Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

SANTRI DULU DAN SEKARANG

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 25 Oktober 2024
  • Dilihat 165 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Selama menjadi penuntut ilmu (mā zāla thāliban), selama itu pula seseorang disebut santri. Karena itu, jika seseorang berhenti belajar, apalagi sudah merasa pinter, maka sejak itu pula ia tidak layak disebut santri. Demikian kalimat yang sering didengar di kalangan pesantren. Hal senada pernah disampaikan oleh Abdullah ibn Mubarak, seorang tabi`in yang wafat 181 H: “Lā yazālul mar’u `āliman mā thalabal `ilma, fa-idzā dhanna annahū qad `alima faqad jahila” (Seseorang disebut pinter jika ia terus belajar. Begitu ia merasa pinter, sejak itu ia bodoh). Intinya, santri itu adalah penuntut ilmu yang terus belajar.

Dalam sejarahnya, santri pemula adalah mereka yang belajar di langgar. Di tempat ini, santri datang dan pergi untuk belajar agama tingkat dasar. Lalu berlanjut belajar di pondok pesantren. Di pondok, santri bermukim dalam waktu tertentu, agar dapat belajar lebih intens. Dan materi pelajarannya pun merupakan lanjutan dari apa yang telah dipelajari di langgar.

Zamakhsyari Dhafir menyebut lima unsur pokok pesantren tradisional yakni; kiai, santri, kitab kuning, pondok, dan masjid. Kiai adalah pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Kepada kiai, santri belajar ilmu agama dan praktik beragama, baik dalam hubungannya dengan al-khāliq maupun dengan makhluk.

Kitab kuning adalah simbol materi agama yang diajarkan di pesantren, yakni kitab-kitab turats karya ulama syafiiyah terdahulu dalam beragam bidang (fiqh, tauhid, hadits, tafsir, akhlak, tarikh, tasawuf, tata bahasa). Kitab-kitab tersebut diajarkan secara bertingkat (dari materi dasar, menengah, hingga tinggi) dengan metode mengajar sorogan (bil-qirā’ah) dan bandongan (bis-sam`i). Belajarnya di mana? Di masjid/mushalla pondok, yang umumnya dilaksanakan setelah fardu.

Sedangkan pondok adalah tempat tinggal santri selama belajar di pesantren. Di pondok, santri tinggal di bangunan sederhana laksana gubuk. Selama di pondok, santri tidak hanya belajar agama, tapi juga belajar kehidupan; hidup mandiri dan hidup sederhana. Ini ditunjukkan dengan kebiasaan mengurus keperluan sehari-hari secara mandiri, seperti memasak dan mencuci.

Tidak ada tujuan khusus santri mondok, kecuali untuk melaksanakan ajaran agama, bahwa menuntut ilmu adalah wajib. Demikian pula tidak ada batas waktu berapa lama santri mondok. Ukuran normalnya, adalah tuntasnya santri menguasai kitab-kitab tingkat tinggi. Ini bisa bertahun-tahun bahkan belasan tahun, tergantung kemampuan dan kemauan santri serta restu kiai.

Bagaimana dengan sekarang? Secara umum, santri sekarang agak berbeda dengan santri terdahulu. Tujuan dan masa belajarnya lebih terukur karena berbasis kelas-kelas formal.  Materi yang dipelajari tidak hanya ilmu-ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu umum sesuai jurusan yang dipilih. Pondok tempat tinggalnya rata-rata lebih bagus bahkan sebagian sudah menggunakan alat pendingin. Iuran pondok pun lebih beragam, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan tiap bulan, tergantung fasilitas yang disediakan. Memasak dan mencuci tidak lagi dilakukan sendiri, santri cukup membayar biaya kepada petugas.

Meskipun ada perbedaan santri dulu dan santri sekarang, satu hal yang tetap sama, adalah kehidupan santri yang terjaga dalam 24 jam. Mulai bangun pagi hingga tidur malam, santri hidup di pondok dalam tradisi belajar, beribadah dan bersosialisasi di bawah pantauan dan bimbingan para pengasuh, sehingga gangguan-gangguan yang cenderung merusak moral dan perilaku dapat dihindari.

Ini yang membedakan dengan tradisi sekolah di luar pesantren, di mana gangguan-gangguan dimaksud, dapat dengan mudah diterima, baik gangguan dari media sosial yang tak terkontrol maupun dari teman sebaya di sekolah dan di luar sekolah yang cenderung merusak.

Nah, kehidupan dalam pesantren yang terkendali itu, yang menjadi daya tarik, mengapa banyak orang tua kini, memilih pesantren sebagai tempat nyantri bagi anak-anaknya. Wallāhu a`lam (57).

 


Editor: Achmad Firdausi