HILANGNYA MATA KULIAH AKHLAK DALAM KURIKULUM BARU
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Jumat, 15 Desember 2023
- Dilihat 145 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Kurikulum baru berbasis merdeka belajar—yang dikenal dengan sebutan MBKM—mulai diterapkan kepada mahasiswa baru angkatan 2023/2024. Dalam tataran operasional, kurikulum ini diterjemahkan ke dalam bentuk mata kuliah, praktikum, dan rekognisi atas kinerja/prestasi yang dihasilkan mahasiswa selama kuliah.
Saya kebetulan mengajar mata kuliah Teosofi (Teologi dan Tasawuf) untuk mahasiswa baru [semester 1]. Mata kuliah ini merupakan bagian dari kelompok mata kuliah wajib tingkat institut. Artinya, semua mahasiswa dalam semua program studi, wajib memperogram mata kuliah ini, dan wajib lulus.
Dari segi nama, “Teosofi”, sepertinya mata kuliah baru. Ternyata bukan. “Teosofi” merupakan nama mata kuliah yang isinya menggabungkan dua mata kuliah yang sebelumnya berdiri sendiri, yakni mata kuliah Ilmu Tauhid dan mata kuliah Akhlak Tasawuf. Mata kuliah Ilmu Tauhid diganti dengan “Teologi” sedangkan mata kuliah Akhlak Tasawuf diganti “Tasawuf,” dengan menghilangkan kata “Akhlak”. Dan ternyata bukan hanya dua mata kuliah ini yang digabung, mata kuliah Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits yang selama ini berdiri sendiri, juga digabung menjadi satu mata kuliah “Ulumul Qur’an dan Hadits”. Padahal kedua ilmu ini masing-masing memiliki banyak cabang yang berbeda, dan keduanya telah dipisah dengan program studi yang berbeda pula, yakni Program Studi Ilmu Hadits dan Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Dalam sejarah perubahan kurikulum PTKI, 4 mata kuliah inti dan mendasar tersebut (Ilmu Tauhid, Akhlak Tasawuf, Ulumul Qur’an, dan Ulumul Hadits) selalu menjadi mata kuliah wajib tingkat institut dan selalu menjadi mata kuliah tersendiri. Oleh karena itu, dalam sejarah perubahan kurikulum di PTKI [khususnya di IAIN Madura], terutama untuk 4 mata kuliah inti tersebut, sangat revolusior.
Tentang nama mata kuliah, “Teosofi (Teologi dan Tasawuf),” menarik perhatian saya karena beberapa hal: [1] mengapa masih menggunakan istilah “Teosofi”, kan sudah cukup dengan nama “Teologi dan Tasawuf”? Bukankah istilah “teosofi” itu produk sekuler, sedangkan mata kuliah ini banyak berisi doktrin ketuhanan khas Islam. Sepengetahuan saya, secara historis, istilah teosofi berawal dari sebuah perkumpulan Theosophical Society yang didirikan di New York 1875 oleh sekelompok aktivis yang concern pada kajian-kajian kepercayaan dan tradisi kuno. Pendiri utamanya adalah Helena Petrovna Blavastsky [1831-1891], seorang perempuan aristocrat Rusia berdarah Yahudi yang oleh pengikutnya dijuluki The mother of new age movement. Dengan demikian, memberi nama “Teosofi” untuk “Teologi dan Tasawuf” kurang tepat bahkan menambah masalah “keilmuan” baru; [2] jika “Teosofi” dihilangkan dan menamai mata kuliah ini dengan “Teologi dan Tasawuf” pun tetap kurang tepat, karena istilah “Teologi” terlalu umum sedangkan yang dikaji dalam mata kuliah ini adalah teologi khas Islam. Karena itu, yang tepat adalah “Teologi Islam dan Tasawuf”; [3] jika diganti dengan “Teologi Islam dan Tasawuf” pun kurang elok, karena keduanya menggunakan asal bahasa berbeda. Bukankah ada nama yang lebih tepat dan lebih cocok dengan substansinya, yang masih dalam satu bahasa, yakni “Tauhid dan Tasawuf” atau “Ilmu Tauhid dan Ilmu Tasawuf”?
Yang terpenting dibahas dari tulisan ini, sebagaimana judul, adalah hilangnya mata kuliah “Akhlak” dalam kurikulum baru, yang mulai diterapkan di semester satu ini. Mata kuliah “Akhlak Tasawuf” diganti dengan mata kuliah “Tasawuf” [tanpa Akhlak] lalu digabung dengan “Teologi”. Menjadi pertanyaan, mengapa mata kuliah “Akhlak” dihilangkan? Mungkinkah karena akhlak tidak penting lagi? Tentu saja tidak. Justru saat ini pendidikan akhlak lebih penting di saat kian merosotnya akhlak mulia di semua kalangan. Bukankah inti ajaran Islam adalah akhlak? dan bukankah Rasul pun bersabda bu`itstu li utammima makārimal akhlāq? Tapi, kalau penting, mengapa materi akhlak hilang dari peredaran kurikulum baru?
Kemungkinan kedua, mata kuliah akhlak ditiadakan karena sudah ada/digabung dengan tasawuf, atau materi akhlak ditempelkan ke mata kuliah Tasawuf. Benarkah demikian? Perlu dimaklumi, dalam studi Islam, akhlak dan tasawuf telah menjadi ilmu tersendiri, yakni Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf. Jadi, idealnya, kedua ilmu ini diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri. Tapi, karena harus berbagi dengan mata kuliah lain, keduanya digabung menjadi mata kuliah Akhlak Tasawuf. Dan gabungan ini--akhlak dulu baru tasawuf--sudah tepat. Dalam arti, mahasiswa belajar materi akhlak terlebih dulu yang cakupannya cukup luas [bagaimana berakhlak mulia dan menghindari akhlak tercela ketika sendirian, ketika bersama dengan yang lain, ketika bersama dengan lingkungan, serta bagaimana berakhlak kepada Allah], lalu dilanjutkan dengan belajar tasawuf, yang intinya belajar metode para sufi dalam melakukan al-shafā’ wal musyāhadah, pensucian diri melalui tahapan-tahapan tertentu [maqāmāt], menuju tercapainya musyāhadah atau ma`rifatullāh. Dengan demikian, kalaulah harus memilih antara mata kuliah Akhlak dan mata kuliah Tasawuf, mahasiswa lebih tepat dan lebih membutuhkan mata kuliah Akhlak, bukan Tasawuf. Karena itu, tidak tepat jika mencukupkan materi akhlak ke dalam mata kuliah Tasawuf.
Oleh karena itu, [1] tidak menggabung dua mata kuliah “Tauhid dan Tasawuf” ke dalam satu mata kuliah, merupakan pilihan lebih tepat; [2] mengembalikan materi Akhlak—menjadi Akhlak Tasawuf—merupakan pilihan lebih tepat; dan [3] mengembalikan mata kuliah tersebut ke sebelumnya, menjadi dua mata kuliah yang berdiri sendiri [yakni mata kuliah Ilmu Tauhid dan mata kuliah Akhlak Tasawuf] merupakan pilihan lebih tepat. Demikian pula untuk mata kuliah “Ulumul Qur’an dan Hadits”, mengembalikan ke sebelumnya sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri [menjadi "Ulumul Qur’an” dan “Ulumul Hadits”], merupakan pilihan lebih tepat.
Jika terkendala dengan keterbatasan jumlah sks, bisa mengurangi jumlah sks mata kuliah lain. Misalnya, bahasa Arab dan bahasa Inggris yang masing-masing mendapat porsi 4 sks, dikurangi menjadi masing-masing 2 sks. Bukan berarti belajar bahasa asing tidak penting. Tapi, dalam kenyataan, bagi pelajar yang hingga lulus SMA/SMK/MA belum paham kedua bahasa asing tersebut [dan ini yang mayoritas], saat kuliah pun sulit paham. Artinya, bagi mereka, mendapat 2 sks atau 6 sks sama saja, sama-sama sulit untuk bisa menguasai bahasa asing. Kecuali strategi belajarnya diperbaiki, meniru sistem kursus. Sebagai gambaran, belajar bahasa Inggris sejak SMP hingga lulus Sarjana [berarti 10 tahun] tidak bisa-bisa. Tapi, dengan kursus 6 bulan, telah menguasai conversation dengan baik. Berarti, belajar bahasa Inggris 6 bulan [dengan sistem kursus] bisa mengalahkan belajar regular 10 tahun, wallāhu a`lam [17].
Editor: Achmad Firdausi / Humas