Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

MAKNA ISRA’ MI`RAJ

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Rabu, 7 Februari 2024
  • Dilihat 4275 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.


Dalam sejumlah sumber dinyatakan bahwa peristiwa Isra’ Mi`raj terjadi pada malam tanggal 27 Rajab di tahun ke-10/11 dari kenabian. Isra’ berarti perjalanan malam Nabi Muhammad dari Masjidil Haram Mekah al-Mukarramah menuju Masjidil Aqsha Baitul Maqdis Palestina, sedangkan Mi`raj berarti perjalanan lanjutan Nabi dari Masjidil Aqsha naik langit ke tujuh hingga ke Sidratul Muntaha. Diceritakan bahwa perjalanan tersebut dilakukan Nabi secara sadar (jasmani-rohani) dengan berkendara super cepat, Buraq, ditemani Malaikat Jibril. Sebelum diberangkatkan, Nabi dibelah dadanya oleh Malaikat Jibril, lalu dicuci dengan air zamzam, kemudian dipenuhi dengan hikmah dan iman. Setelah itu, ditutup kembali dada Nabi, dan selanjutnya diberangkatkan untuk melakukan Isra’ Mi`raj.

Sebelum melakukan Isra’ Mi`raj, Nabi mengalami cobaan beruntun. Belum selesai penderitaan yang dialami Bani Hasyim pasca diboikot kaum kafir Quraisy [selama ± tiga tahun], Nabi ditinggal wafat paman beliau Abu Thalib dan tak lama kemudian menyusul istri tercinta beliau Sayyidah Khadijah al-Kubra. Keduanya merupakan sosok pembela utama Nabi di masa-masa sulit dalam menyebarkan Islam di Mekah. Setelah ditinggal dua tokoh tersebut, perlawanan kafir Quraisy terhadap Nabi dan penyiksaan terhadap umat Islam kain meningkat, hingga akhirnya beliau hijrah ke Thaif untuk mencari perlindungan sekaligus mencari celah dakwah baru. Namun, kedatangan Nabi ke Thaif ditolak dengan kasar.

Cobaan beruntun tersebut membuat Nabi sangat bersedih, sehingga di tahun itu disebut `āmul khuzn, tahun kesedihan, tahun duka cita. Karena itu, cukup beralasan jika beberapa sumber menyatakan bahwa peristiwa Isra’ Mi`raj merupakan perkenan Allah untuk menghibur Nabi dari kesedihan, meningkatkan kesabaran, dan untuk memperteguh semangat beliau dalam menjalankan risalah kenabian yang selalu mendapat tantangan dan ancaman dari dalam (kaum munafiq) dan luar (kaum kafir).

Tentu saja bukan hanya alasan itu Nabi di Isra’ Mi`raj kan. Banyak makna lain yang hendak diperlihatkan Allah melalui kejadian agung ini, yakni untuk menunjukkan kemaha­kuasa­an Allah, bahwa apapun yang dikehendaki Allah terjadi, maka akan terjadi, meskipun di luar nalar manusia. Perlu diketahui bahwa perjalanan jauh nan super cepat itu hanya berlangsung pada sebagian malam, berangkat setelah isya` dan kembali sebelum subuh. Bahkan—menurut sebagian riwayat--saking cepatnya perjalanan tersebut, tempat tidur Nabi masih terasa hangat saat beliau kembali. Padahal dalam kebiasaan orang Quraisy, perjalanan dari Mekah ke Palestina ditempuh kurang lebih dua bulan berkendara unta. Belum lagi ke Sidratul Muntaha yang tak terjangkau manusia. Tapi kalau Allah menghendaki, semuanya akan terjadi dengan mudah. Berbeda dengan manusia yang tidak memiliki kemampuan apa-apa tanpa perkenan Allah “Lā haula walā quwwata illā billāh” [tidak ada daya untuk menghindar dari maksiat dan tidak ada kemampuan untuk melakukan taat, kecuali atas perkenan Allah]. Karena itu, diksi yang dipakai al-Qur’an dalam meriwayatkan perjalanan Nabi untuk Isra Mi`raj adalah “asrā bi`adihī” ([Allah] yang telah memperjalankan hamba-Nya), bukan “sarā” ([Nabi]yang melakukan perjalanan). Maka, kesadaran akan kemahakuasaan Allah dan ketakberdayaan manusia, harus terus diasah agar hidup ini tak salah arah dan kesasar. Karena dalam kenyataan hidup, kalau cita-cita sukses, manusia sering lupa diri. Baru kalau gagal, mengadu kepada Allah.

Foto: Brosur PMB IAIN Madura Tahun 2024 Edisi Revisi

Makna lain dari peristiwa agung nan suprarasional itu, adalah sebagai bentuk ujian keimanan, sampai-sampai Sahabat Abu Bakar digelari al-Shiddīq oleh Nabi, karena menerima dengan mantap peristiwa Isra’ Mi`raj yang dialami Nabi, di saat khalayak masih menyangsikan kabar itu. Selanjutnya, umat muslim yang imannya kuat meyakini peristiwa agung tersebut, tapi yang imannya lemah bisa kembali murtad. Sedangkan orang-orang kafir Quraisy menolak mentah-mentah, bahkan mengejek dan mengolok-olok Nabi setelah mendengar kisah Isra’ Mi`raj yang menurut mereka sesuatu yang mustahil dan lucu.

Makna berikutnya dari peristiwa Isra’ Mi`raj, adalah turunnya perintah salat lima waktu sebagai ibadah penentu di hadapan Allah, baik penentu di dunia maupun di akhirat, sehingga untuk menerima perintah ibadah penentu ini, Nabi menerimanya langsung dari Allah di tempat yang sangat istimewa, Sidratul Muntaha, yang hanya Allah dan Nabi Muhammad yang tahu. Berbeda dengan perintah-perintah yang lain yang banyak disampaikan melalui Malaikat Jibril.

Penentu di dunia? Ya, sabda Nabi “Bainar rajuli wa bainal kufri was syirki tarkus shalāti” [Yang membedakan seseorang dengan orang kafir dan orang syirik adalah meninggalkan salat]; “Innas shalāta tanhā `anil fakhsyāi wal munkar” [Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan keji dan munkar]. Penentu di akhirat? ya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi “Inna awwala mā yuhāsabu bihil `abdu yaumal qiyāmati min `amalihī shalātuhu. Fain shaluhat faqad aflaha wa anjaha wain fasadat faqad khāba wa khasira … “ [Sesungguhnya perbuatan manusia yang pertama kali dihisab di hari kiamat adalah salatnya. Jika salatnya baik, maka sungguh ia telah beruntung. Tapi jika salatnya rusak, maka sungguh ia telah merugi …].

Awalnya, perintah salat wajib berjumlah 50 kali sehari semalam. Tapi atas saran Nabi Musa yang kawatir memberatkan umat Muhammad, dan diamini oleh Nabi Muhammad yang rahmat, mana beliau memohon kepada Allah agar jumlahnya dikurangi. Setelah beberapa kali bolak balik memohon pengurangan, akhirnya Allah menetapkan salat menjadi 5 kali sehari semalam, tapi pahalanya setara dengan ibadah salat 50 kali. Ikhtiar Nabi memohon pengurangan jumlah salat ini, menunjukkan betapa kasih sayang Nabi kepada umatnya, kawatir memberatkan umatnya, sehingga—meskipun malu--beliau bolak balik memohon perkenan Allah untuk dikurangi. Dan Alla pun menunjukkan kasih sayangnya kepada umat Muhammad; jumlah salatnya dikurangi menjadi 5 kali tapi pahalanya berlipat sehingga setara 50 kali,karena 1 kebaikan dibalas 10 kebaikan.

Dalam peristiwa Isra’ Mi`raj ini, kasih sayang Nabi terhadap umatnya juga ditunjukkan ketika beliau pertama kali menjumpai Allah Jallā Jalāluh di Sidratul Muntaha. Saat itu, Nabi begitu takjub lalu memuji Allah dengan mengatakan “At-tahīyātul mubārakātus shalawātut thayyibātu lillāhi” [Segala penghormatan, keberkahan, dan kebaikan, semata-mata milik Allah]. Lalu Allah menyambut Nabi dengan salam “As-salāmu `alaika ayyuhan nabīyu wa rahmatullāhi wa barakātuhu” [Keselamatan, kasih sayang, dan keberkahan dari Allah, hanya untukmu Muhammad]. Mendengar salam Allah tersebut, Nabi ingin sekali agar umatnya yang shalih juga mendapatkan bagian dari salam Allah tersebut, maka Nabi melanjutkan “As-salāmu `alainā wa `alā `ibādillāhis shālihīn” [Semoga keselamatan bagiku dan bagi hamba-hamba Allah yang shalih]. Melihat fenomena itu, para malaikat begitu kagum betapa Allah Maha Rahman dan Rahim dan betapa Nabi begitu pengasih kepada umatnya, lalu para Malaikat mengucap “Asyhadu anlā ilāha illallāhu wa asyhadu anna muhammadan rasūlullāhi”.

Tentu masih banyak makna Isra’ Mi`raj yang belum diungkap dalam tulisan terbatas ini. Seperti makna perjumpaan Nabi dengan para utusan Allah di tujuh lapis langit, dan dipersaksikannya kepada Nabi beragam kasus penyiksaan di neraka dan kasus kenikmatan di surga, sebagai balasan atas perbuatan selama di dunia. Kasus-kasus yang disaksikan Nabi tersebut menunjukkan bahwa neraka telah disiapkan untuk para penguninya, demikian pula surga telah siap menunggu penghuninya. Tapi, kata Nabi, tidak ada muslim yang bisa masuk surga karena amalnya. Kunci surga hanya satu, yakni rahmat Allah, dan rahmat Allah maha luas [firman Allah: wa rahmatī wasi`at kulla syai’in]. Semoga, kita mendapat bagian dari rahmat itu, Āmīn yā arhamar rāhimīn [24].

Editor: Achmad Firdausi / Humas