Makna Guru
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 29 November 2024
- Dilihat 118 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Konon, istilah guru berasal dari bahasa Sanskerta, yang secara harfiyah berarti “berat”. Adapula pendapat bahwa istilah guru merupakan gabungan dari dua kata gu dan ru, yang dalam bahasa Sanskerta, gu berarti “kegelapan” dan ru berarti “terang” atau “cahaya”. Jika digabung, guru berarti “menerangi kegelapan.” Dua makna tersebut sama-sama layak disandang guru, karena tugas guru adalah menyinari kegelapan (dalam arti mendidik murid dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak baik menjadi baik, dan dari tidak beragama menjadi taat beragama). Dan tugas-tugas tersebut merupakan pekerjaan yang berat.
Dulu, di saat buku cetak pun sangat terbatas, keberadaan guru sangat sentral, yakni sebagai satu-satunya sumber belajar. Saat itu, gurulah yang paling pintar, dan hanya guru yang memiliki buku pelajaran. Sehingga murid hanya menimba ilmu dari guru. Dan sebagai satu-satunya sumber belajar, guru berwibawa di hadapan murid-muridnya.
Sekarang, setelah alat komunikasi dan informasi modern digunakan secara massal, keberadaan guru mulai bergeser, dari satu-satunya sumber belajar menjadi salah satu sumber belajar. Saat ini, selain belajar dari media cetak yang tersedia melimpah, murid bisa belajar dengan mudah dari media digital, yang jenisnya cukup beragam, seperti e-book, video pembelajaran, aplikasi pembelajaran, Augmented Reality (AR) and Virtual Reality (VR) simulasi dan game pembelajaran, webinar dan video konferensi, web-based learning, computer-based learning, virtual education, digital collaboration, dan artificial intelligence.
Kendati terjadi pergeseran, kehadiran guru tetap tak tergantikan, meskipun banyak pekerjaan lain telah diganti automasi. Hal ini, karena guru tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga nilai-nilai moral dan agama. Nah, nilai-nilai ini tidak bisa sekedar diajarkan, tapi juga dicontohkan, dilatih, dibiasakan, dan diawasi. Demikian pula dengan keragaman sumber belajar digital yang mudah diakses murid, tetaplah memerlukan bimbingan dan pendampingan guru, agar informasi ilmiah yang dicari benar dan sesuai tujuan belajarnya.
Karena itu, guru tidak bisa berdiam diri. Guru harus terus meningkatkan diri dengan belajar dan menyesuaikan dengan tuntutan zaman dan perkembangan teknologi, dan memanfaatkan teknologi dalam melaksanakan tugasnya. Kata George Courous “Teknologi tidak akan pernah menggantikan guru hebat, tetapi teknologi di tangan guru yang hebat adalah transformasional.”
Tentu saja, di tengah tingginya tuntutan kualitas guru, harus pula diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan guru, agar mereka lebih fokus dan total mengajar. Memang, kesejahteraan bukan satu-satunya penyebab totalitas guru dalam mengajar. Tapi, setidaknya, hal tersebut dapat mengurangi beban biaya hidup yang terus meroket.
Lalu, bagaimana keberadaan guru perspektif Islam? Dalam Islam, kehadiran guru lebih penting lagi. Belajar agama tanpa guru bisa sesat dan menyesatkan. Bahkan belajar ke guru pun, jika salah pilih guru, bisa sesat dan membahayakan. Seperti mereka yang didoktrin menjadi “mujahid” yang lalu dengan mudahnya mengebom tempat-tempat tertentu yang dipandang tempat maksiat, dengan motif jihad fi sabilillah.
Karena itu, dalam tradisi tasawuf, murid yang hendak menempuh jalan menuju Allah (taqarrub ilallāh) bukan hanya harus memiliki guru, tapi juga harus memilih guru yang tepat. Jika tidak, ia bukan semakin dekat melainkan akan semakin jauh meninggalkan Tuhan dan tersesat. Sehingga dalam dunia tasawuf, terkenal ungkapan “Fa man lā syaikha yursyiduhū fa mursyiduhū al-syaithān” (Barang siapa tidak punya guru [yang tepat dalam membimbing ke jalan menuju Allah), maka gurunya adalah setan [yang akan menyesatkan]). Wallāhu a`lam (63).
Editor: Achmad Firdausi