Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

Politik Uang dan Demokrasi Semu

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Selasa, 26 November 2024
  • Dilihat 207 Kali
Bagikan ke

Oleh: Masyithah Mardhatillah

Penamaan momentum Pemilu sebagai pesta demokrasi seperti selalu menemukan relevansinya. Layaknya pesta, gawe tersebut membutuhkan dana tak sedikit. Ini berlaku bagi pemerintah selaku sahibul hajat maupun kontestan. Untuk yang kedua, konon kebutuhan tidak hanya berkisar untuk serial kampanye formal, tetapi juga apa yang lazim disebut serangan fajar hingga safeguarding pasca-hajatan untuk mengawal perolehan suara.

Di akar rumput, serangan fajar menjadi hal paling identik dengan pesta demokrasi. Ini membenarkan temuan Aspinall dan Sukmajati (2016) perihal penyempitan makna politik uang. Menjelang 27 November, ia kembali diperbincangkan sebab pemilihan gubernur dan kepala daerah nyaris serupa dengan kontestasi legislatif dengan pusat persebaran serangan fajar pada pemilih langsung dibanding tokoh masyarakat seperti pada pemilihan presiden.

Tesis Aspinall dan Sukmajati tersebut rasa-rasanya tidak meleset. Sebuah pusat kuliner di salah satu kota di Madura dikabarkan tutup lebih awal pada momentum 14 Februari lalu. Para penjual kehabisan stock menyusul melonjaknya daya beli masyarakat di hari keramat tersebut. Konon, hampir semua pembeli membayar dengan uang bernominal besar.

Selain berbagai rumor, fakta di atas sepertinya menjadi indikator kuat betapa politik uang adalah bagian tak terpisahkan dari setiap momentum pesta demokrasi. Ia tak lagi menjadi rahasia atau ditabukan seiring terbangunnya asumsi bahwa memenangkan kontestasi tanpa politik uang nyaris mustahil dilakukan. Keseriusan seorang kontestan bahkan sering diukur dari nominal dan sebaran serangan fajarnya.

Tak heran, disertasi Burhanuddin Muhtadi yang belakangan terbit dalam bentuk buku (Plagrave Macmillan, 2019) diawali kutipan provokatif dari seorang anggota DPR anonim. Menurutnya, tidak ada wakil rakyat yang memenangkan kontestasi tanpa membeli suara. Meski konteksnya adalah Pemilu 2014, ia masihlah sangat relevan hingga hari ini.

Pilihan Mengikuti Arus

Berbagai kalkulasi matematis kasar menunjukkan bahwa nominal pembelian suara sama sekali tidak sebanding dengan beban kerugian yang ditimbulkan. Para pemilih dengan  berbagai aspirasi dan kepentingannya akan cepat dilupakan. Sementara itu, gaji dan sederet tunjangan selama satu masa jabatan ditaksir tidak menutupi ongkos memenangkan kontestasi. Betapapun demikian, politik uang tetap dan terus menjadi rukun Pemilu.

Dengan sistem personal based vote yang dianggap memfasilitasi politik uang (Hicken, 2008), ada dua alasan spesifik mengapa para kontestan mengikuti arus ini. Pertama adalah faktor eksternal yakni tekanan partai atau simpatisan, ketatnya persaingan, hingga keberadaan donatur dan tim sukses. Kedua adalah faktor internal berupa disorientasi, nirintegritas, lemahnya karakter, hingga pertimbangan pragmatis. Keduanya meletakkan prioritas kemenangan di atas berbagai pertimbangan etis, seperti pendidikan politik yang sehat, motivasi mengabdi, dan komitmen fair play.

Sementara itu, lepas dari asumsi perihal kemapanan ekonomi yang dianggap memperkecil probabilitas lakunya serangan fajar (Kitschelt dkk, 2007) dan ruralitas demografis yang menyuburkannya (Hicken, 2008), ada tiga alasan menerima serangan fajar. Pertama, posisi sentral broker yang memunculkan perasaan sungkan, enggan bahkan khawatir jika pemilih nekat melakukan penolakan. Kedua adalah sikap pragmatis dan aji mumpung yang lahir dari pesimisme akan pemerintahan yang lebih baik. Ketiga adalah tiadanya akuntabilitas setelah menerima serangan fajar serta apatisme politik dengan asumsi bahwa hasil kontestasi tidak akan berdampak banyak terhadap kehidupan pemilih.

Berbagai kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa politik uang ditopang oleh struktur kuat sekaligus integral. Ia menjadi siklus kokoh yang tidak hanya susah diputus, tetapi juga berkelindan dengan hal-hal lain, semisal dinasti politik, perilaku nepotik, hingga bermacam privilige. Bagi pemberi, ia hampir menjadi satu-satunya cara meraih kemenangan (who pay wins) sementara bagi penerima, ia adalah tiket menyelamatkan posisi selama lima tahun ke depan sebagai penerima manfaat dari berbagai program pemerintah.

Efek Domino           

Kontestan yang kalah tentu menanggung kerugian. Begitu juga dengan broker yang gagal memborong suara. Akan tetapi, pemilih sebagai end user tetap paling dirugikan. Ini digambarkan dengan frase when the poor pay for the rich oleh Cage (2020). Jatah serangan fajar sangat mungkin dipotong atau bahkan dihabisi sama sekali berganti iming-iming yang belum jelas realisasinya. Jikapun kontestan jagoannya terpilih, mereka tidak bisa secara langsung menuntut janji-janji kampanye karena minim atau tiadanya akses. Ini belum termasuk beban moral menjadi bagian dari praktik risywah yang dikecam agama.

Sementara itu, pemimpin yang membeli jabatannya dengan amplop serangan fajar dan atau transaksi bawah tanah cenderung sulit diharapkan integritas dan dedikasinya. Siklus serangan fajar sangat mungkin berlanjut dengan berbagai tindakan koruptif baik untuk mengembalikan ongkos politik atau melanggengkan jabatan. Di sisi lain, mereka yang berkomitmen terhadap tata kelola pemerintahan lebih baik dan karenanya tidak menggunakan politik uang seperti tak memiliki kesempatan memenangkan kontestasi.

Situasi ini sangat kuat menunjukkan betapa demokrasi di Indonesia masih jauh dari ideal. Sejak 2005, sistem pemilihan kucing dalam karung sudah diganti menjadi pemilihan figur atau persona, mulai dari presiden hingga kepala daerah. Ia tampak menjanjikan dan mengamini slogan ‘dari, oleh, dan untuk rakyat’. Sayangnya, politik uang justru semakin masif membayanginya sehingga kendatipun terlihat legitimate, para pemimpin terpilih sebenarnya menunjukkan kesemuan demokrasi.

Kendatipun terpilih melalui pemilihan langsung, pemimpin semacam itu cenderung tidak benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat. Alih-alih menjadi pemegang kedaulatan yang aspirasinya terserap dan terealisasi, rakyat sekadar menjadi alat memperoleh kekuasaan yang begitu saja diabaikan setelah tujuan sang kontestan tercapai. Padahal, sepanjang masa kepemimpinannya, rakyat menggaji mereka melalui pajak yang dibayar secara rutin. Ketimpangan ini tentu bukan merupakan cita-cita demokrasi, meski jamak diakui bahwa demokrasi sendiri adalah proses menjadi dan bukan sebuah hasil akhir.

 


Penulis: Dosen IAIN Madura
Editor: Achmad Firdausi