Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

PENDIDIKAN KOMPREHENSIF HOLISTIK BERBASIS IDENTITAS DAN KARAKTER

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Rabu, 17 Januari 2024
  • Dilihat 278 Kali
Bagikan ke

Oleh: Affan, S.Pd.I, M.M.*

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan (education) adalah usaha sadar (consious) dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan (religiusitas), pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 

Dari ketentuan umum arti pendidikan di atas, dapat dikontekstualisasikan bahwa tujuan pendidikan ideal diantaranya adalah upaya pengembangan potensi diri (atau meminjamkan istilah teori kebutuhan Maslow –aktualisasi kemampuan diri) agar bagaimana seorang peserta didik mampu menjadi dirinya sendiri dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.

Hal yang bisa dilakukan dan diperoleh dari pengembangan diri ini dalah adanya pendidik (guru atau dosen) yang mampu mengarahkan peserta didik menyalurkan kemampuan dan keterampilan (skill of life) peserta didik dengan proporsional atau dalam Islam solihun likulli makan wazamanihi).  

Akan tetapi, akhir-akhir ini dengan melihat realita yang ada, esensi serta idealis penerapan pendidikan sudah banyak yang berubah dan bahkan tercerabut dari akarnya. Seperti contoh adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh (oknum) peserta didik yang tidak bertanggung jawab atas kata pedidik. Banyaknya tawuran diantara pelajar secara kasat mata akan membuat dunia pendidikan di Indonesia mempunyai image negatif di mata masyarakat Indonesia atau bahkan masyarakat dunia.

TANTANGAN (THREATS) PENDIDIKAN DI ERA 4.0

Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi atau otonomi daerah yang saat ini sedang marak dan era globalisasi total yang sudah dan bahkan akan terjadi pada era 4.0. Kedua tantangan tersebut merupakan ujian berat yang harus dilalui dan dipersiapkan oleh seluruh bangsa Indonesia terutama oleh pemegang kebijakan di bidang pendidikan. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berbudaya di masa yang akan datang. Oleh karena itu,peningkatan kualitas SDM sejak dini merupakan hal penting yang harus dipikirkan secara sungguh-sungguh terutama pendidikan kepada generasi muda dan bahkan peserta didik yang saat ini masih sekolah di tingkat pertama, menengah dan atas.

Salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas SDM peserta pendidik di Indonesia adalah dengan memperbaiki kurikulum pendidikan dan metode pengajaran di kelas. Kurikulum Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang mempunyai konsep berbeda yang disesuaikan dengan tuntutan jaman dalam menyongsong globalisasi era 4.0, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas belajar dan mengajar di kelas, serta menghasilkan kualitas SDM yang handal.

Namun yang menjadi masalah diantaranya adalah kesiapan para guru di lebaga pendidikan harus bisa untuk mengalirkan KTSP di kelas, yang memang memerlukan pengetahuan dan keterampilan tentang metode-metode pengajaran atau bahkan kurikulum yang berbeda dengan kurikulum lama.

Indonesia Heritage Foundation (IHF) telah mengembangkan sebuah model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter yang memfokuskan pada pembentukan seluruh aspek dimensi manusia, sehingga dapat menjadi manusia yang berkarakter. Kurikulum Holistik Berbasis Karakter ini disusun berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan Student Active Learning, Integrated Learning, Developmentally Appropriate Practices, Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple Intelligences yang semuanya dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan, serta dapat mengembangkan seluruh aspek dimensi manusia secara holistik.

Model pendidikan holistik berbasis karakter ini telah dipakai oleh Departemen Pendidikan Nasional dalam proyek pengembangan “Model Penyelenggaraan BBE (Pendidikan Berorientasi Keterampilan Hidup) Melalui Pembelajaran Terpadu di TK dan SD Kelas Rendah” (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, 2002), “Model Pembelajaran Tematis: Kelas Layanan Khusus di SD” (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, 2003), “Model Pembelajaran “Aku Cinta Indonesia” (Departemen Perindustrian dan Perdagangan bekerja sama dengan Depdiknas, 2003) dan Training Of Trainer (TOT) Tingkat Nasional “Model Pembelajaran Kecakapan Hidup (life skill) Berbasis Karakter Bagi Instruktur/Pemandu Tingkat Propinsi, 2004”.

Model ini menfokuskan pada pembentukan indentitas dan karakter siswa karena keduanya (identitas dan karakter) bagi bangsa Indonesia merupakan aspek penting dan urgen yang menentukan kemajuan bangsa. Keduanya sangat tergantung pada kualitas karakter sumberdaya manusianya (SDM). Karenanya identitas dan karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini.

Freud mengatakan bahwa kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian (intern conflict) di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson, 1968).

Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University - mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai. Dan jika tanda-tanda ini sudah ada, maka berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah :

(1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja;

(2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk;

(3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan;

(4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas;

(5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;

(6) menurunnya etos kerja;

(7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;

(8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara;

(9) membudayanya ketidakjujuran;

(10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman tersebut sudah ada di zaman ini. Selain sepuluh tanda-tanda jaman tersebut, masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).

Pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

Pada dasarnya, peserta didik yang kualitas karakternya rendah adalah peserta didik yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usia prasekolah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.

Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.

Menurut Berkowitz (1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai-nilai identitas (valuing). Misalnya seseorang yang terbiasa berkata jujur karena takut mendapatkan hukuman, maka bisa saja orang ini tidak mengerti tingginya nilai moral dari kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan identitas memerlukan juga aspek emosi. Menurut Lickona (1991), komponen ini adalah disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat baik.

PENDIDIKAN KOMPREHENSIF HOLISTIK

Pendidikan diharapkan agar bagaimana peserta didik nantinya mampu dan bisa menerapkan, mengaplikasikan serta membumikan –meminjam istilah Quraisy shihab dalam buku membumikan Al Quran- pengetahuan dan keilmuannya. Pengetahuan dan keilmuan mereka betul-betul bisa bermanfaat, berguna serta mempunyai nilai efisiensi dan efektifitas bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara terutama kepada agamanya. Ilmu yang mereka miliki memiliki nilai positif (positive values) yang mampu merubah keadaan dan mampu menyesuaikan diri dengan waktu, tempat, situasi, kondisi –atau dalam istilah Prof. Dr. Afnan, MM The right knowledges in the right place, the right values in the right human, atau meminjam istilah Abu Nawal –soolihun likulli zamaan wamakaan wahaal. .

Diantara metode untuk mempunyai keinginan agar bagaimana seorang pendidik mampu melakukan pendidikan komprehensif holistik adalah dengan cara mengarahkan peserta didik untuk senantiasa melakukan yang terbaik dengan pengetahuan yang amaliah dan amal yang berpengetahuan –atau istilah saat ini yang lebih terkenal berpengetahuan aplikatif dan pengamalan yang ilmiah) dengan memberikan freedom of thinks bagi mereka. Harapannya, peserta didik mampu berfikir kreatif, inovatif, responsif dan bertanggung jawab dan memiliki pribadi yang mandiri (manusia komprehensif holistik humanis). Wallahu a’lam bissowab.

*saat ini menjadi Tenaga Kependidikan Perpustakaan Institut Agama Islam Negeri Madura (2023-sekarang)

Editor: Achmad Firdausi / Humas