PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 17 Januari 2025
- Dilihat 67 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Sejak Indonesia merdeka hingga kini, ada tiga undang-undang yang mengatur penyelenggaraan Pendidikan Agama (PA) di sekolah, yakni UU No. 4/1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam UU No. 4/1950, PA diajarkan di sekolah tapi tidak menentukan kenaikan kelas, jadi sifatnya fakultatif (tidak wajib). Ketentuan ini ditunjukkan dalam pasal 20 ayat (1) yang menyatakan “Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
Penjelasan pasal 20 tersebut, khususnya bagian (b) “Murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut atau tidaknya ia dalam pelajaran agama”, dan bagian (d) “Pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas anak.”
Dalam UU No. 2/1989, PA menjadi mata pelajaran wajib di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Hal ini ditunjukkan dalam Pasal 39 ayat 2 “Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat (a) pendidikan Pancasila, (b) pendidikan Agama, dan (c) pendidikan Kewarganegaraan.
Kemudian dalam UU No. 20/2003, PA menjadi mata pelajaran wajib sekaligus hak peserta didik untuk mendapat pelajaran PA. Hal ini ditunjukkan dalam pasal 12 “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik seagama”; dan pasal 37 ayat (1) “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, …”
Keterangan: Brosur PMB IAIN Madura Tahun 2025
Dari ketiga UU tersebut, hanya UU No. 4/1950 yang tidak ramah terhadap PA di sekolah, “diajarkan tapi tak menentukan kenaikan kelas, bahkan pelajar dewasa bisa memilih untuk ikut atau tidak ikut.” Lalu, apa penyebabnya? Saat sidang-sidang BP KNIP yang membahas status PA di sekolah negeri, usulan kelompok Islam yang mewajibkan PA di sekolah, ditolak oleh kelompok nasionalis. Kegagalan ini mengulang kasus kegagalan sebelumnya, di mana kelompok Islam gagal memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Situasinya berbeda saat pengesahan UU No. 2/1989, yang mewajibkan PA di sekolah. Saat itu, hubungan pemerintah dan umat Islam mulai terjalin mesra dan saling membutuhkan, sehingga upaya mewajibkan PA di sekolah tidak mengalami hambatan berarti. Apalagi saat pengesahan UU No. 20/2003, hambatannya semakin ringan karena umat Islam telah banyak memegang jabatan-jabatan strategis di eksekutif dan legislatif, sehingga kedudukan PA bukan sekedar wajib, tapi merupakan hak setiap peserta didik.
Kini, PA di sekolah sudah eksis. Tapi, tidak berarti tidak ada masalah. Sejumlah kritik dan tantangan telah disampaikan dalam pelaksanaan PA di sekolah, antara lain: (1) Kualitas guru agama secara umum belum memadai, baik dalam hal penguasaan materi, metodologi, maupun sikap keberagamaan. Pola penyampainya pun masih cenderung tekstual dan doktriner; (2) Penilaian PA masih cenderung menitikberatkan aspek kognitif, padahal tujuan akhir PA ada pada aspek afektif; (3) Kurangnya kerjasama antara guru agama dengan guru-guru lain dalam hal pembinaan sikap mental keberagamaan. Guru-guru pelajaran lain masih beranggapan bahwa tugas membina iman dan takwa murid, merupakan tugas guru agama, padahal hal tersebut menjadi tugas bersama.
Kemudian masalah (4), PA yang diklaim sebagai aspek penting, seringkali kurang mendapat prioritas dalam urusan fasilitas, akibatnya pengelolaan PA di sekolah tidak maksimal; (5) Adanya kesenjangan antara misi PA dengan realitas keluarga dan masyarakat, yang menyebabkan misi PA tersebut sulit tercapai; (6) Perkembangan teknologi yang menyebabkan ketergantungan anak pada gadget, ditambah gandrungnya pelajar dengan pola hidup hedonistik, materialistik dan konsumeristik, menjadi tantangan tersendiri bagi tercapainya misi PA di sekolah. Wallāhu a`lam (70).
Editor: Achmad Firdausi