Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 24 Januari 2025
  • Dilihat 113 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Sejak Kurikulum 2013 diberlakukan, istilah mata pelajaran “Pendidikan Agama” untuk SD, SMP, dan SMA, berubah menjadi mata pelajaran “Pendidikan Agama dan Budi Pekerti”. Khusus agama Islam, istilahnya menjadi “Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti” (PAI & BP).

Secara konseptual, PAI & BP merupakan dua konsep/dua mata pelajaran berbeda, yang disatukan, yakni “Pendidikan Agama Islam” dan “Pendidikan Budi Pekerti.”  PAI adalah pendidikan tentang agama Islam yang bertujuan agar peserta didik mampu memahami, meyakini, dan memiliki kesadaran untuk mengamalkan ajaran Islam. Secara umum, aspek-aspek ajaran Islam meliputi aspek akidah, syariah (fiqh), dan akhlak.

Adapun Pendidikan Budi Pekerti (PBP) adalah pendidikan tentang budi pekerti, yang bertujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan tentang budi pekerti dan memiliki kesadaran untuk berbudi pekerti luhur. Secara istilah, “budi pekerti” merupakan rangkaian dari dua kata; “budi” dan “pekerti”. Budi (dalam bahasa Sansekerta) berarti kesadaran, pikiran, dan kecerdasan. Juga dapat diartikan sebagai perpaduan akal dan perasaan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan “pekerti” berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan, atau perilaku. Jadi, “budi pekerti” dapat diartikan sebagai kesadaran yang merupakan hasil perpaduan dari pemikiran dan rasa, yang ditampilkan seseorang dalam berperilaku. Dalam KBBI, budi pekerti diartikan “tingkah laku, perangai, akhlak.”

Ketika masih dalam bentuk gagasan, tambahan istilah “Budi Pekerti” sempat ditolak oleh umat Islam, karena disinyalir hendak menghidupkan kembali pelajaran Budi Pekerti dan menghilangkan pelajaran agama. Memang di masa awal kemerdekaan, sebelum ada pelajaran agama, PBP pernah menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini ditunjukkan, misalnya, dalam Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat tahun 1946, terdapat mata pelajaran “Pendidikan Budi Pekerti” yang diberikan mulai kelas 1 hingga kelas 6. Di kelas 1 dan 2, masing-masing satu jam pelajaran/minggu, sedangkan kelas 3 hingga 6, masing-masing 2 jam pelajaran/perminggu. Namun dalam periode berikutnya, PBP ditiadakan dan diganti dengan mata pelajaran Pendidikan Agama.

Alasan lain penolakan umat Islam, karena tambahan “Budi Pekerti” cenderung mempersempit luasnya ajaran Islam. Tanpa menambah “Budi Pekerti” pun, dalam Islam telah diajarkan pendidikan akhlak. Dan materi akhlak dalam Islam lebih luas dari sekedar budi pekerti, karena dalam akhlak islami meliputi berakhlak kepada al-khaliq  dan berakhlak kepada makhluk, baik kepada manusia maupun makhluk lainnya  (hewan, tumbuhan). Penolakan lain, karena tambahan “Budi Pekerti” seolah-olah mengatakan bahwa peserta didik yang mempelajari agama Islam belum tentu memiliki budi pekerti yang baik, sehingga mereka harus mempelajari secara khusus “budi pekerti”.

Namun, setelah mata pelajaran PAI-BP diberlakukan, pro-kontra menjadi reda. Seakan meneguhkan kaidah “Hukmul hākim yarfa`ul khilāf” (Keputusan penguasa, menghilangkan perbedaan pendapat).  Apalagi alokasi waktu untuk PAI-BP bertambah menjadi 4 jam/minggu untuk SD, dan 3 jam/minggu untuk SMP-SMA. Juga dari segi substansi, tidak ada yang berubah. Materi PAI & BP di sekolah tetap seputar Qur’an, Hadits, Akidah, Akhlak, Fiqh, dan Sejarah Islam. Sehingga antara PAI dan BP tidak lagi dipandang sebagai konsep yang bertentangan, melainkan BP dipandang sebagai penguat akan pentingnya budi pekerti luhur, al-akhlaqul karimah, sebagai wujud keberhasilan PAI di sekolah.

Jadi, persoalan mata pelajaran PAI & BP bukan lagi di tataran konseptual, melainkan pada ranah implementasi. Dalam realitas, misalnya, masih banyak pelajar muslim yang tidak tahu/tidak hafal bacaan salat dan yang jarang salat. Tidak sedikit pelajar yang suka tawuran dan terlibat pergaulan bebas. Menyalahkan sepenuhnya kasus tersebut kepada guru PAI di sekolah, tidak tepat. Tapi membiarkan pelajar tetap tidak hafal bacaan salat, jarang salat, dan penyimpangan lainnya, semakin tidak tepat. Karena itu, dibutuhkan guru PAI yang kompeten dan orang tua yang penuh perhatian kepada anak, untukmembangun peserta didik yang beriman dan bertakwa. Wallāhu a`lam (71).

 


Editor: Achmad Firdausi