Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

STANDARISASI HAJI MABRUR?

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Senin, 12 Mei 2025
  • Dilihat 17 Kali
Bagikan ke

Oleh: Dr. H. Imam Amrusi Jailani, M.Ag.

(Ketua Program Studi Doktor Ilmu Syariah Pascasarjana IAIN Madura)

Setiap jemaah haji pasti mendambakan haji mabrur. Kemabrur-an haji itu menjadi dambaan yang paling diharapkan oleh setiap jemaah haji, karena dengan haji yang mabrur seseorang akan dijamin masuk surga oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Demikianlah pernyataan Rasulullah dalam sebuah hadisnya yang menyatakan bahwa di antara umroh yang satu dengan umroh yang lainnya merupakan kafarat atau penebusan dosa dan haji yang mabrur tiada lain balasannya kecuali surga.

Namun banyak di antara kita yang masih bertanya-tanya seperti apa sebenarnya haji mabrur itu ? Apakah ada kriterianya, atau seperti apa tandarisasi haji mabrur itu ? Kemudian, tanda-tanda dan ciri-ciri ibadah haji seseorang mabrur itu seperti apa ? Dalam hal ini, haji mabrur akan berdampak positif bagi orang yang sudah melaksanakan haji. Secara umum, menurut keterangan para ulama, haji mabrur itu diketahui setelah seseorang pulang dari melaksanakan ibadah haji. Jika ibadah seseorang meningkat setelah kepulangannya dari ibadah haji, maka seseorang itu mungkin hajinya mabrur. Atau kriteria yang lain, jika seseorang setelah pulang menunaikan ibadah haji, kemudian dia semakin dermawan, semakin aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan lain sebagainya, mungkin hajinya mabrur. Atau yang lainnya lagi mengatakan, jika akhlak seseorang itu semakin baik setelah kepulangannya dari menunaikan haji, maka kemungkinan besar dia hajinya mabrur. Itulah beberapa kriteria yang sempat disematkan oleh para ulama kepada haji mabrur. Akan tetapi haji mabrur secara paten itu belum ada yang memberikan standarisasi yang pasti bagi kemabrur-an haji.

Sebagian yang lain memberikan pernyataan bahwa Haji mabrur itu bisa diupayakan sejak mulai dari adanya keinginan untuk menunaikan ibadah haji. Dari keinginan yang baik itulah muncul niat yang baik, sehingga ketulusan hatinya akan mengupayakan memenuhi kriteria istitha’ah bagi pelaksanaan ibadah haji, yang diantaranya itu adalah istitha’ah dalam hal pembiayaan ibadah haji. Seseorang yang mengharapkan hajinya mabrur, tentunya akan mengupayakan biaya pelaksanaan ibadah haji dari hal-hal yang halal yang dibenarkan secara syar'i. Tidak mungkin dia akan melakukan sesuatu yang diharamkan, atau bahkan nyerempet hal-hal yang bertentangan dengan syar'I, sehingga apapun sumber penghasilan yang tidak halal itu dijauhi, dan biaya yang disetorkan untuk pelaksanaan ibadah haji merupakan hasil dari sumber yang halal, bukan yang syubhat apalagi yang haram. Jika permulaannya sudah diawali dengan hal-hal yang baik, maka insya Allah ke depannya perjalanannya akan baik pula. Dari pembiayaan haji yang disetorkan itu murni halal, insya Allah pelaksanaan ibadah hajinya juga akan lancar dan sungguh-sungguh mengharapkan ridho dari Allah subhanahu wa ta'ala, bukan simbol-simbol keduniawian yang diharapkan yang disematkan oleh masyarakat kepadanya. Seseorang yang memakai biaya haji dengan sumber penghasilan yang halal yang diridhoi oleh Allah, maka akan disambut oleh para malaikat dan para jamaah haji yang lainnya sebagai tamu-tamu Allah dan delegasi-delegasi pilihan, sehingga diucapkan kepada mereka labbaik wa saidaik, selamat datang untuk tamu-tamu Allah, delegasi Allah, hamba-hamba yang diridai oleh Allah, kebahagiaan akan selalu menyertai kalian. Begitulah dalam sebuah pernyataan Rasulullah dalam hadisnya. Sebaliknya, bagi mereka yang menggunakan uang tidak halal dalam pembiayaan hajinya, tidak akan disambut oleh para malaikat dan tidak akan mendapatkan kebahagiaan.

Kesungguhan melaksanakan manasik haji dengan segala rangkaiannya, mulai dari berangkat dari tanah air atau embarkasi, berlanjut di tanah haram, Makkatul Mukaromah dan Madinatul Munawwar dengan kepasrahan total kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan hanya berharap ridhanya, maka insya Allah hajinya akan lancar dan selalu mendapatkan pertolongan dari allah subhanahu wa ta'ala. Jika hajinya sudah dilakukan dengan sungguhan, maka insya Allah itu akan berpengaruh dalam kehidupannya di masyarakat nanti sepulang dari menunaikan ibadah haji. Kalau dalam melaksanakan ibadah haji, tentunya masing-masing orang akan sibuk untuk selalu beribadah dan berhikmat kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Mereka tidak akan memperhatikan seperti apa perilaku dari teman-temannya, atau jemaah yang lainnya. Atau mereka tidak akan saling memberi penilaian kepada hajinya masing-masing apakah hajinya mabrur agar tidak, mereka masing-masing akan mengupayakan bagaimana ibadah haji mereka menjadi haji mabrur, suatu ibadah yang diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Semuanya akan khusnuddzon bahwa semua jemaah haji, hajinya adalah mabrur. Begitu pula seharusnya, kita di tengah masyarakat tidak boleh memberikan penilaian yang negatif terhadap seseorang yang sudah melakukan ibadah haji, sehingga kita kadang memvonis bahwa hajinya mardud atau tertolak, padahal kita tidak tahu apakah haji mereka itu mabrur atau tidak, pasrahkan saja kepada Allah. Sikap kita seharusnya husnuddzon kepada siapapun terlebih kepada siapa saja yang sudah menunaikan ibadah haji. Berilah penilaian mabrur terhadap mereka, toh mabrur yang sesungguhnya atau yang hakikatnya itu hanya Allah yang menentukan.

Akan tetapi, karena tidak ada satupun manusia yang terlepas dari pengamatan masyarakat, maka kita khususnya yang sudah haji hendaklah berhati-hati berinteraksi dengan masyarakat. Tunjukkanlah sikap yang baik dalam pergaulan. Atau kalau bisa, hendaklah kita memberi contoh yang baik terhadap mereka, karena kita sudah diberi kelebihan oleh Allah yaitu bisa menunaikan haji dan itu suatu anugerah tersindiri dari Allah subhanahu wa ta'ala. Jangan sampai ada kesan penilaian dari orang orang, masak sudah haji kok kelakuannya atau akhlaknya seperti itu, kok tidak  lebih baik dari yang belum haji, jangan-jangan hajinya mardud, jangan-jangan biaya yang dipakai merupakan hasil dari sesuatu yang haram, jangan-jangan di Makkah dan Madinah hanya tidur-tidur saja. Itulah kemungkinan-kemungkinan yang akan disematkan oleh orang-orang jika seseorang yang sudah haji tidak berakhlakul karimah. Sesungguhnya, kalau memang mau memberikan kriteria yang mendekati tandarisasi terhadap haji mabrur, maka yang paling tepat itu adalah akhlakul karimah. Akhlak yang mulia dalam seluruh aspek kehidupannya, akhlak terhadap Allah harus baik, akhlak terhadap manusia harus baik, dan demikian pula akhlak terhadap lingkungan harus juga baik. Maka insya Allah jika akhlak seseorang sudah seperti itu, jika itu sudah Haji maka insya Allah hajinya mabrur. Dan jika belum Haji, maka insya Allah orang-orang seperti itu juga akan mendapatkan bagian yang sudah disiapkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala suatu kehidupan yang bahagia nanti di surga.

Itulah beberapa alasan kenapa haji itu harus mabrur. Selain kemabluran haji itu akan berdampak positif bagi pelakunya, maka akan berdampak positif pula bagi kehidupan di mana mereka akan menjalani kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat, sehingga kehidupannya akan selalu dipenuhi dengan kehidupan yang diridhoi oleh Allah subhanahu wa ta'ala. semoga jemaah haji di tahun ini akan mendapatkan haji mabrur dari Allah subhanahu wa ta'ala, sehingga kehidupan ini akan menjadi lebih baik. Amin.

 


Editor: Achmad Firdausi