Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

RAMAH LINGKUNGAN; Keteladanan Rasulullah Terabaikan

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Selasa, 28 November 2017
  • Dilihat 129 Kali
Bagikan ke

OLEH : ACHMAD MUHLIS (Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAIN Pamekasan) email: ach_muhlis@yahoo.co.id

PROLOG

Rasulullah Muhammad saw merupakan panutan yang tidak pernah habis dibicarakan dan diikuti sunnahnya, menjadi teladan yang baik bagi seluruh umat manusia dimuka bumi ini, bahkan tidak akan putus sampai hari kiamat-pun tiba. Teladan yang baik (uswah hasanah) ini, tidak bisa dibandingkan dan ditandingi dengan tokoh lainnya di dunia maupun diakhirat, karena semua teladannya termaktub dan terurai lengkap dalam al-qur’an dan hadist-nya yang setiap saat kita baca, kita renungi dan kita laksanakan. Momentum bulan rabi’ual awal ini yang dikenal ditengah masyarakat sebagai bulan maulid merupakan saat yang tepat untuk merefleksikan kembali keteladanan Rasulullah baik Substantif maupun Fungsional yang melekat seutuhnya pada diri Rasulullah, dengan menyatukan dua keteladan yakni Keteladanan SUBSTANTIF (Uswah Asasiyah) maunpun keteladanan FUNGSIONAL (Uswah Wadzifiyah), tanpa harus memilih dan membedakan keduanya.

Pertama, Keteladan SUBTANTIF (Uswah Asasiyah), yakni keteladanan Rasulullah dalam menjalin hubungan dan komunikasi secara intensif kepada ALLAH serta dalam menjalankan ibadah wajib maupun sunnah seperti shalat, zakat, puasa. Haji dan ibadah lainnya. Rasulullah memberikan teladan atau memberikan contoh kepada umatnya dengan cara berdiri lama ketika melakukan sholat dimalam hari sehingga kakinya bengkak, menghabiskan waktu malam dengan sholat dan dzikir. Padahal sudah jelas Rasulullah adalah ma’sum (dihapus dosa-dosanya) dan lain-lain.

Betapa banyak hadist-hadist yang mengambarkan keteladan Substantif ini, seperti perintah untuk tidak meninggalkan shalat dan beri’tikaf di Masjid pada bulan Ramadhan, dorongan yang kuat bagi umatnya untuk melakukan shalat berjamaah lebih baik dari pada shalat sendiri dan lain-lain, yang pada intinya, Rasulullah memberikan motivasi dan sugesti kepada umatnya agar mau dan memaksakan dirinya untuk bisa meneladani Rasulullah Muhammad SAW dalam berhubungan dengan Allah Sang Pencipta Alam Semesta. Dalam beberapa hadist yang patut kita teladani dalam kerangka mendekat dan mendapat ridlo Allah, Rasulullah menganjurkan antara lain, agar melaksanakan shalat sunnah dua rokaat setelah shalat maghrib sebelum berbicara, maka akan disiapkan tempat di surga ‘illiyyin, begitu juga ketika seseorang mengerjakan shalat sunnah empat rokaat setelah isya’ sebelum berbicara, maka pahalanya seperti bertemu malam lailatul qadar di masjidil haram, dan lain sebagainya. Itu semua merupakan stimulus yang diberikan Rasulullah sebagai teladan yang baik untuk direspon oleh umatnya. Walaupun demikian, kadangkala umatnya tidak merespon positif terhadap stimulus yang diberikan Rasulullah karena tidak tahu dan tidak paham bahwa hal tersebut merupakan teladan dari Rasulullah.

Kedua, Keteladanan FUNGSIONAL (Uswah Wadzifiyah), yakni keteladanan Rasulullah dalam menjalin hubungan dan komunikasi dengan sesama makhluq baik hubungannya dengan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun makhluq lainnya.

Keteladanan ini merupakan hakikat nyata dari penciptaan makhluk berupa manusia, hewan maupun tumbuhan-tumbuhan, karena tiga jenis makhluk ini harus bersinergi antara satu dengan lainnya, saling memahami, saling memaknai, saling dukung dan saling mengalah bukan merasa benar sendiri, egois, hidonis, hipokrit dan lain-lain, sehingga alam ini menjadi kondusif, tenteram, aman dan sejuk karena ketiganya, makhluk inilah yang menjadi penentu untuk selalu ramah pada makhluk lainnya.

Keteladan ini sering diabaikan oleh umatnya karena seolah-oleh bukan pekerjaan sunnat diajarkan oleh Rasullah. Padahal keteladanan Fungsional ini sangat bermakna bagi kehidupan manusia dimuka bumi ini untuk bersinergi dengan makhluk lainnya, seperti Rasulullah memerintahkan untuk tidak merusak lingkungan sekitar kita seperti tumbuh-tumbuhan agar terhindar dari bencana alam, seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, badai maupun gempa bumi. Bencana alam seperti itu terjadi karena merupakan konsekuensi logis dari kombinasi aktivitas alam dan aktifitas manusia karena ketidak berdayaan manusia sebagai makhluk serta akibat kurang bijaknya manusia terhadap alam sekitar, sehingga menyebabkan kerugian material maupun non material.

Rasulullah memerintahkan untuk menanam tatanam atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain, Rasulullah juga memerintahkan untuk memelihara dan menyanyangi binatang-binatang piaraan dan lain-lain. Yang bertujuan demi kemaslahatan kehidupan manusia pada masa-masa yang akan datang.

Ada beberapa hadist yang menggambarkan keteladanan fungsional, antara lain seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim: Rasulullah SAW bersabda “tidaklah seorang muslim menanam tananam, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, ataupun hewan, kecuali baginya dengan tanaman itu adalah shodaqah”, hadist ini menunjukkan bahwa sedekah untuk semua jenis hewan dan makhluk bernyawa mendapatkan pahala. Rasullulah juga bersabda “barang siapa yang menebang pepohonan, maka Allah akan mencellupkannya ke dalam neraka”. Maksud hadis ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Daud, yakni ditujukan kepada seseorang yang memotong pepohonan secara sia-sia di sepanjang jalan, sehingga para musafir dan hewan tidak mendapatkan tempat berteduh.

Keteladanan Fungsional ini, didorong karena banyaknya ayat al-qur’an agar manusia tidak merusak lingkungan atau merusak hutan, sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqoroh ayat 11,“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi“, Dan surat Al-Baqoroh ayat 204-205, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.

Ayat tersebut menggambarkan bahwa hanya orang munafiq saja, yang selalu merusak bumi, tumbuh-tumbuhan dan hutan-hutan, lingkungan juga dicemari, buah-buahan serta binatang ternak dibinasakan. Lebih dahsyat lagi, jika orang munafiq ini sedang berkuasa, maka mereka akan membuat kerusakan dimana-mana, serta akan berbuat sesuka hatinya, sebagaimana tergambar dalam surat Ar-Rum ayat 41-42, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”. Ayat ini memperingatkan tentang kerusakan yang terjadi di dimuka bumi ini, baik di darat, laut maupun udara karena akibat ulah perbuatan manusia itu sendiri (manusia-manusia munafiq).

Kerusakan di darat terjadi dibeberapa tempat, seperti rusaknya hutan, hilangnya mata air, tertimbunnya danau-danau penyimpan air, lenyapnya daerah-daerah peresap air hujan dan sebagainya. Sedangkan Kerusakan di laut juga terjadi dimana-mana, seperti pendangkalan pantai, menghilangkan tempat-tempat sarang ikan, pencemaran air laut karena tumpahan minyak, dan lain sebagainya. Sehingga, ayat itu merupakan peringatan dari Allah untuk manusia, karena dampak negatifnya akan dirasakan manusia itu sendiri pada masa-masa yang akan datang.
IKHTITAM

Manusia kaffah itu adalah, manusia yang mampu dan bisa menggabungkan dua keteladanan Rasulullah (Substantif dan Fungsional) serta mampu berkreasi untuk menjaga harmonitas segi tiga, yakni keseimbangan ekologi: dirinya (manusia), hewan dan tumbuhan. Sebagaimana termaktub dalam al-qur’an Qs. 2: 30. Sehingga manusia harus bertanggungjawab terhadap apa yang diperbuat terhadap alam sekitarnya serta memelihara keseimbangan ekologi, dan memahami fitrahnya sebagaimana manusia yang mengerti maslahat dan kebutuhannya, sehingga dengan bekal itu semua, manusia harus tampil sebagai sosok yang “ramah lingkungan”, melindungi dan memelihara sesama dan lingkungannya. wallahu a’lam bis shawab.