Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

Politik Kiai dan Kiai Politik : Aksi dan Interpretasi Pesantren Dalam Pemaknaan dan Pergumulan Politik Islam<br>Oleh : Abdul Mukti Thabrani

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 27 November 2015
  • Bagikan ke

Pendahuluan

Umat Islam Indonesia sudah akrab dan tidak asing dengan istilah kiai dan pesantren. Walaupun sebutannya berbeda dalam budaya masyarakat lokal masing-masing daerah. Hampir semua orang sepakat bahwa kiai sebagai tokoh sentral yang mempunyai peran sebagai decision maker dan tokoh kharismatik sebagai pengejawantahan pemangku warisan (pewaris) Nabi, adalah realita sejarah yang tak terbantahkan dalam sejarah pesantren di Indonesia (Conger, 1997: 60). Dalam posisinya sebagai tokoh sentral, kemudian masyarakat memberikan legitimasi bahwa kiai adalah sosok yang paling otoritatif dalam mengatasi aneka ragam persoalan yang dihadapi umat, mulai dari masalah pribadi, sosial ekonomi, bahkan persoalan yang berkaitan dengan politik. Hal ini kemudian menjadikan kiai dan pesantren tidak hanya mempunyai peran agamis, tapi juga terlibat dalam persoalan politik. Posisi kultural dan struktural ini secara sosiologis menjadikan kiai sebagai sosok elit yang menempati strata lebih tinggi dalam tatanan masyarakat.

Sebagai imbas dari era reformasi, belakangan ini kiai dan secara otomatis pesantrennya, terlibat aktif dalam politik praktis. Walaupun ini merupakan hal yang lumrah dan biasa, namun tetap saja menjadi wacana yang hangat dan menarik, bolehkah kiai berpolitik? Atau layakkah pesantren terbawa arus politik praktis? Hal ini kerap menimbulkan kontroversi, antara yang pro dan yang kontra. Pada interpretasi tertentu, keterlibatan kiai dalam politik dimaknai sebagai sebuah dinamika pesantren untuk mendorong terciptanya masyarakat partisipatif kritis, disamping sebagai modal membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang aktif, dinamis, dan mandiri, yang pada akhirnya akan memberikan kebebasan anak bangsa mengekspresikan pemikirannya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Dalam iklim demokrasi semua memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan negara.

Namun dari sisi fungsi politik dan perspektif yang lain, keterlibatan mereka dianggap tidak produktif dan membingungkan, dan berakhir menjadi  pangkal perpecahan dan konflik sosial dalam skala massif, karena telah terjadi polarisasi dan politisasi agama (Kamaruddin, 2002: 51). Jamak  diketahui bahwa kiai sebagai pribadi pasti punya ambisi dan cita-cita, selalu punya pilihan dan orientasi politik yang berbeda baik sebagai pribadi anggota masyarakat dan warga negara maupun sebagai pemimpin pesantren. Umumnya, masalah muncul akibat tidak terjembataninya pola komunikasi yang konstruktif, antara institusi pesantren, masyarakat, dan partai politik. Bahkan pada level tertentu, terjadi mobilisasi yang dilakukan oleh pengikut fanatik mereka, yaitu santri dan masyarakat, tanpa sepengatahuan kiai. Akibatnya, timbul friksi dan faksionalisme yang acap kali berujung pada perselisihan yang meluas, mulai dari perbedaan politik ke masalah ekonomi, sosial, bahkan hingga hubungan kekerabatan sebagai imbas dari perbedaan pilihat politik. Utamanya di daerah-daerah panas seperti pesantren-pesantren Madura dan daerah tapal kuda Jawa Timur. Apalagi menjelang pemilu dan pilkada yang menjadi agenda politik harian masyarakat demokrasi.

Perbedaan pilihan politik dan ormas yang “dianut” seorang kiai, menjadi pangkal penyebab terjadinya konflik antarkiai yang kemudian menimbulkan keretakan dalam masyarakat. Ditambah lagi, ada konflik internal pesantren yang muncul sebagai konsekuensi politis, yaitu timbulnya ketidakpatuhan santri terhadap pilihan politik kiainya. Fenomena ini cukup menarik  karena akan memberikan peta baru bahwa kegiatan politik pesantren tidak  monolitik dan hegemonik, namun mengalami dinamika yang lebih demokratis dan rasional, di tengah pergumulan arus politik Islam dalam menentukan aksi menuju reposisi dan pemaknaan politik pesantren ke arah dan yang lebih “Islami”. Sekedar menyebut contoh, dalam beberapa pilgub dan pilkada, hampir separuh santri tidak mematuhi kiainya dalam pemilihan atau penentuan dan pemenangan calon (Syam, 2007: 31). Uniknya, di tengah derasnya politisasi pesantren dan islamisasi politik, kedua-duanya, kiai dan pesantren, tetap laku keras di pasaran pilkada dan pemilu hampir di semua daerah di Indonesia. Juga walaupun telah terjadi polarisasi sedemikian, pergeseran hubungan politik antara kiai dan santri tidak secara otomatis memutuskan relasi kuasa yang terjadi di antara mereka. Kiai tetap saja “berkuasa” di pesantren, punya magnet dengan daya sedot luar biasa, tetap eksis dan dihormati, dan tetap dibela oleh santrinya ketika banyak orang di luar komunitasnya membicarakan dan menghujat kiai secara negatif. Tulisan berikut ini berusaha meneropong teori politik Islam dalam aksi dan pergumulan politik kiai dan pesantren, dan epistemologinya dalam bingkai khazanah politik Islam yang sangat luas (siyasah syar’iyyah).

Interpretasi Politik Islam dalam lintasan pemaknaan

Politik atau siyasah secara umum berimplikasi pada makna tegaknya sesuatu untuk kemaslahatan (Mandzur, 1999: 429). Artinya, politik sangat mulia dan agung karena digunakan untuk kemaslahatan manusia. Dari segi pemaknaan politik sebagai kata kerja, politik bisa juga diartikan sebagai usaha memperbaiki keadaan masyarakat secara umum menuju masa depan yang lebih baik, atau dengan istilah yang lain, bisa diartikan sebagai seni memerintah dan mengurusi negara (Ma’luf, 1997: 263). Intinya, politik Islam merupakan jalan untuk merealisasikan syariat yang sarat nilai-nilai kemaslahatan. Dan karena menyangkut kepentingan orang banyak, tentu politik erat kaitannya dengan kepemimpinan atau riasah, walayah, dan imamah. Kepemimpinan merupakan representasi dari kekuasaan politik dan dominasi negara atau pemerintahan terhadap rakyat.

Ada beberapa perspektif yang berkembang di kalangan umat Islam terkait dengan Islam dan politik secara umum atau lebih jauh dengan hubungan agama dan negara. Sampai sekarang, pergumulan pemikiran “politik Islam” atau “Islam politik” tersebut tetap menjadi perbincangan yang menarik, bahkan mewarnai percaturan dan pergumulan politik yang terjadi, termasuk Indonesia.  Secara umum, ada tiga mazhab atau tipologi pemikiran politik Islam, yaitu tradisional, sekuler, dan moderat (Kamil, 2003: 63).

Mazhab pemikiran politik Islam tradisional lebih melihat politik sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari agama. Kelompok ini diwakili oleh beberapa ulama, diantaranya al-Mawardi,  Rasyid Rida, Sayyid Quthub, dan al-Maududi. Dalam perspektif ini, kepemimpinan sebagai bagian dari politik bertujuan untuk menjaga dan melestarikan agama serta mengatur urusan dunia berdasar ajaran agama. Tanggung jawab pemimpin (pemerintah) dan negara adalah memberikan kenyamanan (kemaslahatan) kepada masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari berdasarkan aturan (tata nilai) agama. Hal ini  merupakan pengejawantahan dwi fungsi manusia sebagai abdullah dan khalifatullah. Dalam bahasa yang lain, boleh juga untuk disebut sebagai aliran pemikiran politik monolitik dengan kategori atau tipologi Islam Organik (Maliki, 2004: 29). Dalam pemaknaan model ini, sebagai sebuah kekuasaan, negara kemudian disatukan oleh hukum yang mengadopsi piagam Madinah pada masa Nabi sebagai acuan dalam legalitas folmal pendirian negara (Syadzali, 1999: 11). Idealitas ketatanegaraan tersebut diawali oleh rintisan Nabi dalam membangun persatuan komunitas Islam yang diikat dengan sebuah perjanjian yang dikenal dengan bai’at aqabah yang dipuncaki rintisan bangunan negara, setelah Nabi melaksanakan hijrah, yang kemudian dikenal dengan negara Madinah. Pemerintah dalam negara Madinah, merupakat seperangkat aparatur yang menjadikan Nabi sebagai pimpinan atau kepala negara dengan menetapkan hukum (perjanjian), menjalankan ketertiban, keamananan, dan keamananan berdasarkan kesepakatan perjanjian.

Mazhab pemikiran politik Islam sekuler mempunyai pandangan bahwa Nabi hanya mengajarkan tauhid dan tata cara ibadah, dan tidak pernah mengajarkan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apalagi tentang kewajiban khilafah atau imamah. Pemisahan agama dan politik, mesti dilakukan karena agama bersifat ilahiah, berasal dari wahyu, sakral dan suci. Sedangkan politik merupakan urusan manusia yang berorientasi pada kekuasaan yang bersifat profan. Dan dilihat dari sasaran dan tujuannya, pada dasarnya seluruh dimensi politik mempunyai oreintasi untuk kepentingan materi. Menurut mereka, perlu adanya pemisahan antara agama dan politik, demi keberlangsungan kesakralan agama itu sendiri (Weber, 1963: 235).

Tokoh yang bersuara nyaring dan getol menolak penyatuan agama dan politik  adalah Ali Abdul Raziq dalam bukunya “al-Islam wa Ushul al-Hukm”. Buku Raziq ini sekaligus merupakan jawaban terhadap Rashid Ridha bahwa Islam sama sekali tidak berkaitan dengan kekhalifahan (Black, 2006: 259). Benih pemikiran Raziq bersumber dari dua kelompok besar dalam khazanah pemikiran Islam yaitu Mu’tazilah dan Khawarij yang menyatakan kewajiban tegaknya khilafah tidak dapat diterima baik secara akal maupun norma syariat. Kewajiban bagi umat Islam adalah (hanyalah) melaksanakan hukum-hukum syariat. Bilamana masyarakat sudah melaksanakan syariat dan berkeadilan, maka tidak diperlukan lagi politik yang bertujuan membangun pemerintahan.

Sedangkan perspektif mazhab Islam moderat merupakan benang merah yang menjembatani dua pemikiran tradisional dan sekuler. Pokok pemikiran politik ini menyangkal bahwa Islam merupakan agama sempurna yang mengatur dan menentukan urusan politik, sehingga agama dan politik menjadi satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Begitu juga menolak bahwa Islam sama sekali tidak berkaitan dengan politik, sehingga politik dan negara tidak perlu direkat agama. Kelompok ini lebih mengedepankan subtansi dari pada simbol, lebih menekankan kepada hakikat dan pelayanan politik daripada nama dan bentuk negara. Tokoh-tokoh dari kelompok pemikiran politik moderat diwakili oleh Muhammad Abduh, Muhammad Abid al-Jabiri, Nurcholis Madjid, dan Azyumardi Azra. Dalam pandangan mereka, Islam hanya memberikan kode etik bagaimana politik dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Islam mengajarkan tauhid dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan hak dan kewajiban, perdamaian, demi kemaslahatan bersama. Bangunan politik Islam adalah etika Islam dalam pemerintahan yang menjalankan tiga prinsip dasar sebagaimana yang telah dilakukan Nabi, yaitu musyawarah, tanggung jawab dan keadilan (Jabiri, 2001: 85).

Politik Islam perspektif kiai pesantren

Di manakah terminal pandangan kiai pesantren terhadap politik Islam? apakah di terminal tradisional, sekuler, atau moderat? Dalam pergumulan politik praktis, terutama dalam pemilu dan pilkada, biasanya mereka terbagi dalam dua arus besar, yaitu tradisional dan moderat. Kelompok kiai tradisional mempunyai pemahaman bahwa aktifitas politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama. Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam diyakini sebagai pedoman dan petunjuk yang sangat lengkap dalam berbagai hal kehidupan manusia termasuk politik. Maka dengan demikian politik merupakan persoalan dan tanggung jawab umat Islam yang sifatnya fardhu ‘ain atau kewajiban personal. Karenanya, kiai mesti terlibat aktif dalam politik (praktis) melalui berbagai kendaraan yang tersedia seperti parpol, ormas, dan lainnya. Tugas pemimpin adalah menjaga kelestarian agama, menyejahterakan rakyat, mencegah keburukan, dan membuat kebijakan yang berdasar maslahat. Politik identik dengan dakwah, pendidikan, dan penegakan amar makruf nahi munkar sebagai implementasi dari ajaran Islam. Figur kiai bagi masyarakat tradisional sebagai pemimpin yang religious-charismatic diperlukan untuk menyiapkan pranata kepemimpinan. Kiai mesti tampil sebagai pemimpin birokrasi tanpa meninggalkan fungsi pokoknya sebagai ulama dan pengayom umat. Dengan kekuasaan dan kebijakan yang dimiliki maka pengayoman terhadap rakyat, pengaturan pemerintahan, dan perumusan kebijakan dapat dijalankan dengan baik berdasarkan peraturan dan undang-undang yang berlaku dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama.

Kiai moderat, walaupun sepakat bahwa  politik tidak terpisahkan dari agama, tetapi sebagian besar dari mereka tidak setuju bila kiai terjun langsung dalam gelanggang politik praktis, karena hal itu akan mengurangi wibawa kiai. Seharusnya kiai tidak berebut jabatan. Kiai sebagai tokoh agama, sebaiknya menggunakan high politic (praktis) sebagai acuan moral pressure dengan memberikan dukungan moral terhadap pemerintah yang telah berhasil menjalankan roda pemerintahan yang benar dan menjalankan nilai-nilai syariat, serta memberikan masukan dan kritikan jika roda pemerintahan yang dijalankan tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Keterikatan agama dan politik dibingkai dalam penerapan nilai-nilai agama tanpa merusak tatanan pemerintahan.

Pergumulan politik kiai pesantren dan otoritas kepemimpinan

Sebagai metamorfosa dari pemaknaan politik Islam dalam perspektif pesantren, timbul konsekuensi lanjutan, yaitu hubungan antar-kiai sebagai saingan atau partner politik. Relasi antar kiai sebagai elit sosial, dalam pergumulan politik internal dan eksterknal pesantren sarat dengan konflik dan ketegangan. Walaupun dalam Islam tidak mengenal konsep kasta, namun adat dan nasab tidak bisa dinafikan dalam membentuk strata sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Sehingga kemudian dikenal kelompok elit dan kelompok non elit (Varma, 1975: 228). Sebagai orang yang mempunyai peran tertinggi dalam setiap aktivitas dan kegiatan keagamaan, maka kiai merupakan elit agama (religious elite) yang mempunyai status tertinggi dalam komunitas pesantren dan masyarakat desa. Belakangan, sebagian studi menunjukkan adanya perubahan yang disebabkan faktor eksternal dari menurunnya otoritas kepemimpinan kiai dalam kancah politik praktis sebagai akibat dari dinamika dan arah perubahan dalam masyarakat transisi (Ishomuddin, 2004: 378). Hal ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat yang berafilisi kepada pemahaman keagamaan tradisional (NU), namun juga dalam masyarakat perkotaan dan masyarakat yang berafiliasi pada ormas lainnya.

Dinamika politik meniscayakan adanya perubahan dalam dunia pesantren. Perubahan sosial dalam pesantren senantiasa terjadi walaupun tidak sampai mengubah akar subtansialnya. Dari sini kemudian timbul teori change and continuity (perubahan dan berkesinambungan) dalam menginterpretasi fakta-fakta yang terjadi. Dalam hal yang bersifat high politic, bisa dikemukakan adanya justifikasi bahwa politik pesantren merupakan religious power dimana keterlibatannya hanya semata untuk kepentingan dakwah dan pencerahan masyarakat tradisional muslim. Jika merujuk pada destinasi ini, maka idealnya pesantren tidak mengalami pergolakan dan perbedaan antara satu dengan yang lain. Pesantren sebagai sarana membangun kekuatan integritas yang memelihara homogenitas dalam bingkai paham ahlussunnah wal jamaah senantia mampu untuk bertahan dalam semua musim dan cuaca (Dhofier, 1994: 17). Tapi kemudian fakta berbicara lain, munculnya multi partai Islam, seiring dibukanya keran reformasi politik sedikit banyak telah mengakibatkan terjadinya perbedaan –bahkan faksionalisme- politik di internal NU dan secara khusus antar-pesantren. Bahkan kekuatan pesantren sendiri tidak lagi homogen dan malah sudah sangat heterogen. Ormas tradisional NU juga tidak lagi mempunyai mazhab politik yang tunggal atau monolitik, tapi sudah terdistribusi dalam berbagai mazhab politik yang plural.

Dalam membangun relasi dan jaringan politik, kiai melakukannya secara gentle melalui partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Semua kekuatan dikerahkan untuk menjangkau tujuan utama dalam politik dan kekuasaan. Jaringan ulama  memiliki kekuatan massa yang tersebar di pelosok desa melalui beberapa jalur,  yaitu  struktural dan kultural, atau individual dan komunal. Seperti lapisan-lapisan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang ada di bawah kekuasaan kiai secara struktural dan kultural, semisal ustad, lurah, camat, kepala desa, dan para modin yang mempunyai status sosial terhormat, dipercaya masyarakat, dan mempunyai basis ekonomi yang mapan (Mansurnoor, 1990: 187). Karena bagaimanapun mereka banyak memiliki pengikut sesuai dengan basis massa masing-masing. Satu hal yang pasti, bahwa para tokoh lokal dan pengikutnya mempunyai hubungan erat dengan kiai. Secara intensif masing-masing kelompok keagamaan tersebut selalu berkonsultasi, berhubungan, dan bahkan mengundang kiai panutan mereka pada saat peringatan hari besar keagamaan seperti peringatan maulid, acara isra’ mi’raj, dan peringatan keagamaan lainnya. Bisa juga dikatakan, bahwa secara teoritis, hubungan kiai dan masyarakat tersebut merupakan hubungan patron-client. Walaupun ada juga yang sebaliknya, yaitu hubungan timbal balik karena sudah sama-sama menjadi tokoh elit. Mereka tidak serta merta dikatakan sebagai patron clien yang berfungsi sebagai jangkar kekuatan politik kiai.

Rajutan ukhuwwah antar-kiai pada akhirnya akan mengalami keretakan jika perbedaan kepentingan sudah sampai pada angka yang mengkhawatirkan akibat pergumulan pilihan politik yang berbeda. Pada masyarakat transisi yang sudah memahami arti politik, dinamika dan polarisasi otoritas kepemimpinan kiai dalam politik sudah mengalami pendangkalan. Derasnya informasi melalui buku, media online, dan internet, secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan pola pikir masyarakat, sehingga dalam anggapan mereka kiai bukan satu-satunya rujukan dan sumber informasi. Kondisi yang demikian menjadikan masyarakat mulai bersikap ilmiah, lebih rasional dan proporsional dalam memaknai pesan dan perilaku kiai. Sikap semacam ini merupakan ciri masyarakat modern. Perubahan dalam masyarakat dan komunitas pesantren sudah sangat dinamis.

Pola kepemimpinan kiai pesantren juga berpengaruh terhadap pemaknaan politik Islam dalam dunia pesantren. Pola kepemimpinan pesantren mempunyai kecenderungan kombinasi kemimpinan karismatik, otoriter-paternalistik (Mastuhu, 1994: 86). Keterlibatan kiai dalam politik di pedesaan juga memunculkan tipologi kiai yang kemudian digolongkan sebagai kiai advokatif, kiai adaptif, dan kiai mitra krisis. Perbedaan politik di internal kiai ini, lebih disebabkan karena adanya sudut pandang atau perspektif yang berbeda dalam memahami ajaran agama itu sendiri (Suprayogo, 1998: 84). Sedangkan dalam skala derajat kekuasaan, tipologi kiai terbagi dalam tiga kategori, yaitu kiai langgar, kiai pesantren, dan kiai tarekat (Dirjosanjoto, 1999: 245). Ketiga tipologi kiai tersebut mempunyai wilayah kekuasaan tersendiri berdasarkat tingkat kesetiaan pengikutnya. Intinya, kiai berposisi sebagai patron, sementara pengikutnya sebagai klien. Dalam perspektif Gramsci, kiai “berkuasa” berdasarkan peran yang dimiliki dan kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh para pengikutnya. Di samping itu, ada pembidangan kekuasaan kiai dalam bidang intelektual, yaitu kiai intelektual organik, dan kiai intelektual tradisional (Warsono, 2003: 23). Pada masa pemerintahan Gus Dur, kiai ada yang berperan sebagai intelektual organik (dekat dengan pemerintah dan bahkan ada yang menjadi pejabat pemerintah) dan intelektual tradisional (menjaga jarak dengan pemerintah). Gus Dur sebagai sosok kiai yang berperan sebagai intelektual organik, ternyata tidak mampu menjalankan kepemimpinan intelektual dan moral untuk membangun hegemoni. Teritorial hegemoni yang dibangun hanya sebatas dominasi terhadap santri, dan  tidak berhasil ketika menghadapi kontra hegemoni dari luar santri atau yang dikembangkan oleh elite politik dan partai Islam lainnya yang berposisi sebagai intelektual tradisional.

Di era reformasi yang semakin “bebas” ini, ruang gerak kiai untuk mengejawantahkan interpretasi politiknya semakin terbuka lebar. Ada begitu banyak peluang, peran, harapan, dan kewibawaan yang dimiliki kiai dengan instrumen yang mereka adopsi dari isu-isu tentang demokrasi, penguatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat petani, anti diskriminasi, dan kesetaraan gender menempatkan posisi kiai di tingkat menengah ke bawah, dari hanya sebagai cultural broker  menjadi political player. Hal ini diakui atau tidak, berpengaruh terhadap posisi dan otoritas kepemimpinan kiai. Sebagaimana pengaruh mereka juga berimplikasi terhadap derajat pengakuan kepemimpinan oleh masyarakat, dari hanya didukung oleh massa sendiri, ke arah pemimpin yang didukung dan diakui oleh elit dan pemimpin lain di kelasnya masing-masing.

Sebenarnya, dalam arena politik praktis, termasuk politik dalam dunia internal dan eksternal pesantren, tidak ada lawan dan kawan sejati. Setiap tokoh politik pasti mempunyai “resistensi politis” baik dari partai sebelah, ormas, atau adanya friksi dan perbedaan orientasi tertentu sekalipun dalam wadah yang sama. Dan tidak bisa dipungkiri adanya kenyataan bahwa sekali elit agama masuk wilayah politik, maka sekaligus juga mereka telah memasuki medan perang yang sangat luas (Ali, 2003: 6). Dan di antara perang itu adalah perang kiai dengan santri mereka sendiri dalam penentuan dan “pemaksaan” pilihan politik. Kredibilitas dan otoritas mereka dipertaruhkan sedemikian panas, demi sebuah tujuan politik praktis yang pada akhirnya juga akan berdampak pada otoritas wilayah, ketika tujuan politik sudah tercapai, walaupun harus mengorbankan kepentingan kepesantrenan seperti nilai ketaatan dan ketundukan pada guru.

Secara umum, peran dan fungsi kiai dalam mengartikulasikan makna politik Islam dari dunia pesantren terpola dalam tiga peran : sebagai aktor sekaligus tim sukses dan juru kampanye partai tertentu. Atau sebagai pendukung partai tertentu di belakang layar. Atau sebagai partisipan yang sangat menentukan dengan cara memberikan restu terhadap calon tertentu. Dan ketika kiai terjun dalam arena politik dengan tiga bentuk peran yang telah dilakukan tersebut, maka secara tidak langsung, terjadilah degradasi karismatik. Karena bermain di arena politik memaksa seorang kiai untuk memihak partai atau calon tertentu. Sedangkan komunitas santri dalam pesantren berasal dari berbagai macam latar belakang. Konsekuensinya, tidak semua ajakan kiai untuk mengikuti partai tertentu diikuti oleh umat dan santrinya (Patoni, 2007: 174).

Penutup

Sebagai ungkapan akhirul kalam, dapat disimpulkan bahwa politik bagi kiai merupakan dunia profan yang angker, yang hanya boleh dimasuki oleh mereka yang tidak akan mempengaruhi posisi kesakralan agama. Bagi kiai, politik sekaligus juga merupakan kekuasaan sebagai religious elite sehingga pijakan dan tujuan politik adalah (hanya) untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat berdasarkan nilai-nilai agama. Namun di sisi lain, tidak dapat ditolak adanya pergumulan dalam mempertahankan dan memperjuangkan kekuasaan untuk mencapai status dan tujuan tertentu, demi status elit agama sehingga melakukan mobilisasi politik melalui jargon-jargon yang dijustifikasi dalil-dalil agama. Dominasi tradisionalisme dan kharisma tetap digunakan sebagai penguat wahana transformasi nilai-nilai moral dalam masyarakat. Selain itu, peran komunitas pesantren yang menempatkan kiai sebagai panutan, juga berimbas pada akselerasi pencapaian politik kiai dalam memobilisasi semua media yang ada untuk melakukan aksi politiknya demi menginterpretasikan makna politik dalam dunia pesantren dan masyarakat secara umum. Namun demikian, secara internal mulai ada kecenderungan dari komunitas pesantren, untuk tidak sepenuhnya mendukung pilihan politik kiai. Mereka menginginkan dinamisasi politik yang lebih demokratis dan rasional datang dari dunia pesantren. Jika ini yang terjadi, maka dunia pesantren tidak sakral lagi sebagai kawah candradimuka ahlussunnah wal jamaah. Ibarat singa yang sudah keluar dari hutan, sehingga tidak mampu lagi menunjukkan kewibawaan dan otoritas kepemimpinannya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Daftar rujukan

Ali, Fachry (2003), Islam dan pandangan politik umat (jurnal pemikiran Islam vol 1 no 1)
Black, Anthony (2006), Pemikiran Islam di masa nabi hingga masa kini (terj. Abdullah Ali, Jakarta : Serambi Ilmu)
Conger, Jay, A (1997), Pemimpin karismatik di balik mistik (terj. Anton Adiwijoyo, Jakarta : Bina Rupa Aksara)
Dhofier, Zamakhsyari (1994), Tradisi pesantren: studi pandangan hidup kiai Jakarta : LP3ES)
Dirjosanjoto, Pradjarta (1999), Memelihara umat, kiai pesantren-kiai langgar Di Jawa, (Jogjakarta : LkiS)
Ishomuddin (2004), Posisi sosial budaya masyarakat Muhammadiyah dan NU : studi etnografis masyarakat transisi kab. Lamongan, (disertasi Program pascasarjana IAIN Sunan Ampel)
Jabiri, Muhammad Abid al- (2001), Agama, negara, dan penerapan syariah (terj. Mujiburrahman, Jogjakarta : LkiS)
Kamaruddin (2002), Partai politik islam di pentas reformasi, (Jakarta : Visi Publishing)
Kamil, Syukron (2003), peta pemikiran politik umat islam, (jurnal universitas Paramadina, vol 3 no 1 : Jakarta)
Ma’luf, Louis (1997), al-munjid fi al-lughah wa al-a’laam, (Beirut: Daar al-Masryiq)
Mandzur, Ibn (1999), Lisan al-arab, (Beirut: Dar ihya turats arabi)
Mansurnoor, Iik Arifin (1990), Islam in an Indonesian wordl ulama of Madura, (Gadjah Mada University press)
Maliki, Zainuddin (2004), Agama priyayi : makna agama di tangan elit penguasa, (Jpgjakarta: pustaka Marwa)
Mastuhu (1994), Dinamika sistem pendidikan pesantren, (Jakarta : INIS)
Patoni, Ahmad (2007), peran kiai pesantren dalam politik, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar)
Syadzali, Munawwir (1993), Islam dan tata negara : ajaran, sejarah, dan pemikiran, (Jakarta : Universitas Indonesia press)
Syam, Nur (2007), perilaku poltik santri dalam pilkada Jatim 2008 ( Jawa Pos, opini, 9 Agustus 2009)
Suprayogo, Imam (1998), kiai dan politik di pedesaan : kajian tentang variasi dan bentuk keterlibatan politik kiai (disertasi S3 Universitas Airlangga Surabaya)
Varma, S.P (1975), Modern political theory a critical survey, (Vicas Publishing House Ltd, India)
Weber, Max (1963), the sociology of religion, (Boston press)