Hari Bahasa Arab Sedunia: Belajar dari Universitas Istanbul — Dari Bahasa yang Dicurigai ke Bahasa Akademik
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Kamis, 18 Desember 2025
- Dilihat 110 Kali
Oleh: Muhammad Taufiq, Ph.D.
(Dosen Pascasarjana dan Ketua International Office UIN Madura)
Setiap tanggal 18 Desember, dunia memperingati Hari Bahasa Arab Sedunia. Namun bagi banyak orang—bahkan di negeri-negeri Muslim—peringatan ini sering berhenti pada seremoni simbolik: lomba pidato, pembacaan puisi, atau unggahan media sosial bernuansa romantisme bahasa. Jarang kita bertanya lebih jauh: apa makna strategis bahasa Arab di dunia akademik kontemporer? Dan lebih jarang lagi kita belajar dari pengalaman negara-negara sekuler yang justru berhasil mengelola bahasa Arab secara serius, sistematis, dan produktif.
Istanbul Memberi Kita Cermin yang Jujur Sekaligus Menantang
Kota ini bukan hanya persimpangan geografis antara Asia dan Eropa, tetapi juga persimpangan ideologis antara Islam dan sekularisme. Sejak reformasi radikal Mustafa Kemal Atatürk, bahasa Arab pernah ditempatkan sebagai simbol masa lalu yang harus ditinggalkan. Huruf Arab diganti Latin, madrasah dibubarkan, dan bahasa Arab dikeluarkan dari ruang publik. Dalam narasi resmi negara, bahasa Arab diasosiasikan dengan kemunduran, tradisionalisme, dan keterbelakangan.
Namun Sejarah Tidak Berhenti di Situ.
Tepat hari ini sejak 10 tahun lalu, universitas Istanbul justru menjadi pusat studi bahasa Arab yang serius, ketat, dan berstandar internasional. Bahasa Arab tidak kembali sebagai simbol ideologis, tetapi sebagai bahasa akademik. Inilah pelajaran penting yang layak kita renungkan pada Hari Bahasa Arab Sedunia.
Dari Kecurigaan Ideologis Menuju Netralitas Akademik
Pengalaman Turki menunjukkan bahwa bahasa Arab tidak harus hidup melalui politik identitas. Justru ketika bahasa Arab dilepaskan dari beban simbolik yang berlebihan, ia menemukan ruang baru sebagai objek kajian ilmiah. Di universitas-universitas Istanbul, bahasa Arab diajarkan bukan sebagai bahasa ibadah semata, melainkan sebagai bahasa teks, sejarah, hukum, filsafat, dan ilmu sosial.
Mahasiswa mempelajari bahasa Arab untuk membaca manuskrip klasik, menganalisis wacana hukum Islam, mengkaji filsafat Ibnu Sina dan Al-Farabi, atau meneliti dinamika sosial dunia Arab kontemporer. Bahasa Arab diposisikan setara dengan bahasa Yunani Kuno, Latin, atau Ibrani: bahasa peradaban yang menjadi kunci memahami sejarah intelektual manusia. Pendekatan ini membuat bahasa Arab kehilangan stigma. Ia tidak lagi dianggap “bahasa ideologis”, tetapi bahasa akademik.
Bahasa Arab sebagai Alat, Bukan Tujuan Ideologis
Salah satu kekuatan pendekatan Universitas Istanbul adalah kejelasan orientasi: bahasa Arab adalah alat ilmiah. Ia dipelajari untuk tujuan yang konkret dan terukur—penelitian, publikasi, analisis teks, dan produksi pengetahuan. Bahasa Arab menjadi kelas wajib 1 tahun sebelum masuk di Fakultas Ilahiyat (Studi Islam).
Di ruang kelas, mahasiswa tidak diminta “mencintai” bahasa Arab secara emosional, tetapi dituntut menguasainya secara metodologis. Tata bahasa diajarkan untuk membaca teks akademik, bukan sekadar menghafal kaidah. Kosakata dikembangkan untuk kepentingan penulisan makalah, bukan hanya percakapan sehari-hari. Bahkan mata kuliah seperti Arabic for Academic Writing atau Arabic for Islamic Law Studies menjadi bagian integral dari kurikulum.
Pendekatan fungsional ini patut menjadi cermin bagi banyak lembaga pendidikan di dunia Muslim, termasuk Indonesia, yang sering terjebak pada romantisme bahasa Arab tanpa strategi akademik yang jelas.
Bahasa Arab dan Produksi Ilmu Pengetahuan
Hal lain yang menarik dari pengalaman Universitas Istanbul adalah keseriusan dalam mengembalikan bahasa Arab sebagai medium produksi ilmu, bukan sekadar objek kajian. Di beberapa fakultas, mahasiswa pascasarjana didorong menulis makalah dan tesis dengan memanfaatkan sumber-sumber primer berbahasa Arab. Dosen mempublikasikan artikel dalam jurnal berbahasa Arab, berdampingan dengan publikasi berbahasa Inggris atau Turki.
Dengan demikian, bahasa Arab hidup dalam ekosistem akademik: dibaca, ditulis, dikritik, dan dikembangkan. Ia tidak dibekukan sebagai bahasa masa lalu, tetapi terus dinegosiasikan dengan konsep-konsep modern: demokrasi, negara, hak asasi manusia, sosiologi, antropologi, hingga studi kebijakan publik.
Inilah pelajaran penting: bahasa akan hidup jika digunakan untuk berpikir, bukan hanya untuk menghafal.
Indonesia: Kaya Tradisi, Miskin Strategi?
Jika kita bandingkan dengan Indonesia, ironi justru terasa. Kita memiliki tradisi pesantren yang luar biasa kaya dalam penguasaan bahasa Arab. Ribuan santri mampu membaca kitab kuning dengan lancar. Namun kekayaan ini sering berhenti di ruang tradisi, tidak sepenuhnya masuk ke ruang akademik modern.
Bahasa Arab di banyak perguruan tinggi Islam masih diposisikan sebagai mata kuliah dasar, terpisah dari metodologi penelitian, ilmu sosial, dan produksi pengetahuan kontemporer. Ia jarang diperlakukan sebagai bahasa riset yang hidup.
Di sinilah pengalaman Universitas Istanbul menjadi relevan. Negara yang secara ideologis sekuler justru berhasil mengelola bahasa Arab secara akademik, sementara negara dengan mayoritas Muslim sering terjebak pada simbolisme tanpa penguatan kelembagaan. Universitas Istanbul mengajak beberapa universitas Islam diantaranya Universitas Al-Qurawiyyin (Maroko), Universitas Al-Azhar (Mesir), Universitas Al-Jazair dan Universitas Islam Negeri Madura (UIN Madura) mengadakan Simposium Internasional tentang Kontribusi Sains Islam Abad ke 6 Hijriah dengan Bahasa Arab. Tentunya kolaborasi ini bertujuan untuk menghidupkan Bahasa Arab tidak hanya di Negara Sekuler Turki, tapi di dunia.
Dari Pesantren ke Universitas: Jembatan yang Perlu Dibangun
Sebagai akademisi yang bergelut dalam sosiologi pendidikan Islam, kita perlu jujur mengakui bahwa masa depan bahasa Arab tidak cukup diselamatkan oleh pesantren saja. Diperlukan jembatan kuat antara pesantren dan universitas.
Santri memiliki modal linguistik yang luar biasa, tetapi sering tidak dibekali metodologi akademik modern. Sebaliknya, mahasiswa universitas memiliki metodologi penelitian, tetapi minim penguasaan teks Arab primer. Kolaborasi keduanya dapat melahirkan generasi akademisi yang mampu membaca tradisi sekaligus menulis untuk dunia global.
Langkah-langkah konkret bisa dimulai dari; Integrasi bahasa Arab ke dalam mata kuliah metodologi penelitian. Program pelatihan penerjemahan akademik dari Arab ke Indonesia dan sebaliknya. Pengembangan pusat terminologi ilmiah bahasa Arab untuk ilmu sosial dan hukum. Insentif publikasi ilmiah berbasis sumber Arab klasik dan kontemporer.
Hari Bahasa Arab Sedunia sebagai Momentum Refleksi
Hari Bahasa Arab Sedunia seharusnya menjadi momen refleksi kritis, bukan sekadar perayaan. Kita perlu bertanya: apakah bahasa Arab di lembaga kita hidup sebagai bahasa ilmu, atau hanya sebagai simbol identitas? Apakah ia menjadi alat berpikir kritis, atau sekadar ornamen kurikulum?
Pengalaman universitas-universitas di Istanbul mengajarkan satu hal penting: bahasa Arab tidak membutuhkan negara ideologis untuk bertahan. Ia membutuhkan kebijakan akademik yang cerdas, orientasi ilmiah yang jelas, dan keberanian untuk menjadikannya bagian dari produksi pengetahuan global.
Bagi Indonesia—dengan pesantren, perguruan tinggi Islam, dan tradisi keilmuan yang panjang—tantangannya bukan kekurangan sumber daya, melainkan keberanian melakukan transformasi. Bahasa Arab tidak boleh hanya dikenang sebagai bahasa masa lalu, tetapi harus dihidupkan sebagai bahasa akademik masa depan.
Dan mungkin, justru dari pengalaman negara sekuler seperti Turki, kita belajar bahwa mencintai bahasa tidak selalu berarti memitoskannya. Kadang, cara terbaik menjaga bahasa adalah dengan menggunakannya secara serius untuk berpikir, meneliti, dan menulis.
Itulah makna sejati Hari Bahasa Arab Sedunia. Selamat Hari Bahasa Arab Sedunia!
Editor: Achmad Firdausi