Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

FENOMENA SINGLEHOOD, CHILDFREE, DAN CHILDNESS

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 23 Agustus 2024
  • Dilihat 87 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Singlehood dan childfree, dua istilah yang belakangan kian mudah ditemukan di banyak media massa. Keduanya menjadi fenomena modernitas yang kian banyak disukai kalangan muda-mudi di negara-negara maju. Penyebaran informasi tentang keduanya melalui media social, kian mempermudah dukungan dari orang-orang dan komunitas yang berpikiran sama, sehingga singlehood dan childfree cenderung menjadi tren yang merambah ke negara-negara berkembang dan terbelakang.

Singlehood berarti “tidak menikah”, sedangkan childfree berarti “bebas dari anak”. Dua-duanya merupakan pilihan sadar; singlehood memilih untuk tidak menikah, sedangkan childfree memilih menikah tapi bersepakat untuk tidak memiliki anak.

Siapa yang memilih? Pada singlehood, yang memilih bisa laki-laki atau perempuan. Meskipun dalam banyak studi, kaum perempuan lebih dominan dalam memilih singlehood. Dalam istilah lain, ia memilih berpasangan dengan dirinya sendiri (self-partnered). Sedangkan pada childfree, yang memilih adalah pasangan hidup. Mereka bersepakat hidup bersama dan bersepakat pula untuk tidak memiliki anak, meskipun secara medis dan biologis, mereka potensial memiliki anak.

Alasan memilih singlehood bisa beragam, seperti trauma dengan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, tidak percaya diri atau merasa dirinya lebih “tinggi”, gaya hidup modern yang individualistik, dan ingin hidup bebas dan mandiri tanpa menanggung beban orang lain. Dalam mengisi hari-harinya, mereka biasanya menyibukkan diri dengan kegiatan olahraga, merawat diri, menjadi aktivis lingkungan dan/atau kemanusiaan, dan bekerja ekstra.

Alasan memilih childfree beragam pula. Bisa sebagai respon terhadap isu-isu lingkungan. Misalnya, bahwa populasi penduduk bumi semakin meningkat. Populasi yang meningkat tidak sejalan dengan kesehatan bumi, serta ketersediaan pangan. Selain karena masalah lingkungan, beberapa pasangan juga memutuskan memilih childfree karena merasa tidak yakin akan kemampuannya untuk merawat maupun mengasuh anak, dan karena pertimbangan finansial di mana memiliki anak menambah beban ekonomi. Juga melihat banyak anak yang terlantar, menjadi pertimbangan memilih childness.

Pilihan menjadi singlehood dan childness bisa ditanggapi beragam dalam suatu masyakarat. Pada masyarakat maju/perkotaan, singlehood dipandang sebagai tren dan gaya hidup personal, sehingga masyarakat menganggap hal yang wajar dan suatu pilihan hidup yang perlu dihargai. Tapi bagi masyarakat tertentu, seperti di pedesaan, singlehood dipandang sebagai kegagalan hidup, lebih-lebih bagi perempuan, karena idealnya manusia hidup berpasangan. Demikian pula pilihan atas childness, dipandang sebagai kewajaran bagi masyakarat modern perkotaan, tapi dipandang sebagai kegagalan bagi masyarakat pedesaan.

Lalu, bagaimana Islam memandang singlehood? Dalam Islam, hukum asal menikah menurut sebagian ulama adalah mubah, yaitu boleh dikerjakan dan boleh ditinggal­kan. Namun, hukum mubah ini dapat berubah menjadi wajib, sunnah, makruh, atau haram, bergantung pada kondisi dan niat pelaku. Menjadi wajib bagi orang yang telah mampu menikah, yang jika tidak menikah, khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan. Menjadi sunah bagi yang sudah mampu menikah, masih sanggup mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan, namun ia ingin menikah mengikuti anjuran Nabi. Menjadi makruh bagi yang ingin menikah, tetapi belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah. Dan menjadi haram, jika seseorang menikah dengan niatan buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

Bagaimana dengan pasangan suami istri yang memilih childfree? Menurut Imam Gazali (dalam Ihyā’ `Ulūmiddīn) hukum asalnya boleh, karena pada childfree hanya meninggalkan keutamaan bukan melakukan larangan (fa kullu dzālika tarkun lil afdhāli, wa laisa bi irtikābin nahyi), yang penting dilakukan sebelum sperma berada di rahim istri. Juga tergantung dari motifnya, jika motifnya baik dan dapat diterima secara islami maka boleh, bila tidak maka tidak boleh. Juga, pilihan terhadap childfree tidak boleh dengan mematikan fungsi berketurunan secara mutlak, haram hukumnya.

Selain singlehood atau childfree, ada juga istilah childness artinya “ketiadaan anak”. Berbeda dengan childfree yang merupakan pilihan sadar/kemauan pasangan, childness bukan pilihan melainkan lebih pada ketidakmampuan/ketidakberdayaan. Pada childness, pasangan hidup sangat mendam­bakan kehadiran anak, tapi dambaan itu tak terpenuhi.

Penyebab childness lebih pada factor di luar dirinya, ketidakmampuan melahirkan anak. Beragam cara telah dilakukan untuk hamil, tetap juga belum berhasil. Dalam kondisi demikian, terus berikhtiar sambil menerima kepu­tusan Zat Yang Maha Mengatur, adalah jalan terbaik. Namun, tidak sedikit dari pasangan childness ini yang tidak bersabar sehingga menjadi pemicu konflik dan tidak jarang berakhir dengan perceraian. Wallāhu a`lam (48).  

 


Editor: Achmad Firdausi