Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

MAKNA BULAN SYA`BAN

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 23 Februari 2024
  • Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Dalam tradisi arab pra-Islam, orang Arab sangat menghormati bulan Rajab sehingga di bulan ini mereka bersepakat untuk tidak melakukan permusuhan dan peperangan. Bahkan orang Arab menambahkan satu sifat al-asham [tuli] untuk bulan Rajab, rajab al-`asham. Mereka mensifati demikian, karena di bulan Rajab ini mereka tuli alias tidak mendengar bunyi pedang yang berkecamuk karena peperangan. Namun, memasuki bulan Sya’ban, mereka mulai berpencar mencari musuh-musuh mereka. Bahkan orang Arab menambahkan sifat celaan, al-`azl [mengucilkan] di belakang Sya’ban, sya`bān al-`azl. Mereka sifati demikian, karena mereka mencela bahkan mengucilkan siapa saja yang tetap berdiam diri di rumahnya di dalam bulan Sya’ban ini, padahal pada saat itu sedang musim perang antara satu suku dengan lainnya.

Setelah Islam datang, Allah tetap menjadikan bulan Rajab sebagai bulan mulia beserta tiga bulan lainnya, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, sehingga keempatnya disebut sebagai asyhurul hurum. Demikian pula dengan bulan Sya`ban, dijadikan sebagai bulan mulia. Ini ditunjukkan dengan diapitnya bulan Sya’ban oleh dua bulan mulia, Rajab dan Ramadhan. Dan Nabi pun mendoakan ketiga bulan ini dengan doa kebaikan “Allāhuma bāriklanā fi Rajaba wa Sya`bāna wa ballighnā Ramadhāna” [Ya Allah, berkahilah kepada kami di bulan Rajab dan bulan Sya`ban, dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan].

Dalam kitab Mādzā fī Sya`bān karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki, disebutkan tiga peristiwa penting yang terjadi di bulan Sya`ban, yakni perpindahan kiblat shalat, turunnya wahyu perintah bershalawat kepada Nabi, dan laporan tahunan amal perbuatan manusia.

Pertama, perpindahan kiblat shalat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram terjadi pada bulan Sya’ban. Diriwayatkan bahwa selama di Mekah Nabi shalat menghadap Masjidil Aqsha. Demikian pula di Madinah, selama ± 17 bulan, Nabi masih shalat menghadap Masjidil Aqsha. Namun, beliau terus menerus memohon kepada Allah agar kiblat shalat dipindahkan ke Ka’bah yang merupakan kiblatnya abul anbiyā’, Nabi Ibrahim As.


Akhirnya, permohonan Nabi tersebut diijabah oleh Allah yang ditunjukkan dengan turunnya wahyu Surat al-Baqarah ayat 144 “Qad narā taqalluba wajhika fis samāi fa lanuwalliyannaka qiblatan tardhāhā fa walli wajhaka syathral masjidil harām” [Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram].

Peristiwa perpindahan kiblat shalat ini ditunjukkan dalam suatu peristiwa, bahwa pada suatu hari, Nabi mengunjungi ibu dari Basyar bin Barra’ bin Ma’rur dari Bani Salimah. Lalu Ummu Basyar pun menjamu beliau. Kemudian tibalah waktu shalat dhuhur. Nabi pun shalat berjamaah bersama para sahabat di masjid. Setelah mengerjakan shalat dua rakaat, datang Malaikat Jibril mengisyaratkan untuk mengubah arah shalat menghadap ke Baitullah. Lalu, Nabi memutar posisinya menghadap Ka’bah, lalu bertukarlah posisi wanita pada kaum lelaki dan posisi kaum laki-laki pada posisi wanita. Oleh karena itu, masjid itu dinamai dengan Masjid Qiblatain (dua kiblat).


Makna terpenting dari pemindahan arah kiblat adalah ujian bagi kaum beriman, apakah mau mendengar dan taat ataukah tidak terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebab, terkait perubahan kiblat shalat ini, orang-orang musyrik berkata, “Orang Islam telah kembali dari kiblat semula, berarti mereka telah kembali kepada agama nenek moyangnya, dan hal itu menunjukkan bahwa agama orang musyrik itulah yang benar.” Orang Yahudi mengatakan, “Muhammad telah mengingkari kiblatnya para nabi terdahulu. Seandainya ia benar-benar seorang nabi, pastilah ia akan menghadap kiblat para nabi terdahulu.” Dan orang munafik pun berkata, “Muhammad bingung hendak menghadap ke mana? Seandainya kiblat yang pertama benar, lalu mengapa ia meninggalkannya? Seandainya yang kedua yang benar, berarti selama ini ia berada dalam kebatilan?”

Kedua, turunnya wahyu perintah bershalawat kepada Nabi Muhammad saw, yaitu Surat al-Ahzab ayat 56 “Innallāha wa malāikatahū yushallūna `alan nabī. Yā ayyuhal ladzīna āmanū shallū `alaihi wa sallimū taslīmā” [Sungguh Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya]. Yang unik dari perintah bershalawat ini, Allah dan para malaikat-Nya “bersha­lawat” terlebih dahulu kepada Nabi, lalu Allah memerintah kaum beriman untuk bershalawat kepada Nabi. Hal ini berbeda dengan perintah-perintah lainnya yang tidak demikian. Ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan Nabi Muhammad di sisi Allah, dan betapa pentingnya kaum beriman bershalawat kepada Nabi. Karena itu, sangat tepat jika bulan Sya`ban ini disebut sebagai “bulan shalawat” sebagai momentum untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas shalawat kita kepada Nabi. Dan, sebagaimana disebutkan dalam banyak Hadits, pahala shalawat yang dibaca akan kembali kepada yang membaca. Dan semakin banyak bershalawat, semakin dekat dengan syafaat-Nya.

Ketiga, laporan tahunan amal perbuatan manusia. Salah satu hal yang menjadikan bulan Sya’ban utama adalah bahwa pada bulan ini semua amal manusia diserahkan kepada Allah. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Nabi: “Wahai Nabi, aku tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya`ban?” Kemudian Nabi menjawab, “Banyak manusia yang lalai di bulan Sya`ban. Pada bulan itu semua amal diserahkan kepada Allah, dan aku suka ketika amalku diserahkan kepada Allah, aku dalam keadaan berpuasa.”

Bukan hanya pelaporan amal, di bulan sya`ban, khususnya di malam nisfu sya`ban, Allah juga membuka luas pintu-pintu rahmat-Nya. Nabi bersabda “Innallāha ta`āla yanzilu lailatan nisfi min sya`bāna ilā samā’id dun-ya,fa yaghfiru li aktsara min `adadi sya`ari ghanami kalbin” [Sesungguhnya Allah swt turun ke langit dunia di malam nisfu sya`ban, kemudian mengampuni hamba-hamba-Nya lebih banyak dari jumlah bulu kambing milik kabilah Bani Kalb]. Atas dasar itu hadits ini, para sahabat, tabi`in, dan ulama selanjutnya, berusaha menghidupkan malam nisfu sya`ban dengan memperbanyak ibadah, bertaqarrub kepada Allah guna mengharap ridha dan ampunan-Nya.

Di antara ibadah yang masyhur dikerjakan umat Islam di malam nisfu sya`ban adalah membaca surah yasin bersama-sama sebanyak tiga kali setelah shalat maghrib, masing-masing diniati permohonan umur panjang yang bermanfaat, permohonan rezeki yang halal dan barakah, dan permohonan wafat membawa iman. Amalan masyhur ini tidak ditemukan di zaman Nabi dan Sahabat, melainkan dipopulerkan mulai zaman tabi`in. Tapi, tidak berarti yang tidak dilakukan Nabi adalah bid`ah dhalālah sebagaimana tuduhan sejumlah kalangan. Bahkan apa yang dilakukan kalangan tabi’`in ini termasuk bid`ah hasanah, berdasar pada sabda Nabi dalam riwayat Imam Muslim “Man sanna fil Islāmi sunnatan hasanatan fa lahū ajruhā wa ajru man `amila ba`dahā, min ghairu an yanqisha min ujūrihim syai’un. Wa man sanna fil Islāmi sunnatan sayyi-atan kāna `alaihi wizruhā wa wizru man `amila bihā min ba`dibī, min ghairi an yanqusha min auzārihim syai’un” [Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baik dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sesuatu yang jelek dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun]. Wamā taufīqī illā billāh. Wallāhu a`lam [26].

Editor: Achmad Firdausi / Humas