Sistem Zonasi dalam PPDB
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Jumat, 8 September 2023
- Dilihat 91 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan momen paling mencemaskan bagi sebagian orang tua. Kecemasan sudah dimulai saat pendaftaran online, karena khawatir anaknya tidak terdaftar di sekolah pilihan (favorit). Hal ini, karena sekolah-sekolah favorit biasanya menerapkan batas kuota pendaftar. Seringkali aplikasi pendaftaran macet karena pendaftar membeludak di hari-hari akhir pendaftaran. Karena itu, untuk keperluan dan keamanan pendaftaran anaknya, sebagian orang tua siap inden jauh-jauh hari jika sekolah pilihannya membuka peluang untuk itu. Kecemasan berikutnya adalah, saat menunggu pengumuman kelulusan; lulus apa tidakya, anak saya? Bahkan bagi sebagian orang tua yang mampu, siap membayar agar anaknya diterima di sekolah pilihannya. Tak perduli apakah sekolah yang dipilih jauh dari tempat tinggal, yang penting diterima. Untuk pergi-pulang sekolah, bukan masalah, karena anak-anaknya bias diantar jemput atau berkendaraan sendiri.
Sistem PPDB seperti di atas menyimpan sejumlah masalah. Pendaftar menumpuk di sekolah-sekolah favorit, apalagi sekolah-sekolah ini sering menambah kuota seiring banyaknya pendaftar. Sedangkan sekolah-sekolah biasa terlihat sepi peminat bahkan sebagian sekolah terpaksa gulung tikar / di-regrouping dengan sekolah terdekat. Yang diterima di sekolah favorit adalah anak-anak berprestasi, anak pejabat [karena biasanya sekolah tak berdaya menolak meskipun prestasi anaknya tidak memenuhi syarat], anak orang kaya [yang siap membayar asal anaknya diterima]. Sehingga sekolah favorit bukan saja membuat demarkasi antara sekolah favorit dan tidak favorit, tapi juga antara sekolah anak berprestasi / pejabat / orang kaya dan sekolah anak biasa-biasa saja, antara sekolah kaum elite dan kaum alit. Sangat tidak egaliter dan diskriminatif.
Karena itu, pemerintah mengeluarkan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang menandai berakhirnya PPDB sistem lama. Selanjutnya, PPDB diatur melalui system zonasi, yakni sebuah system pengaturan proses penerimaan siswa baru berdasarkan jarak sekolah dengan tempat tinggal calon siswa. Tujuan utama dari system ini adalah untuk pemerataan kualitas pendidikan, menghilangkan label sekolah favorit dan tidak favorit, dan menghilangkan kesan sekolah anak pinter / pejabat / kaya dan sekolah anak orang biasa. Maka, melalu system zonasi ini, 90% calon siswa harus mendaftar kesekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya. Memang ada peluang bagi siswa berprestasi untuk mendaftar kesekolah lain di luar zona wilayahnya, tapi kuotanya terbatas, hanya 5% dari kuota yang tersedia.
Selesaikah masalahnya? Belum selesai. Memang, system zonasi bias mengakhiri menumpuknya pendaftar kesekolah-sekolah favorit seperti terjadi tahun-tahun sebelumnya. Dengan system zonasi, pemerataan akses akan dapat diwujudkan, sehingga kuota siswa di sekolah-sekolah relative terpenuhi, egalitarianism dalam pendidikan dapat terwujud dan menghindari diskriminatif. Namun, system ini belum bias mengobati kekecewaan sebagian orang tua yang menolak system ini karena anaknya tidak bisa mendaftar ke sekolah favorit yang jauh dari tempat tinggalnya. Karena dalam kenyataan, sekolah-sekolah yang ada di sekitar tempat tinggal mereka, belum berkualitas bahkan di bawah standar.
Menjadi pertanyaan, wajarkah orang tua memilih sekolah favorit untuk anak-anaknya? Sangat wajar. Karena sekolah favorit merupakan jaminan kualitas. Di sekolah favorit, input siswa dan guru umumnya input berkualitas, proses pembelajaran berlangsung optimal, sehingga output bahkan outcome-nya rata-rata berkualitas. Bukankah anak-anak berprestasi nasional bahkan internasional banyak lahir dari sekolah-sekolah favorit? Karena itu, sangat wajar jika orang tua berusaha kuat agar anak-anaknya diterima di sekolah favorit.
Karena itu, agar system zonasi sesuai target dan didukung masyarakat, pemerataan kualitas sekolah harus menjadi agenda utama pemerintah, dengan cara membenahi sekolah-sekolah yang selama ini diragukan kualitasnya oleh orang tua. Lengkapi sarana-prasarananya, optimalkan proses pembelajaran, dan –paling utama— tingkatkan kualitas kepala sekolah dan gurunya. Mengapa kepala sekolah? Karena kepala sekolah yang berkualitas akan bias melejitkan sumber daya yang biasa menjadi luar biasa. Mengapa guru? Karena guru yang berkualitas dapat melejitkan siswa yang biasa menjadi luar biasa. Bukankah tidak ada anak yang bodoh. Yang ada, adalah siswa yang kurang beruntung karena tidak memiliki kesempatan belajar kepada guru-guru berkualitas(3).
Editor: AF/Humas IAIN Madura.