Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

DIMENSI BERAGAMA

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 27 Desember 2024
  • Dilihat 86 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Pendidikan agama bertujuan agar pemeluknya menjadi umat beragama, yakni umat yang mengetahui, menyakini, dan mengamalkan ajaran agamanya. Guna memahami sisi keberagamaan seseorang, para ahli membuat ukuran-ukuran yang disebutnya dimensi-dimensi beragama (dimensions of religiosity). Melalui dimensi ini, keberagamaan seseorang lebih mudah diukur secara ilmiah.

Charles Young Glock dan Rodney Stark, yang popular dengan sebutan Glock & Stark, dalam “American Piety: The Nature of Religious Commitment” merumuskan teori “five dimensions of religiosity” untuk mengukur keberagamaan seseorang, yang meliputi dimensi belief, knowledge, practice, experience, dan consequence.

Pertama, the belief dimension, dimensi keyakinan, berhubungan dengan bagaimana seseorang menerima, mengakui dan meyakini hal-hal yang dogmatik dalam agamanya. Misalnya keyakinan terhadap sifat-sifat Tuhan, kitab suci, malaikat, para Nabi, hari akhir, surga dan neraka. Kedua, the knowledge dimension, dimensi pengetahuan, yang berhubungan dengan pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang dipeluknya, dari sumber-sumber yang disepakati dalam ajaran agamanya.

Ketiga, the practice dimension, dimensi praktik, berhubungan dengan bagaimana seseorang melaksanakan ritual ajaran agamanya. Misalnya menunaikan salat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Keempat, the experiencal dimension, dimensi pengalaman, yakni pengalaman seseorang saat menjalankan ajaran agama bahkan saat melanggar ajaran agama. Misalnya, merasa tenang setelah melaksanakan ritual agama, tenteram setelah berdo’a, tersentuh mendengar ayat-ayat kitab suci, merasa bersalah dan menyesal setelah berbuat dosa.

Kelima, the consequential dimension, dimensi implikasi beragama, yaitu bagaimana keberagamaan seseorang berdampak dalam kehidupan sosial, bagaimana seseorang melakukan aktivitas social yang didorong oleh ajaran agamanya. Misalnya, mendermakan hartanya untuk kaum du’afa’, bersilaturahim, berperilaku jujur dan adil, tidak korupsi, menjadi aktivis lingkungan, dan cinta terhadap sesama.

Kelima dimensi beragama “Glock & Stark” tersebut cukup popular dalam studi sosiologi agama. Bahkan menginspirasi tokoh lain dalam mengembangkan dimensi beragama yang baru. Seperti  dimensi beragama karya Mervin Verbit yang lebih kompleks yang menyebut dua puluh empat dimensi beragama.

Bagaimana dimensi beragama dalam Islam? Kelima dimensi tersebut dapat dipakai untuk “membaca” keberagamaan umat Islam. Selain itu, terdapat sejumlah dimensi yang popular dilekatkan ke ajaran Islam dan penganutnya, seperti dimensi vertical dan horizontal; dimensi duniawi dan ukhrawi; dimensi spiritual dan social; serta dimensi eksoteris dan esoteris.

Keterangan: Brosur PMB Tahun 2025 IAIN Madura

Dan, jika merujuk ke hadits Nabi, syariat Islam dapat dipandang dari tiga dimensi, yakni dimensi iman, islam, dan ihsan. Dimensi iman berhubungan erat dengan akidah, keyakinan yang mantap kepada Allah. Dimensi Islam berkaitan erat dengan aturan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam, baik dalam beribadah kepada Allah maupun dalam berhubungan dengan makhluk-Nya (muamalah). Sedangkan dimensi ihsan berhubungan dengan sisi terdalam dalam beragama, yakni selalu merasa dekat dengan Allah dan selalu merasa diawasi Allah. Sehingga yang dicari dalam hidup adalah keridhaan Allah dan kasih sayang kepada makhluk.

Dimensi-dimensi tersebut, selama untuk pembagian dan untuk mempermudah kajian, adalah sesuatu yang baik. Tapi, jika dimaksud sebagai pemisahan, maka tidak dapat dibenarkan. Karena Islam adalah sistem ajaran yang totalitas, satu kesatuan; kesatuan iman, islam dan ihsan; duniawi sekaligus ukhrawi; spiritual sekaligus social; vertical sekaligus horizontal, dan eksoteris sekaligus esoteris.

Artinya, setiap muslim harus berusaha melaksanakan ajaran Islam secara totalitas dan sungguh-sungguh. Sesuai firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 208 “Yā ayyuhal ladzīna āmanū udkhulū fis silmi kāffah” (Wahai orang-orang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh). Juga dalam surah Ali `Imran ayat 102: “Yā ayyuhal ladzīna āmanū ittaqullāha haqqa tuqātihī” (Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa).

Dan, tanpa mengurangi kesungguhan dan totalitas, beragama harus sesuai kemampuan masing-masing. Karena setiap individu memiliki kemampuan berbeda dalam memahami, meyakini, dan melaksanakan ajaran Islam. Firman Allah  dalam surah al-Taghābun ayat 16 “Fat taqullāha mas tatha`tum” (Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian). Sabda Nabi: “Mā nahaitukum `anhu fajtanibūhu, wa mā amartukum bihī fa’tū minhu mas tatha`tum” (Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintah, lakukan semampu kalian). “Wallāhu a`lam” (67). 

 


Editor: Achmad Firdausi