Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

HEGEMONI PERLAWANAN MURID TERHADAP GURU

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 19 Mei 2017
  • Dilihat 142 Kali
Bagikan ke

Oleh: Achmad Muhlis

Perlawanan merupakan segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim yang dibuat oleh pihak atau kelompok superdinat terhadap mereka. Perlawanan ini, akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidak-adilan di tengah-tengah mereka. Jika situasi ketidak-adilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan (apa yang disebut sebagai) gerakan sosial atau social movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.

Guru dalam hal ini memiliki otoritas, wewenang yang juga bisa memiliki sebuah kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan Weber merupakan kemampuan orang atau kelompok yang dapat memaksakan kehendaknya pada pihak-pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan. Perlawanan atau gerakan sosial yang dilakukan diakui atau tidak merupakan gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap sistem sosial yang ada. Karena memiliki orientasi pada perubahan, yang dianggap lebih mempunyai kesamaan tujuan, dan bukan kesamaan analisis .

Dalam hal ini, ada beberapa jenis dan bentuk perlawanan murid terhadap guru sebagai bentuk gerakan sosial yang berorientasi untuk melakukan perubahan mendasar dalam pembelajaran, sehingga guru “dipaksa” dan “dipangkas” otoritasnya dalam mengembangkan pembelajarannya, antara lain; Pertama, Perlawanan verbal. Ini dilakukan murid terhadap guru tergolong cukup menarik yakni ketika guru bertemu dengan murid atau sebaliknya, murid atau guru selalu mengucapkan salam “assalamu’alaikum”. Hal ini dilakukan guru karena mayoritas sekolah dan madrasah memberlakukan aturan bahwa setiap guru harus menunggu dan menyapa muridnya dengan sapaan yang ramah, menyejukkan dan berwibawa yang dilakukan di depan pintu masuk sekolah atau madrasah, yang seharusnya direspon baik dan positif oleh murid dengan menjawab “wa’alaikumussalam”, tapi disini justru didiamkan sebagai bentuk protes atau perlawanan terhadap tindakan guru yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan. Perlawanan verbal ini juga dimungkinkan terjadi juga didalam kelas, misalnya, guru menyapa muridnya dengan sapaan “kaifal hal?”, menegur dengan “min aina anta?”, atau berterima kasih dengan “Syukron katsir”, tapi para murid cenderung menjawab dengan jawaban yang seharusnya tidak perlu diungkapkan atau dengan gaya bahasa “mengejek” atau intonasi suara yang ketus dan lain-lain. Itu semua dilakukan sebagai gejolak social atau penolakan murid terhadap guru dalam pembelajaran. Perlu disadari bersama, bahwa seharusnya tingkah laku yang bermoral, merupakan sikap yang akan selalu dilakukan oleh murid. Hal ini sesuai dengan pendapat Elida , seorang murid dituntut melakukan tindakan sesuai dengan aturan etika moral karena salah satu tugas perkembangan murid adalah memiliki seperangkat nilai yang memungkinkan murid sukses menjadi orang bermoral. Murid yang sukses melakukan tingkah laku moral baik sesuai dengan aturan norma maupun etika, tidak terlepas dari pengaruh orang tua dan guru sebagai model pencontohan murid.

Menurut Bandura dan Gewirtz, murid itu berkembang moralnya apabila dalam kehidupannya ia dapat meniru orang di sekitarnya yang juga bertingkah laku sesuai moral. Kedua, Perlawanan fisik; ini dilakukan murid terhadap guru bersamaan dengan perlawanan verbal yang dilakukan oleh murid, seperti ketika mengucapkan salam, maka murid akan berjabatan tangan, ada kontak fisik antara murid dan guru atau berjabatan tangan antar sesama murid, ini menunjukkan ada keakraban yang terjadi setiap saat ketika bertemu, seolah-olah tidak ada persoalan. Disamping itu juga dibarengi dengan senyuman yang membuat orang lain juga bisa tersenyum, sembari memberikan singal bahwa apa yang ucapkan serta kontak fisik yang dilakukan dengan berjabat tangan, sebanding dengan apa yang dirasakan. Disisi lain murid enggan melakukan kontak fisik dengan guru walau hanya berjabatan tangan, hal itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa murid telah berani menolak kebiasaan positif yang menjadi tradisi, dan cenderung memalingkan wajah serta cemberut didepan guru. Perlawanan fisik seperti ini sebetulnya sangat merugikan dan mempengaruhi terhadap mental, minat, motivasi belajar kedua belah pihak yakni guru dan murid, serta dapat mempengaruhi semangat belajar dan menjagar di lingkungan Madrasah. Prilaku murid yang seperti ini sebagai jawaban terhadap tindakan guru yang dianggap berlebihan, misalnya dengan memberikan pembelajaran kepada siswa dengan cara memukul, mencubit dan menjewer, dan kekerasan fisik lainnya, sebagai akibat dari ulah siswa yang tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang telah disampaikan sebelumnya, yang pada akhirnya murid akan melakukan perlawanan fisik dengan menantang untuk berkelahi, malah bisa saja dibarengi dengan pelaporan pada pihak yang berwajib sebagai bentuk penganiayaan. Padahal tujuan pemberian sanksi fisik ini agar murid jera dan tunduk serta patuh pada perintah guru.

Sanksi fisik ini diberikan tidak untuk menyakiti tapi untuk memberikan pembelajaran bagi murid agar tidak nakal dan mau mengikuti aturan dan etika yang ada di sekolah atau madrasah. Sikap yang diperlihatkan dan ditunjukkan guru dalam interaksi ini, sebagai upaya melakukan sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut dan mereka sepakati. Nilai-nilai yang didapat peserta didik dari lingkungannya, akan mempengaruhi tingkah laku mereka terhadap orang lain termasuk kepada guru di sekolah dan madrasah. Menurut Mohammad Ali, peserta didik yang berada di fase remaja akan mulai merasakan pentingnya tata nilai yang menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya menuju kepribadian yang matang. Ketiga, Perlawanan emosional; ini dilakukan murid terhadap guru saat proses pembelajaran didalam kelas maupun diluar kelas, misalnya guru menjelaskan materi atau sub materi yang dapat menggangu psikis dan mental murid, sehingga secara tidak disengaja guru membuat siswa tersinggung, sebagai akibatnya murid akan merasa dendam dan tidak mau memberikan sapa’an yang seharusnya dilakukan murid. Guru menjadi serba salah dalam mengembangankan dan memperbaiki karakter serta prilaku murid. Perlawanan jenis ini, seolah-olah menggambarkan tidak adanya konflik antara murid dan murid. Konflik yang ada seakan-akan sudah mampu diatur dan dikondisikan dengan baik. Disamping itu, murid juga harus mampu menyesuaian diri sebagai peserta didik dalam belajar. Menurut Mohammad Ali, penyesuaian diri yang positif ditandai dengan kepercayaan terhadap diri sendiri, orang lain dan segala sesuatu di luar dirinya sehingga tidak pernah merasa tersisih dan tersingsung, apalagi sampai melakukan perlawanan psikis. Perlu disadari bersama, bahwa pendidikan dan pembelajaran merupakan social machine yang bertanggungjawab untuk merekayasa masa depan masyarakat muslim Indonesia. Guru memiliki tugas dan fungsi untuk membantu mempersiapkan para murid agar memiliki ilmu dan pengetahuan yang memadai, komperehensif, berakhlak mulia, serta bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitarnya. Namun akhir-akhir ini, eksistensi guru seringkali dinodai oleh fakta yang tidak mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai guru, seperti adanya pengaduan dan atau pelaporan orang tua dan masyarakat terhadap “kekerasan” yang dilakukan guru, ketika melaksanakan tugasnya di Madrasah/Sekolah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Undang-Undang Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya untuk melindungi anak Indonesia dari perlakuan sewenang-wenang. Namun, nyatanya sering “diperalat” untuk membenarkan kesalahan anak. Hal semacam ini berdampak bagi guru dalam melaksanakan tugas kependidikan, yakni menegakkan kedisiplinan, membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji.

Ada beberapa langkah yang perlu dijadikan pertimbangan oleh guru dalam menghadapi murid yang melanggar norma maupun etika, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid, tentang prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 sampai 3 kali dengan ikut melibatkan guru Bimbingan Konseling. Kedua, bila selama 2 sampai 3 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, guru bisa memberikan hukuman, baik hukuman verbal, fisik, maupun emosional dengan syarat: (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital, jika hukumannya fisik. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik, baik verbal, fisik maupun emosional. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis murid.

Bila Undang Undang Nomor 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogyanya diiringi dengan adanya Undang Undang Profesi Pendidik. Meskipun dalam Undang Undang Nomor 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam tataran implementasi kekuatan Undang Undang tersebut masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah saatnya, jika guru membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas. Wa‘allahua’lam bi al-Shawab. (*) *Guru Madrasah Diniyah “Raudlatul Athfal” Kembang Kuning, Lancar, Larngan Pamekasan, email: ach_muhlis@yahoo.co.id