Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

SEKOLAH INKLUSI

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 16 Februari 2024
  • Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus [ABK] dilakukan melalui dua model; segregasi [terpisah] dan terpadu. Melalui model segregasi, ABK dilayani melalui sekolah khusus ABK yang dikenal dengan nama Sekolah Luar Biasa [SLB]. Hal ini berbeda dengan anak yang tidak memiliki kebutuhan khusus yang dilayani melalui sekolah-sekolah regular. Di SLB ini, kurikulum dan sarprasnya didesain sesuai kebutuhan belajar ABK, demikian pula guru-gurunya, sehingga ABK memungkinkan mendapat layanan pendidikan memadai sesuai kebutuhan dan karakteristik ABK.

Selain melalui model segregasi, pendidikan bagi ABK juga dilayani melalui model terpadu, yakni dengan mengikutsertakan ABK untuk belajar ke sekolah regular yang ada. Dalam model terpadu ini, kurikulum dan sarprasnya didesain untuk sekolah regular, demikian pula guru-gurunya, sehingga ABK tidak mendapat layanan pendidikan memadai. Namun, kadang-kadang model terpadu ini dibutuhkan, karena di sekitar ABK tidak ada SLB, sedangkan orang tuanya ingin anaknya sekolah. Maka, jika ada kasus seperti ini, sekolah reguler harus menerima dan melayani dengan baik sesuai kemampuan.

Sekolah inklusi adalah model terbaru dalam memberikan layanan pendidikan bagi ABK. Sekolah inklusi merupakan bentuk layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah/kelas reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik yang beragam, terutama ABK. Di sekolah inklusi ini, kurikulum dan sarpras serta gurunya dirancang khusus agar mampu memberikan layanan optimal kepada semua peserta didik yang beragam, dengan memperhatikan kondisi objektif peserta didik.

Foto: Flyer Pendaftaran Mahasiswa Baru IAIN Madura Tahun Akademik 2024/2025

Filosofi yang mendasari sekolah inklusi adalah pendidikan untuk semua (education for all). Bahwa setiap anak [1] berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, [2] belajar hidup bersama dan bersosialisasi, [3] berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik, [4] berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan social yang harmonis; [5] berhak dipandang sama dan tidak menda­patkan diskriminasi dalam pendidikan.

Melalui sekolah inklusi, ABK diharapkan terhindar dari label negative, memiliki rasa percaya diri, memiliki kesempatan menyesuaikan diri, dan memiliki kesiapan menghadapi kehidupan nyata. Sedangkan bagi anak tanpa kebutuhan khusus, akan belajar mengenai keterbatasan tertentu, mengetahui keterbatasan/keunikan temannya, peduli terhadap keterbatasan temannya, dapat mengembangkan keterampilan social,  berempati terhadap permasalahan temannya, dan membantu temannya yang kesulitan.

Kehadiran sekolah inklusi tidak untuk meniadakan/menggantikan SLB, melainkan sebagai bentuk layanan alternatif bagi ABK dalam mengembangkan diri. Bahkan dengan sejumlah keunggulan tersebut, sekolah inklusi bisa menjadi pilihan utama bagi orang tua yang memiliki ABK guna mengembangkan potensi anak-anaknya. Masalahnya, tidak semua wilayah tersedia SLB dan sekolah inklusi yang bisa dijangkau dengan mudah oleh ABK.

Data Kemenko PMK pada Juni 2022, menunjukkan bahwa jumlah ABK di usia 5-19 tahun mencapai 2.197.833 jiwa (3,3% dari 66,6 juta jiwa semua anak usia 5-19). Dari jumlah ABK tersebut, yang belajar di SLB dan di sekolah inklusi sebanyak 269.398 anak. Dengan demikian, persentase ABK yang menempuh pendidikan formal baru sejumlah 12.26%. Artinya masih sangat sedikit dari ABK yang seharusnya mendapatkan akses pendidikan formal, baik melalui SLB maupun sekolah inklusi.

Lalu, berapa jumlah SLB dan sekolah inklusi? Data  tahun 2022 menunjukkan bahwa total SLB di tahun 2021 mencapai 2.250 lembaga (meliputi 595 SLB Negeri dan 1.655 SLB Swasta) yang tersebar di 34 Provinsi. Sedangkan sekolah reguler yang menjadi penyelenggara sekolah inklusi sebanyak 44.477 sekolah, mulai PAUD, SD, SMP, hingga SMA/SMK.

Khusus SLB, ada enam tipe SLB yang diselenggarakan, yakni [1] SLB-A, khusus untuk penyandang tuna netra, yakni kondisi murid yang mengalami hambatan dan keterbatasan dalam indera penglihatannya; [2] SLB-B, khusus untuk penyandang tuna rungu, yakni kondisi murid yang mengalami hambatan dan keterbatasan dalam indera pendengarannya; [3] SLB-C, khusus untuk penyandang tuna grahita, yakni kondisi murid yang mengalami keterbelakangan mental atau juga disebut retardasi mental, [4] SLB-D, khusus untuk penyandang tuna daksa, yakni kondisi murid yang mengalami gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan struktur tubuh yang bersifat bawaan, kecelakaan, atau kondisi lainnya; [5] SLB-E, khusus untuk penyandang tuna laras, yakni kondisi murid yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dirinya dan bertingkah laku kurang sesuai dengan aturan; dan [6] SLB-G, ditujukan untuk penyandang tuna ganda, yakni kondisi murid yang memiliki dua atau lebih kelainan pada dirinya misalnya tuna netra sekaligus tuna rungu, tuna netra sekaligus tuna laras, dan lainnya.

Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa rendahnya partisipasi ABK dalam mengenyam pendidikan (yang hanya 12, 26%) adalah karena terbatasnya akses pendidikan yang mudah, baik melalui SLB maupun melalui sekolah inklusi. Jumlah SLB Negeri yang hanya 595 lembaga dibanding SLB Swasta yang mencapai 1.655 lembaga, menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah sangat minim dalam memberikan layanan pendidikan memadai bagi ABK. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah SD negeri dan SD swasta, di mana SD Negeri berjumlah 130. 042 sedangkan SD swasta berjumlah 18.933. Permasalahan lain yang dihadapi ABK adalah, masih banyak orang tua yang minder menyekolahkan anaknya ke SLB atau ke sekolah inklusi, di samping sebagian masyarakat masih memandang rendah terhadap ABK.

Karena itu, sangat penting bagi pemerintah [pusat dan daerah] untuk memberikan perhatian lebih agar ABK mendapat layanan pendidikan yang memadai dan mudah, dengan mendirikan banyak lagi SLB dan sekolah inklusi di lokasi-lokasi yang membutuhkan.  Demikian pula, orang tua ABK tidak boleh minder menyekolahkan anaknya, dan masyarakat pun harus memberikan dukungan moral bagi ABK dan keluarganya. Wallāhu a`lam [25].

Editor: Achmad Firdausi / Humas