HIJRAH DAN PERADABAN
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 12 Juli 2024
- Dilihat 1497 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Sebelum diganti nama menjadi Madinah, wilayah tujuan hijrah Nabi bernama Yatsrib, yakni sebuah daerah yang terletak di sebelah utara Mekah. Jaraknya sekitar 500 km dari Mekah. Saat hijrah, Nabi membutuhkan waktu 16 hari untuk sampai ke Yatsrib. Berangkat malam tanggal 12 September dan tiba tanggal 27 September 622 M (termasuk mampir bersembunyi di Gua Tsur 3 hari dan tinggal di Quba 4 hari). Saat ini, perjalanan dengan bus dari Mekah dicapai sekitar 6 jam, dan hanya 2,5 jam naik kereta api. Di tahun 2023, lima jamaah asal Inggris melakukan napak tilas dari Mekah ke Madinah dengan berjalan kaki mengikuti jalur yang dilewati Nabi saat hijrah. Mereka berjalan kaki sebanyak 12 jam perhari, dan sampai di Madinah pada hari ke 16.
Secara geografis, wilayah Yatsrib terdiri dari hamparan tanah yang subur sehingga cocok sebagai lahan pertanian. Karena itu, mayoritas penduduknya bercocok tanam dan beternak. Penduduk Yatsrib cukup heterogen, terdiri atas dua kelompok besar, yaitu kelompok Arab dan Yahudi. Kelompok Arab terdiri atas dua kelompok besar, suku Aus dan suku Khazraj.
Karena heterogen, penduduk Yatsrib tidak sepi dari konflik memperebutkan kepemimpinan. Pertikaian demi pertikaian menjadikan Yatsrib tidak aman dan tidak kondusif untuk membangun masyarakat yang ideal. Karena itu mereka berinisiatif mencari penengah (hakam) yang bisa meredakan pertikaian antar suku tersebut. Kehadiran Nabi sangat menggembirakan mereka karena beliau mampu menjadi penengah dan mempersatukan mereka dalam satu kesatuan wilayah yang disepakati bersama. Apalagi sebelum Nabi hijrah, sejumlah penduduk Yatsrib telah masuk Islam melalui Bai`at Aqabah I (621 M) dan Bai`at Aqabah II (622 M). Di wilayah Aqabah (sekitar 5 km dari Mekah), mereka berbai`at masuk Islam dan berjanji setia menyebarkan Islam ke penduduk Yatsrib.
Setelah berada di Yatsrib, Nabi segera membangun peradaban di wilayah ini. Hal ini ditunjukkan dengan mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, Madinatun Nabi (kota Nabi). Secara etimologis kata Madinah berasal dari akar kata yang sama dengan madanīyah dan tamaddun, yang artinya “peradaban”, “civilization”. Maka istilah madīnah dapat berarti “tempat peradaban, hidup beradab dan teratur dengan hukum-hukum yang ditaati oleh semua warga.”
Di antara peradaban yang dibangun Nabi adalah; Pertama, mempersaudarakan penduduk asli (Ansor) dan penduduk pendatang dari Mekah (Muhajirin) dalam ukhuwah Islamiyah yang kuat. Sahabat Muhajirin yang hijrah bersama Nabi, meninggalkan seluruh harta benda, kecuali yang bisa dibawa. Mereka datang ke Madinah dalam kondisi lemah ekonomi dan sosial tapi kuat iman. Kemudian Nabi mempersaudarakan mereka dengan Sahabat Ansor sebagai tuan rumah yang secara ekonomi dan social lebih kuat.
Sahabat Ansor begitu gembira menyambut sahabat Muhajirin, dengan membantu kebutuhan mereka. Yang punya rumah lebih, diberikan; yang punya harta lebih, diberikan; yang minta modal usaha, dibantu; dan seterus-seterusnya. Bahkan sahabat Ansor begitu ikhlas membantu saudara-saudaranya, meskipun dirinya dalam kekurangan dan kesusahan. Hal ini digambarkan dalam al-Qur’an Surat al-Hasyr ayat 9: “Wa yu’tsirūna `alā anfusihim wa lau kāna bihim khashāshah“ (dan mereka [Ansor] mengutamakan [Muhajirin], atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan).
Persaudaraan ideal yang dibangun berdasar iman ini, menjadi modal kuat bagi Nabi dalam menyebarkan dakwah islamiyah dan dalam membangun masyarakat lebih luas lagi, yakni masyarakat yang heterogen secara agama, suku, wilayah, dan beragam kepentingan.
Kedua, membangun sebuah negara. Menurut Harun Nasution, selama di Mekah, Nabi hanya berperan sebagai kepala agama (Rasulullah) yang mendapat mandat dari Allah untuk menyebarkan Islam. Kuatnya penolakan penduduk Mekah, membuat Nabi tidak bisa memimpin penduduk Mekah secara social politik. Sedangkan di Madinah, di samping sebagai kepala agama, Nabi juga berperan sebagai kepala Negara yang memimpin penduduk Madinah yang heterogen. Dan dalam kenyataan, dakwah yang ditopang dengan kekuasaan politik, berjalan lebih efektif. Sehingga dalam waktu tidak lama, penduduk Madinah menerima Islam.
Sebagai landasan bernegara, Nabi membuat kesepakatan hidup bersama secara damai dengan berbagai kelompok yang ada di Madinah, baik antara kelompok-kelompok muslim maupun kelompok-kelompok non-muslim. Kesepakatan bersama ini selanjutnya ditulis dalam satu naskah yang dikenal sebutan “Konstitusi Madinah” (Shahīfāt al-Madīnah), yang ditandantangi pada tahun pertama hijrah (622 M). Kelompok-kelompok yang melakukan kesepakatan hingga terbentuknya shahīfāt, meliputi kelompok Muhajirin, Ansor, Munafiqin (penduduk Madinah yang belum masuk Islam), dan Yahudi. Konstitusi Madinah termuat dalam beberapa naskah. Naskah konstitusi yang tercantum dalam riwayat Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, terdiri atas 47 pasal.
Di antara pokok-pokok pikiran yang termuat dalam Konstitusi Madinah adalah: 1). Masyarakat pendukung konstitusi (ummah) adalah masyarakat majemuk, baik dari segi asal keturunan, budaya, maupun agama yang dianut; 2). Tali pengikat persatuan dari ummah yang majemuk adalah politik dalam rangka mencapai cita-cita bersama; 3). Masyarakat pendukung konstitusi yang semula terpecah-pecah dikelompokkan dalam dua kategori, muslim dan non-muslim; 4). Negara mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah agama bagi orang-orang non-muslim; 5). Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk. Bahkan orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu; 6). Semua warga negara (ummah) mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap Negara; 7). Semua warga negara (ummah) mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum; 8). Hukum adat (kebiasaan masa lampau) dengan berpedoman pada keadilan dan kebenaran tetap diberlakukan; 9). Hukum harus ditegakkan. Siapa pun tidak boleh melindungi kejahatan, apalagi berpihak kepada orang-orang yang melakukan kejahatan; 10). Perdamaian adalah tujuan utama. Namun dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran; 11). Hak setiap orang harus dihormati; 12). Sistem pemerintahan bersifat “desentralisasi”. Masalah yang bersifat intern kelompok, diselesaikan oleh kelompok masing-masing. Jika masalahnya terkait dengan kepentingan kelompok lain, jalan keluarnya harus diserahkan kepada Nabi sebagai kepala negara.
Dalam perjalanan sejarah, Konstitusi Madinah tidak berjalan mulus. Pada tahun kelima Hijriyah naskah perjanjian tersebut mendapat ujian berat. Golongan Yahudi, terutama Bani Quraidzah dan Bani Qainuqa’, ternyata mengkhianati isi konstitusi yang telah disepakati bersama. Dalam perang Khandaq, kaum Yahudi bukan saja tidak ambil bagian dalam mempertahankan negara Madinah dari serangan musuh, bahkan mereka bekerjasama dengan musuh, dan menggerogoti kekuatan negara dari dalam. Akibatnya mereka harus mendapat hukuman setimpal, termasuk harus keluar dari wilayah Madinah. Wallāhu a`lam (43).
Editor: Achmad Firdausi