Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

PERUNDUNGAN DI KALANGAN PELAJAR

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 27 Oktober 2023
  • Dilihat 343 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Mendikbud Nadiem Anwar Maka­rim pernah menyebut perundungan sebagai salah satu dosa besar yang melanda dunia pendidikan, selain kekerasan seksual dan intoleransi. Penggunaan bahasa agama “dosa besar” tampaknya untuk menggugah para pelaku pendidikan akan penting dan mendesaknya mengatasi masalah tersebut secara bersama-sama. Karena, jika dibiarkan berkelanjutan akan sangat membahayakan masa depan bangsa, mengingat pelajar saat ini merupakan pemimpin masa depan.

Lalu, apa yang dimaksud perundungan? Dalam Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023, perundungan (bullying) merupakan bagian dari kekerasan (violence) yang dilakukan secara berulang-ulang karena ketimpangan relasi kuasa. Bentuknya bisa fisik (seperti penganiayaan) atau psikis (seperti pengucilan, penolakan, pengabaian, penghinaan, penyebaran rumor, panggilan yang mengejek, intimidasi, teror, perbuatan memalukan di depan umum, dan pemerasan).

Berdasar data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang dihimpun Republika, terdapat 16 kasus perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah pada periode Januari hingga Agustus 2023.  Kasusnya terjadi di jenjang pendidikan SD (25 persen), SMP (25 persen), SMA (18,75 persen), SMK (18,75 persen), MTs (6,25 persen), dan pondok pesantren (6,25 persen). Data FSGI juga menunjukkan, jumlah korban perundungan di satuan pendidikan selama paruh pertama 2023 adalah sebanyak 43 orang. Rinciannya, 41 orang korban berasal dari peserta didik dan dua orang lainnya adalah guru. Pelaku perundungan didominasi oleh peserta didik, yaitu sejumlah 87 orang pelaku, diikuti oleh pendidik (5 orang), orang tua (1 orang), dan kepala madrasah (1 orang).

Jadi, pelajar sebagai pelaku dan korban perundungan, menempati peringkat tertinggi. Beberapa contoh kasus bullying yang sering dilakukan antar pelajar; (1) kakak kelas memalak yuniornya untuk menyerahkan uang secara rutin. Korban terpaksa memberi karena takut, dan tidak berani melaporkan ke sekolah/orang tua karena sudah diancam sebelumnya; (2) kakak kelasnya sesuka hati memerintah yuniornya untuk melakukan sesuatu, seperti menyuruh membelikan jajan di kantin, mengambil barang di kelas, membawakan tas, dan lain-lain. Korban tidak berani membantah karena takut mendapat perlakuan kasar; (3) mengucilkan teman sekolahnya untuk membuat korban merasa sendirian dan terpisah dari kelompok sosial mereka; (4) mengejek fisik temannya secara negative sehingga korban merasa tidak nyaman, malu dan tidak percaya diri; (5) menghina atau merendahkan temannya bahkan orang tua temannya, sehingga korban malu dan tak percaya diri; (6) saling mengejek antar teman bahkan antar sekolah sampai menimbulkan perkelahian; (7) persaingan antar geng siswa (baik dalam satu sekolah atau antar sekolah), saling mengintimidasi hingga terjadi perkelahian antar geng; (8) bullying di sekolah juga bisa terjadi dengan kekerasan fisik seperti memukul, menendang, menyiksa beramai-ramai, sampai ke yang paling parah, pembunuhan berencana.

Korban perundungan akan mengalami banyak dampak negative, baik secara fisik maupun psikis, yakni: (1) membentuk mental sebagai korban, (2) berpotensi menjadi pelaku bullying serupa, (3) tidak percaya diri disebabkan oleh ketakutan akan mengalami bullying lagi, (4) mengalami trauma, (5) timbul perasaan tidak berguna, (6) bersikap murung, (7) sulit mempercayai orang lain, (8) bersikap agresif, (9) depresi, (10) sulit mengendalikan emosi, (11) sulit berkonsentrasi, (12) sulit tidur, (13) mengalami gangguan kesehatan dan pertumbuhan, (14) kecerdasan tidak berkembang, (15) luka, cacat fisik hingga kematian, dan (16) menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri (https://m.jpnn.com/news/16-dampak-kekerasan-terhadap-anak).

Banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya bullying di kalangan pelajar, antara lain; (1)  perbedaan dalam hal ras, agama, etnis, orientasi seksual, gender, atau kemampuan fisik bisa menjadi pemicu perundungan. Pelajar yang dianggap berbeda sering kali menjadi sasaran perundungan; (2) perilaku dan kepribadian pelajar dapat memicu perundungan. Pelajar yang terlalu agresif, dominan, atau memiliki masalah perilaku sering menjadi pelaku perundungan; (3) lingkungan keluarga. Pola perilaku dan nilai-nilai yang dipelajari di rumah dapat mempengaruhi apakah seorang pelajar akan menjadi pelaku atau korban perundungan. Misalnya, jika seorang anak tumbuh dalam keluarga yang merendahkan atau menggunakan kekerasan, ia mungkin lebih mungkin terlibat dalam perundungan; (4) lingkungan sekolah. Faktor-faktor dalam lingkungan sekolah, seperti kurangnya pengawasan guru atau kurangnya kebijakan anti-perundungan yang efektif, dapat mempengaruhi tingkat perundungan di sekolah; (5) teknologi informasi. Bullying yang sering dipertontonkan di dunia maya merangsang anak untuk mempraktikkan di dunia nyata; (6) ketidaknyamanan dengan diri sendiri. Anak yang merasa tidak aman atau tidak nyaman dengan diri mereka sendiri dapat mencoba mengalihkan perasaan mereka dengan merendahkan orang lain; (7) norma sosial. Terkadang, norma sosial yang merendahkan atau mengabaikan perundungan dapat memungkinkan perundungan terus berlanjut (https://chat.openai.com).

Menjadi tugas bersama--sekolah, orang tua, pemerintah, dan masyarakat--untuk menekan kasus-kasus bullying antar pelajar di sekolah. Pemerintah telah dua kali mengeluarkan peraturan terkait pencegahan dan penang­gulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan, yakni Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 dan diperbaharui dengan Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023. Dalam Permen ini diatur sanksi bertingkat kepada guru, peserta didik, tenaga kependidikan, dan satuan pendidikan yang terbukti melakukan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan atau terbukti lalai melaksanakan tugas dan fungsinya yang mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan di satuan pendidikan. Tapi, peraturan saja tidak cukup tanpa implementasi dan pengawasan yang ketat (10).

Editor: AF/Humas IAIN Madura