Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

BELAJAR MEMBACA

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Minggu, 11 Juni 2017
  • Dilihat 36 Kali
Bagikan ke

- Sering kali saya berpraduga, bahwa dalam konteks masyarakat Indonesia sekarang, ideologi Pancasila terlalu muluk untuk dapat dirasionalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya sangsi, apakah saya, yang mengaku bangga menjadi warga negara Indonesia, mampu merasionalisasikan sila pertama. Kenyataannya, dari beberapa kenalan—teman ngopi, teman musik, teman main gaple, teman yang merelakan uangnya saya pinjam, bahkan sesama mahasiswa pun—memiliki Tuhan Yang Maha Esa-nya masing-masing; serupa tapi tak sama. Sama-sama Tuhan namun esensi dan manifestasinya berbeda. Simalakama benar; berbeda pendapat saja membuat geregetan, apalagi berbeda pengertian tentang sila pertama. Saya mungkin bisa saja bersikap kalem dengan berlindung pada identitas saya yang termasuk golongan pengikut agama mayoritas di Indonesia. Tetapi yang menjadi kegelisahan saya adalah, apakah dengan menjadi bagian agama mayoritas, saya boleh mencelakakan orang yang beragama non-mayoritas dengan meminta bantuan “saudara” mayoritas saya dalam jumlah banyak? Apakah dengan menjadi bagian agama mayoritas, kesalahan saya menjadi tidak terlihat karena banyaknya saudara yang “mendukung” kesalahan saya? Kegelisahan macam itu bukan tanpa alasan. Biar saya luruskan. Sejak di bangku sekolah dasar hingga menengah atas, pelajaran Pancasila tidak pernah absen mengisi buku catatan saya, dan tidak pernah mendapat nilai di bawah delapan. Akan terlihat lucu saja kalau saya tidak hafal sila kedua. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah saya pantas disebut manusia beradab kalau masih tega menekan, mendesak, mengancam dan mencelakakan manusia yang beragama non-mayoritas dengan meminta dukungan dari “saudara” agama mayoritas? Bukankah yang non-mayoritas itu juga “saudara senegara”? Setelah saya pikir berulang-ulang, rasa-rasanya kok kurang elok, kalau tanpa rasa bersalah saya menghina teman non-mayoritas saya yang menyukai lele, dan tiba-tiba saya merasa sangat marah karena dia mengomentari saya yang mencintai tempe, kemudian meminta teman-teman mayoritas saya untuk memperkarakannya ke pengadilan dengan berlindung di balik undang-undang Hak Asasi Manusia. Bukankah ketika demikian, sama saja saya sudah menodai kesakralan undang-undang itu? Kalau saya tidak salah ingat, sila ketiga Pancasila juga telah menyinggung soal itu. Kalau pun saya tak salah tafsir, maksud Bhinneka Tunggal Ika—yang dipetik dari kitab Sutasoma-nya Mpu Tantular—adalah siapapun dia, apapun agama, suku dan bahasanya harus bersatu agar teguh, sebab kalau tercerai akan runtuh. Kalau enggan bersatu, berarti menolak Pancasila. Kalau menolak Pancasila, berarti bukan warga negara Indonesia. Kalau bukan warga negara Indonesia, sebaiknya enyah saja. Saya rasa semua pelajar, guru, buruh, petani, pedagang, bahkan anggota dewan sekalipun paham betul maksud bijaksana dan musyawarah. Dalam benak saya, bijaksana dalam berbangsa dan bernegara berarti mengedepankan urusan dan kepentingan negara. Saya akan memilih mendengarkan lagu Indonesia Raya terlebih dahulu, meskipun saya dalam keadaan sehabis makan dan butuh suntikan amunisi Gudang Garam. Atau saya lebih senang membayar mahal tiket konser dangdut di desa sebelah, ketimbang nonton gratis konser Mr. Big di stadion GBK. Ah, sudahlah. Tidak nyambung memang. Intinya adalah, kalau Anda akan menonton konser secara komunal, baiknya dimusyawarahkan dahulu antara dangdut atau slow rock, dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan secara kekeluargaan tentunya, bukan aksi demo berdasarkan tanggal cantik di kalender hingga seolah-olah menjadi peristiwa penting yang patut dikenang. Barangkali, insomnia saya beberapa hari terakhir ini karena terlalu banyak menuntut keadilan sosial sebagai rakyat Indonesia, atau saya yang gagal paham Pancasila, atau justru jam terbang saya yang padat dengan jadwal kunjungan ke beberapa warung kopi.