HARI SANTRI
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Jumat, 20 Oktober 2023
- Dilihat 145 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Alasan penetapan Hari Santri, sebagaimana dinyatakan dalam diktum Perpres tersebut, adalah sebagai bentuk pengakuan pemerintah atas peran besar ulama dan santri pondok pesantren dalam merebut kemerdekaan RI dan mempertahankan NKRI serta mengisi kemerdekaan.
Mengapa memilih 22 Oktober sebagai Hari Santri? Di tanggal tersebut, tahun 1945 silam, Hadratus Syaikh Hasyim Asyari—Rais Akbar PBNU saat itu--mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad di Surabaya. Inti dari fatwa tersebut, bahwa berjuang membela tanah air dan mengusir para penjajah yang hendak merebut kembali kemerdekaan Indonesia, adalah wajib. Betul saja, pasca fatwa tersebut, dengan semangat jihad membara, umat Islam bersama TNI-Polri dan seluruh elemen bangsa bangkit melawan penjajah sehingga menggagalkan agresi militer Belanda yang hendak merebut kembali NKRI.
Lalu, siapa yang dimaksud santri? Kalau merujuk tulisan Clifford Geertz dalam Agama Jawa; Santri, Priyayi dan Abangan, yang dimaksud santri adalah muslim yang taat, sedangkan abangan adalah muslim yang kurang taat. Namun, jika merujuk pada tradisi muslim pedesaan, yang disebut santri adalah para pelajar di langgar, di pondok pesantren, dan di madrasah diniyah. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa istilah santri, secara umum, dapat disematkan kepada setiap muslim yang taat atau yang berusaha untuk taat. Sedangkan secara khusus, istilah santri disematkan kepada mereka yang menuntut ilmu (thālibul `ilmi) untuk menjadi muslim yang taat. Selama ia menjadi thālibul `ilmi, maka selama itu pula ia menjadi santri. Karena itu, Hari Santri dapat menjadi momentum bagi setiap muslim untuk mengasah keislamannya menuju ketaatan.
Jika penetapan Hari Santri dinyatakan sebagai bentuk apresiasi dan rekognisi pemerintah terhadap perjuangan kaum santri, bagaimana wujud lebih lanjut rekognisi tersebut terhadap pengembangan pondok pesantren, wadah penggodokan kaum santri dalam belajar dan menempa diri? Empat tahun pasca penetapan Hari Santri, Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Dua tahun berikutnya disusul dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Bahkan jauh sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disusul Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pemerintah telah mengatur penyelenggaraan pendidikan formal di pondok pesantren. Peraturan-peraturan tersebut ditindaklanjuti dengan ketentuan operasional melalui sejumlah Peraturan Menteri Agama sebagai penanggungjawab penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan. Bahkan kabar terbaru, pemerintah telah menyetujui penambahan struktur baru--Dirjen Pesantren dan Pendidikan Diniyah—di Kementerian Agama, guna optimalisasi pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan pesantren.
Maka, melalui peraturan-peraturan tersebut, pesantren dipercaya untuk menyelenggarakan pendidikan formal khas pesantren yang fokus pada penyiapan kader ulama yang ahli agama (tafaqquh fiddīn), mulai jenjang pendidikan dasar hinggi pendidikan tinggi, dalam bentuk satuan pendidikan mu`adalah dan pendidikan diniyah. Satuan pendidikan mu`adalah diselenggarakan dengan jenis salafiyah atau mu’allimin dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah, sedangkan pendidikan diniyah formal diselenggarakan mulai jenjang pendidikan dasar (awaliyah & wustha), menengah (‘ulya) hingga pendidikan tinggi (ma`had aly).
Dengan demikian, meskipun terlambat, pemerintah telah melakukan upaya-upaya sistemik dalam mengangkat pendidikan pesantren. Mengapa terlambat? Karena perjuangan kaum santri telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan, sedangkan pengakuan resmi terhadap pendidikan pesantren, baru dilakukan setelah 2003, pasca keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007. Sebelum itu, pengasuh pesantren tidak leluasa menyelenggarakan pendidikan di pesantren. Agar santrinya lulus memperoleh ijazah formal, pesantren harus mengadopsi kurikulum madrasah/sekolah formal yang diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam banyak kasus, cara seperti ini dapat mengganggu kurikulum khas pesantren yang fokus pada tafaqquh fiddīn. Karena itu, banyak pesantren tetap bertahan dengan kurikulum pesantren dan membiarkan lulusannya tidak berijazah formal, yang penting menguasai ilmu agama (9).
Editor: AF/Humas IAIN Madura