Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

HARI IBU

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 22 Desember 2023
  • Dilihat 319 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Adalah Kongres Perempuan Indonesia ke-3 di Bandung pada 1938, yang memutuskan untuk mengadakan peringatan hari ibu setiap 22 Desember. Mengapa 22 Desember? Karena di tanggal itu—22 sampai 25 Desember--pada 1928 silam di Yogyakarta, diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia ke-1. Mengapa perlu peringatan Hari Ibu? Sebagai tonggak sejarah kebangkitan kaum perempuan Indonesia, kebangkitan perempuan untuk terlibat dalam upaya kemerdekaan bangsa dan pergerakan perempuan dari masa ke masa dalam menyuarakan hak-haknya guna mendapatkan perlindungan dan mencapai kesetaraan.

Terbukti, di saat perjuangan kemerdekaan, tidak sedikit dari kaum perempuan yang terlibat aktif mengangkat senjata, bahkan memimpin pergerakan melawan penjajah. Demikian pula saat mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, peran perempuan sangat signifikan dalam pembangunan bangsa. Karena itu, tidak heran jika pemerintah menobatkan sejumlah tokoh perempuan sebagai pahlawan nasional. Setidaknya, hingga kini, terdapat 17 Pahlawan Nasional dari unsur kaum perempuan.

Dan berkat perjuangan kaum perempuan, Negara sudah memberikan jaminan perlindungan dan hak kepada mereka melalui peraturan perundang-undangan, di antaranya [1] UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) menyebutkan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir-miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat, yang selanjutnya pada Pasal 49 ayat (2) menyebutkan bahwa wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita; [2] Pasal 22 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa sarana prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak salah satunya adalah ruang menyusui untuk para ibu; [3] Pasal 128 UU 36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan bahwa Pemerintah harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus; [4] Pasal 10 UU 44/2009 tentang Rumah Sakit bahwa bangunan Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas ruang-ruang tertentu yang salah satunya adalah ruang menyusui; [5] UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, mengatur bahwa pekerja perempuan yang tengah hamil berhak memperoleh waktu istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan (Pasal 82) dan perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83). Tentu saja, kaum perempuan akan terus berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dan untuk membangun bangsa.

Bagaimana perspektif Islam tentang hari ibu? Slogan Islam terhadap ibu adalah “Tiada hari tanpa Hari Ibu”, dalam arti tiada hari tanpa memuliakan ibu, tiada hari tanpa berbakti kepada Ibu. Banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, antara lain; pertama, Suatu ketika seorang pria mendatangi Rasulullah saw. lalu bertanya, "Siapakah yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?" Beliau mengatakan, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Beliau mengatakan, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Beliau mengatakan, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Beliau mengatakan, "Ayahmu" [HR. Imam Buhkari dan Imam Muslim]; kedua, Seseorang mendatangi Nabi saw, ingin meminta izin untuk berjihad. Nabi bertanya, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Ia jawab, "Iya masih." Nabi saw pun bersabda, "Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya" (HR Muslim); ketiga, Seorang tabi`in, Uwais al-Qarni, dipuji Rasulullah padahal belum pernah bertemu Rasul,  karena begitu totalnya berbakti kepada ibunya. Bahkan Nabi bersabda kepada Sahabat-Nya, “temui dia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk kalian" (HR. Muslim); keempat, Nabi bersabda "Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua" (HR Tirmidzi); kelima, Nabi bersabda: "Siapa yang suka untuk dipanjangkan umur dan ditambahkan rizki, maka berbaktilah pada orang tua dan sambunglah tali silaturahmi" (HR Ahmad); keenam, Nabi bersabda: "Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka." Ada yang bertanya, "Siapa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "seorang yang mendapati kedua orangtuanya masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga" (HR Muslim); ketujuh, Rasulullah bersabda, "Apakah kalian mau aku beritahu mengenai dosa yang paling besar?" Para sahabat menjawab, "Mau, wahai Rasulullah." Rasul lalu bersabda, "(Dosa terbesar adalah) mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." Beliau mengucapkan hal itu sambil duduk bertelekan pada tangannya. (Tiba-tiba beliau menegakkan duduknya dan berkata), "Dan juga ucapan (sumpah) palsu." Beliau mengulang-ulang perkataan itu sampai saya berkata (dalam hati), "Duhai, seandainya beliau diam" (HR. Bukhari dan Muslim).

Karena itu, selagi masih memiliki Ibu, jangan pernah melewatkan untuk berbakti, jangan pernah membuatnya sedih. Penyesalan kemudian, tidak akan berguna. Meskipun harus disadari, bahwa kebaktian anak kepada orang tua tak akan mampu membalas kebaikan orang tua. Bukankah ada pepatah “Satu Ibu bisa merawat sepuluh anak, tetapi sepuluh anak belum tentu bisa merawat seorang Ibu”, juga “Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah”.

Bagaimana jika ibu sudah wafat, apa yang bisa dilakukan untuk berbakti? Suatu ketika, datang seseorang kepada Nabi saw dan bertanya “Wahai Rasulullah, masih adakah bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah wafat? Jawab Rasul “Ada, yakni mendoakan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin silaturahim dengan keluarga kedua orang tua, dan memuliakan teman dekat keduanya” (HR. Abu Daud & Ibn Majah), wallāhu a`lam [18].

Editor: Achmad Firdausi / Humas