Modernisasi Kurikulum Pesantren Abstrak
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Rabu, 14 Juni 2017
- Dilihat 64 Kali
Zaman terus berubah dan sistem pendidikan saatini terus berkembang dengan berbagai kurikulum baru dan metode pembelajaran juga ikut berkembang dan berbeda dengan model pembelajaran sebelumnya sehingga dalam hal ini pesantren harus dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi zaman/Era Modern yang menuntut setiap lembaga pendidikan tidak terkecuali pesantren untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan sekarang ini sehingga tidak dijauhkan oleh masyarakat. Tantangan tunggal pesantren di masa modern adalah adanya gesekan-gesekan globalisasi dan modernisasi yang bersifat kompleks. Dalam menghadapi tantangan zaman, pesantren juga harus senantiasa memegang prinsip-prinsip pembaharuan yaitu: memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam, memiliki kebebasan yang terpimpin, berkemampuan mengatur diri sendiri, memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, menghormati orang tua dan guru, cinta kepada ilmu, mandiri, dan kesederhanaan. Kata Kunci, Modernisasi, Pembaharuan Kurikulum, Pesantren Pendahuluan
Al-muhafadhah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Kaidah ini menjadi salah satu motor penggerak bagi para kyai untuk melakukan tranformasi pengelolaan pesantren sejalan dengan tuntutan jaman. Sebagai momentum dimulainya gerakan tranformasi pesantren, menurut Azyumardi Azra, adalah dikenalkannya sistem pendidikan modern di bumi Nusantara, baik sistem pendidikan kolonial yang datang lebih awal maupun sistem pendidikan modern Islam yang datang kemudian. Walaupun pada awalnya kalangan pesantren menyambut dingin dan penuh curiga terhadap dua model pendidikan modern di atas, pada akhirnya pondok pesantren dengan penuh kesadaran mulai membuka terhadap perubahan. Salah satu aspek penting yang mengalami perubahan dalam lembaga pendidikan pesantren adalah aspek kurikulum, dari kurikulum lama yang sederhana dan luwes menjadi lebih beragam dan kompleks. Akan tetapi perubahan tersebut tidak berlaku umum bagi semua pesantren. Sejumlah pesantren bahkan tetap bertahan dengan kurikulum lama. Demikian pula bagi pesantren-pesantren yang melakukan perubahan, aspek-aspek perubahannya tidak sama antara pesantren yang satu dengan pesantren lainnya.
Dengan beragamnya aspek-aspek perubahan yang terjadi pada lembaga pesantren, berarti tipe dan karakter pesantren tidak lagi homogen seperti semula. Di masa sekarang terdapat beberapa tipe dan karakter pesantren, terutama jika dilihat dari kurikulum yang diterapkan. Tipe dan karakter pesantren yang ada sekarang, oleh masyarakat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yakni pesantren tradisional dan pesantren modern. Pengelompokan ini, sebenarnya terlalu simplistis dan merupakan bentuk penyederhanaan dari masalah yang belum tuntas. Lebih-lebih apabila istilah tradisional dikontraskan dengan istilah modern, pasti akan semakin rumit dan membingungkan. Sebab dalam konteks sosiologis, apa yang disebut modern sebenarnya tidak pernah menciptakan suatu komunitas yang baru sama sekali, pasti terkait dan merupakan kelanjutan dari pola tradisional. Lebih-lebih apabila mencermati gerak perubahan yang terjadi pada kurikulum pesantren, model perubahannya tidak berlangsung secara radikal tercerabut dari akarnya. Perubahannya terjadi secara bertahap dan hati-hati di atas landasan tradisi masa lampaunya. Oleh karena itu, antara tradisi lama yang terjadi belakangan tidak bisa dipisahkan secara tegas, ada semacam kesinambungan di tengah-tengah perubahan (contiuity and change). Potret Pondok Pesantren dan Pendidikannya
Dalam buku editornya, Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag menyebutkan bahwasanya Sudjoko Prasodjo mendefinisikan pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Di sini Sudjoko menggambarkan pesantren sebagai sebuah lembaga untuk menampung para peserta didik yang pada saat itu hanya dipelajari kitab-kitab bertuliskan bahasa Arab karya ulama-ulama terdahulu. Para peserta didik di sini disebut dengan istilah santri, karena mereka hanya dipelajari tentang ilmu agama oleh kiai yang ada di pesantren tersebut. Dan selama mereka belajar, sebagian besar dari peserta didik biasanya tinggal di sebuah pondok (asrama) yang disediakan oleh kiai yang ada di pesantren tersebut sehingga mereka disebut dengan istilah seorang santri.
Di samping itu, pesantren juga menjadi sebuah media untuk menyebarkan agama Islam khususnya di negara Indonesia. Karena pendiri pondok pesantren pertama kali adalah seorang ulama yang datang dari negara lain ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam. Dia bernama Maulana Malik Ibrahim yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gresik karena, pada saat itu dia menyebarkan agama Islam di Jawa Timur tepatnya di daerah Gresik. Maka dari itu, pesantren dilahirkan sebagai media untuk menyebarkan agama Islam. Dalam sebuah buku juga disebutkan bahwa “Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i.” Pesantren sendiri menurut asal katanya berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri/tempat belajar para santri.
Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu, kata “pondok” juga berasal dari bahasa Arab “Funduq” yang berarti hotel atau asrama (Zamakhsyari, 1983: 18).
Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan sangat menentukan tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya, berdirinya suatu pesantren ini diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kyai. Karena keinginan menuntut ilmu dari guru tersebut, masyarakat sekitar bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Kemudian mereka membangun tempat tinggal yang sederhana di sekitar tempat tinggal guru tersebut.
Mengenai potret pendidikan pesantren, pesantren yang diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini masih eksis dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di masyarakat. Meski demikian, peran pesantren saat ini boleh dikatakan sangat terbatas karena pengelolaannya kurang kredibel dan fasilitas yang dimiliki juga apa adanya.
Meski banyak kelemahan yang dimiliki oleh pesantren, sebagian besar di antaranya masih tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat muslim Indonesia. Terlebih lagi pesantren yang memiliki figur kharismatik, mampu menjaga kualitas keilmuannya, berkonsentrasi penuh terhadap perkembangan keilmuan para santri, dan mampu membangun komunikasi yang baik dengan komunitas sosial dan pemerintah.
Mekanisme kerja pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yaitu: pertama, memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kyai. Kedua, kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problema nonkurikuler mereka. Ketiga, para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar ijazah karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridhaan Allah SWT, semata. Keempat, sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, penamaan rasa percaya diri, dan keberanian hidup. dan Kelima, alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah. (Amin Rais, 1989: 162).
Pengertian Kurikulum Pendidikan
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang ditempuh oleh pelari. Pada mulanya istilah ini hanya digunakan dalam istilah olahraga, akan tetapi kemudian istilah curere tersebut juga digunakan dalam dunia pendidikan karena dianggap sama-sama menempuh suatu jarak untuk mencapai suatu tujuan. Proses dalam sistem pembelajaran di sebuah pendidikan merupakan proses tahapan yang pastinya membutuhkan jarak waktu untuk sampai pada tahap berikutnya. Dalam tahap pendidikan dimulai dari tahap pembelajaran paling dasar sampai pada tahap pembelajaran yang paling sulit. Maka dari itu, dibutuhkan jarak untuk sampai pada tahap pembelajaran berikutnya. Dan digunakanlah istilah kurikulum untuk memperkaya istilah dalam pendidikan.
Awal kurikulum terbentuk pada tahun 1947, yang diberi nama Rencana Pembelajaran 1947. Kurikulum ini pada saat itu meneruskan kurikulum yang sudah digunakan oleh Belanda karena pada saat itu masih dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan. Berbeda dengan istilah para pakar pendidikan pada masa klasik yang menggunakan istilah al-maddah (materi). Karena pada masa itu para peserta didik disuguhkan dengan materi pelajaran yang sesuai dengan tingkatannya yang telah ditentukan juga berdasar kemampuannya.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan pendidikan atau pengajaran dan hasil pendidikan atau pengajaran yang harus dicapai oleh anak didik, kegiatan belajar mengajar, pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum itu sendiri. Di Indonesia istilah kurikulum boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Sejak itu pengertian kurikulum mengalami perkembangan. Kurikulum yang semula dipandang hanya sebagai sejumlah mata pelajaran beralih makna menjadi sejumlah mata pelajaran dan semua kegiatan atau semua pengalaman belajar yang diberikan pada siswa di bawah tanggung jawab lembaga sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.