini dijelmakan menjadi antologi surat-surat berjudul, Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) dan buku yang lebih lengkap berjudul, Kartini: Brieven aan Mevrou R.M. Abendanon-Mandri en Haar Echtgenoot (Kartini: Surat-Surat kepada Ny. R.M.  Abendanon-Mandri dan Suaminya). Dua-duanya adalah ejawantah gagasan-gagasan perlawanan Kartini. Pelampiasan kegelisahan habis-habisan seorang perempuan bangsawan Jawa. 

Disinilah keistimewaan Kartini. Namanya moncer sebagai pengibar bendera feminisme, emnasipasi, kesetaraan gender paling awal di Indonesia karena ia tidak hanya bergerak dengan tubuh. Tapi dengan pikiran dan tulisan. Imajinasinya melambung tinggi melampaui zamannya. Kehendak hidup maju sebagaimana wanita-wanita moderen Belanda dikonstruksi melalui penyamaratakan hak memperoleh pendidikan yang sama dengan anak-anak kolonial.

Kartini sebenarnya mendambakan sekolah ke Belanda. Politik etis Belanda membuka ruang akses pendidikan dan informasi anak-anak bumiputera saat itu. Ia mendapat beasiswa ke Holland atas rekomendasi seorang anggota parlemen dan Mentri Seberang Lautan Kerajaan Belanda. Tapi tidak berangkat setelah berhasil diyakinkan oleh Jacques Henrij Abendanon bahwa belajar ke Eropa hanya akan merugikan cita-citanya, seperti yang tertulis di majalah Tempo edisi 21-28 April 2013. 

Hal ini kemudian diandaikan-dipertanyakan oleh Hilmar Farid, sejarawan. Seandainya Kartini berangkat ke Eropa, apakah ia akan terasing di negeri orang lain dan kembali ke negerinya sebagai orang asing? Ataukah biasa saja seperti banyak anak perempuan jajahan yang sekolah di Eropa lalu pulang dan melakukan gerakan-gerakan pendidikan, seperti Soewardi Soerjaningrat? Atau ia akan memilih tinggal di Eropa, dan di bawah pengaruh sahabat penanya, Stella,  kemudian bergabung dengan SDAP (Partai Buruh Sosial Demokrat) mewakili kaum imigran?

Terlepas dari segala kemungkinan di atas, Kartini kemudian menulis surat kepada Stella. “Sungguh sikap penakut yang tak terampuni, bahwa kami tidak segera mengabari kau. Bahwa kami untuk sementara tidak akan menikmati buah jerih payah kalian. Tak ada orang yang lebih heran daripada kami sendiri bahwa keadaan akhirnya menjadi begini. Segala kemungkinan dapat kami harapkan, namun tak pernah kami bayangkan bahwa kami dengan kemauan sendiri akan memutuskan: kami tetap tinggal di sini.” Surat memuat penyerahan diri dengan keteguhan hati tak terampuni. 

Kartini masih menulis surat ini dengan gelora perlawanan dan ketidakmengertian justru pada diri sendiri. Surat-surat Kartini bukan sebatas bentuk ekspresi diri tanpa substansi. Sebab itu surat-suratnya kemudian menjadi penting sebagai warisan literasi.  

Armijn Pane, penerjemah surat-surat Kartini yang kemudian diterbitkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang memberi apresiasi menarik. Menurut Armijn, ada tiga perkara yang membuat Kartini dan surat-suratnya itu penting dan patut menarik perhatian, ialah pertama: cita-cita, kedua: perjuangan di jiwanya dan perjalanan rohaninya yang berubah lambat laun, ketiga: gaya bahasanya.

Demikianlah Kartini. Ia melawan tradisi meski nasib tak memihak diri. Hatinya getir tubuhnya tak berdaya ketika harus menjalani masa pingitan. Tapi pikirannya meletup-letup membiaskan semangat pembebasan. Cita-citanya yang mulia amat tinggi tak terlampaui. Dan ia pecandu literasi.