Menggenjot Spirit Berkarya Anak Didik
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Kamis, 1 Juni 2017
- Dilihat 33 Kali
Oleh: Liffiani Guru menulis di media massa, ini hal biasa. Karya siswa tembus media massa, baru ini luar biasa. Dikatakan begitu, karena dari segi pengalaman tentu lebih luas guru ketimbang siswa. Kalau dianalogikan, siswa tak ubahnya tunas pohon yang masih bersandar pada batangnya, sedangkan guru adalah batang itu sendiri. Merupakan suatu kebanggaan ketika ada siswa yang senang berkarya, apalagi punya spirit tinggi ‘menyerbu’ media massa. Di samping siswa dan sekolah dapat menunjakkan bargaining position-nya sewaktu karya itu dimuat, hal terpenting lainnya ialah terbangunnya iklim kepenulisan atau kepengarangan di sekolah. Iklim tersebut amat berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam mengembangkan potensi dirinya. Kongkretnya, manakala ada satu karya siswa yang dimuat di media massa tentu akan berdampak positif terhadap siswa lainnya. Mereka akan terpicu sendiri untuk juga berkarya. Di sinilah dapat dijumpai nuansa kompetitif dalam berkarya yang memang urgen digalakkan di sekolah-sekolah. Dan ini sulit tercapai tanpa peran aktif dari seorang guru beserta stakeholder pendidikan lainnya. Sebagai motivator, seorang guru dituntut mampu ‘merangsang’ siswanya berkarya. Tidak hanya transfer ilmu yang seringkali amat teoritis dan kurang aplikatif. Lebih dari itu, guru juga diharapkan bisa berkarya. Bila hal itu diwujudkan, maka betapa sekolah kuasa menjadi sumber peradaban dunia. Sebab, peradaban dunia terbangun lantaran kekuatan karya, melalui rajutan kata-kata bermakna. Berpijak pada semua itu, ada beberapa langkah yang penting diperhatikan untuk menumbuh-kembangkan siswa berkarya. Pertama, revitalisasi perpustakaan sekolah yang tak jarang kurang dimanfaatkan. Selama ini, guru cenderung masih lebih fokus pada materi pelajaran an sich. Perpustakaan sekolah pun ‘hanya’ dijadikan tempat baca, tanpa ada kegiatan yang menopangnya. Melalui revitalisasi ini, nantinya diharapkan tumbuh spirit membaca sekaligus berkarya dalam diri siswa. Kedua, menyediakan akses informasi. Ini juga tak kalah pentingnya. Kalau sekolah tak mampu memfasilitasi siswa dengan internet, misalnya, maka berlangganan koran adalah suatu kemestian. Dan harus diakui, mereka yang ketinggalan informasi di era globalisasi ini adalah termasuk dari golongan yang didorong ke lembah kebodohan. Masih tentang urgensitas informasi kaitannya dengan spirit siswa berkarya. Informasi ini dapat menunjang terhadap lahirnya ide. Ide untuk berkarya itu mahal dan kadang sulit. Dan mudahnya akses informasi dapat meminimalisasi kesulitan tersebut. Ketika ide sudah mudah diraih melalui tersedianya informasi, maka spirit siswa berkarya yang membaja bukanlah mimpi di siang bolong. Pasti jadi kenyataan! Ketiga, memfasilitasi siswa berkarya. Kalau sekolah belum siap menerbitkan majalah atau semacamnya, misalnya, sekolah dapat memulai itu melalui yang ringan seperti majalah dinding (Mading). Mading tersebut bisa tiap kelas, bisa juga satu dan yang mengisi bergantian per-kelas setiap hari atau tergantung situasinya. Keempat, mengadakan pelatihan kepenulisan atau kepengarangan. Sekolah dapat menghadirkan penulis-penulis andal yang mampu menggenjot semangat siswa berkarya. Sebagai follow up dari pelatihan tersebut, perlu dibentuk komunitas menulis. Di komunitas inilah nantinya harus dibangun iklim kompetisi positif. Upayakan ada satu pembimbing khusus yang berasal dari guru produktif. Atau, minimal senang berkarya. Dari keempat langkah di atas, sekolah dapat menjadi lokomotif perubahan ke arah yang lebih baik di negeri ini. Perubahan yang bersumber dari karya! *) Liffiani, Mahasiswa PBA B Semester VI STAIN Pamekasan