Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

Berkelompok; Perlawanan Sosial Masyarakat Kecil

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Senin, 17 Oktober 2016
  • Dilihat 85 Kali
Bagikan ke

Berkelompok; Perlawanan Sosial Masyarakat Kecil Oleh, Nurul Hadi

Orang kecil akan menjadi besar ketika berkelompok. Orang penakut akan menjadi pemberani bersama kelompoknya. Yang lemah menjadi kuat dalam kelompok. Berkelompok menjadi pilihan orang-orang yang tak berdaya.

Di sisi lain, orang kuat akan mempertahankan kekuasaannya dengan membangun kelompok sendiri. Orang hebat akan tampil perkasa ketika memiliki sekelompok orang yang setia mendukungnya. Yang berbahaya, ketika kejahatan besar dilakukan secara berkelompok.

Kelompok model pertama adalah perkumpulan orang yang sadar akan pentingnya berkelompok. Sadar atas kelemahannya untuk menghadapi permasalahan dalam kesendirian. Sadar bahwa potensi yang dimiliki tidak bisa maksimal ketika dilakukan secara individual. Pilihannya adalah bersama dengan sekelompok orang untuk membangun komunitas yang saling menguatkan satu sama lainnya.

Sementara di pihak lain, ada orang yang mampu melakukan keinginannya secara personal, tetapi dia butuh eksistensi dan aktualisasi diri. Maka dia akan menunjukkan kehebatannya kepada banyak orang dengan kelompoknya. Karena terkadang kehebatan seseorang diukur oleh seberapa banyak komunitas yang setia kepadanya (fans). ***

Naluri berkelompok sesungguhnya dapat kita amati di sekitar kita, mulai dari yang sangat sederhana sampai pada korporasi (corporation) tingkat tinggi. Kebutuhan berkelompok banyak kita lihat sebagai bentuk perlawanan social masyarakat kecil terhadap tendensi kekuasaan yang dominan. Seperti petani versus pedagang, rakyat versus penguasa dan banyak lainnya.

Para petani sering diidentikkan dengan masyarakat lemah, apa yang mereka tanam akan menjadi komoditas (commodity) dengan nilai tawar rendah. Hal itu terjadi karena umumnya petani tidak melakukan aktivitas pertanianya secara berkelompok. Mereka bertani dengan mengandalkan kemampuannya masing-masing secara turun-temurun; tidak ada perencanaan yang matang, tidak ada system pengendalian, teknologi budidaya yang sangat sederhana dan tidak ada perhitungan pasca panin.

Cara yang individual seperti ini tentu saja sangat lemah, mereka menanami sawah atau ladangnya berdasarkan insting pribadi dan rutinitas dari tahun-tahun sebelumnya meskipun kondisi sudah berubah. Akhirnya hasil panin terus menurun, nilai jual anjlok dan menjadi mangsa pedagang predator.

Hal semacam ini barangkali tidak akan terjadi, apabila atas kesadaran bersama petani berkelompok untuk melakukan perencanaan; bermusyawarah menentukan komoditas yang akan ditanam, dengan berkelompok petani bisa melakukan system pengendalian; berhubungan dengan beberapa pihak yang mempunyai kepentingan dengan komoditas yang akan atau sedang mereka tanam, teknologi yang tidak dapat terbeli secara personal bisa diadakan bersama kelompoknya dan hasil panin akan memiliki daya tawar tinggi dengan menjadikan mereka sebagai pedagang bukan sebagai korban.

Di pihak yang lain, banyak pedagang yang sudah menjalankan bisnisnya dengan system korporasi. Harga komoditas dapat mereka kendalikan dengan capital yang besar. Korporasi adalah model berdagang dengan berkelompok. Banyak yang bisa mereka kendalikan dengan kelompoknya, seperti modal, komoditas dan harga. Dengan berkelompok, modal mereka semakin besar. Dengan modal besar mereka dapat menciptakan komoditas sendiri. Bahkan, korporasi ini dapat merekayasa harga dan pasar.

Sesungguhnya pedagang, kaum kapitalis, dengan system koorporasi ini jumlahnya sangat kecil di Negara kita: minoritas. Kabarnya hanya 5% saja dari masyarakat Indonesia. Tetapi mereka menjadi penguasa yang dominan. Sementara petani dan pedagang kecil sesungguhnya adalah mayoritas. Mestinya, menurut hukum logika, mayoritas dapat mengalahkan minoritas. Tetapi realitasnya berbeda, justru minoritaslah yang menjadi pemenang. Hal itu terjadi karena yang mayoritas itu tercerai berai dengan system individualismenya masing-masing, sehingga menjadi jauh lebih kecil daripada minoritas tadi. Maka untuk melawan ini, masyarakat petani atau pedagang kecil itu harus membangun kesadaran akan pentingnya berkelompok. Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? Masyarakat kita ini sampai sekarang masih diam, dan tertidur. Untuk membangunkan mereka harus ada yang menggerakkan.

Kaum intelektual harus turun ke bawah bukan hanya bekerja di belakang meja; menggerakkan kesadaran petani dan pedagang kecil akan pentingnya berkelompok. Mahasiswa sebagai agen of change benar-benar memposisikan diri sebagaimana mestinya. Menyadarkan kesadaran berkelompok bagi petani sama dengan membangunkan singa tidur. ***** Namun demikian yang harus dicatat di sini adalah bahwa yang kita bangun itu berkelompok dengan kesadaran itu bukan berkelompok karena kepentingan. Karena fenomena yang terjadi, banyak petani dan pedagang kecil itu dikelompokkan oleh kaum elit untuk kepentingan tertentu. Lagi-lagi masyarakat kecil menjadi korbannya. Mereka berkelompok bukan untuk mereka sendiri, tetapi kelompok mereka untuk kepentingan kaum elit lagi.

Contohnya kelompok tani yang belakangan muncul di mana-mana. Kelompok ini bukan membangun kesadaran atas kelemahan yang harus mereka benahi. Tapi kolompok ini justru menjadi alat untuk keuntungan pribadi.Lalu bagaimana membangun kesadaran berkelompok itu? Al-Qur’an mengajarkan kita untuk selalu bermusyawarah (QS. Al-Baqarah: 233, Asy-Syura: 38, dan Ali Imran: 159). Musyawarah adalah cirri paling penting dalam membangun kesadaran berkelompok. Dengan musyawarah semua saling berpendapat dan menghormati pendapat orang lain. Hasil musyawarah menjadi kesepakatan bersama dan tanggung jawab komunal. Dalam musyawarah semua hal dapat dibicarakan, tetapi yang paling penting adalah mendahulukan kepentingan bersama dan menyingsingkan rasa ke’aku’an masing-masing.

Penyakit yang sering menghancurkan kelompok adalah rasa ego (keakuan). Kesadaran berkelompok harus berangkat dari keinginan untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, penyakit egoisme ini sejak dini harus diwanti-wanti dan terus diingatkan kepada masing-masing anggota kelompoknya. Karena kadang egoisme muncul kepermukaan dengan kemasan demokrasi. Kalau demikian, motivasi dan mengingatkan visi dan misi yang menjadi tujuan kelompok harus terus menerus disampaikan dalam rangka memupuk benteng kesadaran berkelompok tersebut. Wallahu a’lam.