Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

1 Muharram dan Berbagai Infeoritas Muslim

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 14 Oktober 2016
  • Dilihat 43 Kali
Bagikan ke

Oleh Mohammad Subhan Zamzami, Lc., M. Th.I (Dosen Tetap STAIN Pamekasan) Pada 01 Oktober 2016, tanpa diduga Pemeritah Saudi Arabia secara resmi memutuskan kebijakan yang mengejutkan Dunia Islam, yaitu tidak lagi menggunakan sistem kalender Hijriah seraya beralih ke sistem kalender Gregorian atau Masehi.

Mengejutkan karena tiga hal utama. Pertama, Saudi Arabia merupakan salah satu negara yang mengkleim diri berdasarkan syariat Islam, bahkan paling formalistik-legalistik di antara negara Islam lain. Kedua, pengambilan keputusan ini justru terjadi hanya selang satu-dua hari sebelum perayaan tahun baru Islam, 1 Muharam 1438 H, yang jatuh pada hari Senin, 03 Oktober 2016, atau tepatya dimulai sejak Ahad malam, 02 Oktober 2016. Ketiga, meski keputusan ini hanya berlaku pada sistem pembayaran gaji pegawai negeri Saudi Arabia sebagai kebijakan pada sektor ekonomi, tapi dampak psikologis sebagian umat Islam terutama kalangan awam tentu tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai akibat “kategorisasi minimalis” kalender Hijriah sebagai salah satu simbol agama, yang justru sebagian mulai ditinggalkan oleh negara Islam terkemuka di dunia itu.

Sebagai negara Islam terkemuka, Arab Saudi seharusnya tetap mempertahankan penggunaan sistem kalender Hijriah untuk pembayaran gaji pegawai negerinya dan mencari alternatif lain yang masih terbuka, sehingga tetap konsisten dengan ciri dan simbol keislamannya. Karena bagaimana pun juga, hanya segelintir negara di dunia yang menggunakan sistem kalender Hijriah, sementara negara lain yang mayoritas penduduknya Muslim hanya menjadikan kalender Hijriah sebagai “pelengkap” kalender Masehi, yang biasanya hanya digunakan untuk peringatan hari besar tertentu.

Dari perspektif budaya, posisi sekadar menjadi “pelengkap” dan bukan “pemain utama” dalam penanggalan saja, sudah cukup sebagai bukti bahwa kebudayaan Islam semakin hari semakin tersingkir dari persaingan budaya. Padahal budaya merupakan karakteristik utama sebuah komunitas. Sebuah komunitas yang kehilangan karakteristik utamanya tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan satu dari dua hal: (1) tunduk pada budaya lain dan menirunya atau (2) bangkit melawan budaya lain itu dengan menawarkan inovasi budaya sendiri. Ibnu Khaldun (1332-1406), sosiolog Muslim, pernah menyinggung opsi pertama di atas. Menurutnya, peradaban kecil cenderung mengikuti peradaban yang lebih besar. Dengan kata lain, mereka yang memiliki tata sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan yang kurang dikenal dan dipraktikkan oleh komunitas lain akan meniru dan mengekor peradaban komunitas lain yang lebih maju dan mendominasi segala aspek kehidupan manusia. Dominasi penggunaan kalender Masehi dan tersingkirnya kalender lain, seperti kalender Hijriah, Cina, Budha, Jawa, dan lainnya, adalah bukti konkretnya; komunitas non-Barat-Kristen lebih suka menggunakan kalender Masehi yang identik dengan Barat-Kristen.

Selain kalender, dominasi penggunaan Bahasa Inggris, busana, dan tata krama atau gaya berinteraksi ala Barat di komunitas orang Timur terutama Indonesia adalah contoh lain. Sebenarnya, fenomena semacam ini berbahaya bila tetap terus berlanjut, karena ciri peradaban adalah sarat nilai dan inilah bentuk nyata penjajahan dari aspek kebudayaan itu. Thaha Husain (1889-1973), bapak sastra Arab modern, dalam Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr dengan tegas mengajak kita agar meniru total semua yang berasal dari Barat, baik dan buruknya sekaligus.     Di sisi berseberangan, Ismail R. Faruqi (1921-1986) mencetuskan ide islamisasi sebagai defense dan counter attack terhadap hegemoni peradaban Barat, terutama di bidang sains. Menurut pendukung ide ini, sains modern di Barat dibangun berdasarkan nilai-nilai budaya dan peradaban Barat, sehingga perlu diislamkan.

Terlepas pro dan kontra terhadapnya, ide ini ingin menepis inferioritas budaya dan peradaban Islam meski pada saat yang sama juga menyiratkan kekalahannya di hadapan budaya dan peradaban Barat. Kekalahan demi kekalahan, mulai dari bahasa, busana, pergaulan, dan kalender Hijriah, semakin hari semakin tampak. Kekalahan ini bermuara dari inferioritas sebagian umat Islam terhadap superioritas budaya lain, sehingga budaya Arab-Islam atau Nusantara-Islam terkesan ketinggalan zaman dan ndeso. Sebagai imbasnya, mereka malu dengan budaya sendiri dan beralih ke budaya lain bahkan bangga dengannya. Salah satunya adalah perayaan 1 Muharam sebagai tahun baru kalender Hijriah, yang tidak semarak perayaan 1 Januari sebagai tahun baru kalender Masehi. Sebagian orang boleh saja menganggap bahwa kemeriahan perayaan bukan tolak ukur inferioritas-superioritas sebuah budaya, tapi fakta bahwa perayaan merupakan momen penting sebagai peneguh dan perekat sebuah budaya tidak bisa dinafikan. Apalagi Nabi sering merayakan momen-momen tertentu terkait dengan diri dan risalahnya. Risalah Islam sebagai sumber budaya dan peradaban Islam, yang mengatur tentang tata krama dan busana serta identik dengan Bahasa Arab dan kalender Hijriah, harus terhujam kuat dalam diri umat Islam, sehingga mereka bangga terhadap budaya mereka yang bernafaskan agama.

Perasaan bangga terhadap budaya sendiri merupakan wujud apresiasi terhadapnya dan modal penting dalam menghadapi persaingan budaya. Tanpa adanya peneguhan nilai-nilai agama, apresiasi terhadap budaya sendiri, dan inovasi ilmu dan budaya, sikap inferior akan selalu membayangi umat Islam. Sebaliknya, bila umat Islam senantiasa meningkatkan peneguhan nilai-nilai agama, apresiasi terhadap budaya sendiri, dan inovasi ilmu dan budaya, bukanlah sesuatu yang mustahil bila budaya dan peradaban Islam akan kembali menghegemoni dunia seperti pada abad-abad awal Islam/abad pertengahan Masehi, yang ditiru, diikuti, dan dikembangkan oleh budaya dan peradaban lain. Pernyataan ini tentu tidak berlebihan, karena menurut Max Weber (1864-1920), agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. []