Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 6123433

Email

info@iainmadura.ac.id

MEMBANGUN KARAKTER JUJUR MELALUI PUASA

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 15 Maret 2024
  • Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Puasa [al-shaum] bermakna al-imsāk [mencegah], yakni mencegah dari makan dan minum serta dari hal-hal yang membatalkan, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, yang dilakukan karena Allah Swt. Sedangkan karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave [mengukir]. Makna lain dari karakter adalah the mental and moral qualities distinctive to an individual [kualitas mental dan moral yang khas pada seseorang]. Dengan demikian, karakter merupakan kualitas mental dan moral yang tertanam kuat dalam diri seseorang, yang membedakannya dengan orang lain.

Jujur [shidq] lawan katanya dusta/bohong [kidzb]. Jujur adalah akhlak mulia yang membawa kebaikan dan pembuka pintu surga, sebaliknya dusta adalah akhlak tercela yang membawa kejelekan dan pembuka pintu neraka. Orang yang jujur berhati tenang, sedangkan pendusta akan gelisah karena selalu dihantui perasaan bersalah. Orang yang suka berdusta, akan mudah berdusta lagi, sebab untuk menutupi dustanya, ia akan berdusta lagi, berdusta lagi, dan seterusnya. Dengan kata lain, sekali berdusta akan diikuti berkali-kali dusta, sehingga wajar jika pendusta tidak tenang hidupnya, selalu gelisah, jangan-jangan dustanya ketahuan, sehingga tidak dipercaya lagi. Dan sekali tidak dipercaya, akan susah dipercaya meskipun yang ia lakukan benar dan jujur.

Dikisahkan, sejumlah anak sering bermain di dekat hutan yang masih tersisa hewan buas. Suatu ketika seorang anak berteriak minta tolong karena ada singa mendekat. Setelah teman-temannya datang untuk menolong, ternyata singanya tidak ada. Malah si anak tadi tertawa kegirangan karena berhasil mengelabui teman-temannya. Di lain waktu, perbuatan tersebut diulang kembali, dan teman-temannya datang lagi untuk menolong, ternyata dibohongi lagi. Suatu ketika, benar-benar terjadi. Si anak tadi berteriak-teriak minta tolong, ia begitu ketakutan karena singa di depannya siap menerkam. Teman-temannya menduga, ia pasti bohong lagi karena sudah dua kali dibohongi, sehingga mereka tak menghiraukan teriakan tersebut. Apa yang terjadi? Si anak tadi benar-benar diterkam singa. Beruntung ia masih hidup karena tertolong oleh pekerja hutan yang lewat saat kejadian.

Foto: Jadwal Pendaftaran Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) IAIN Madura Tahun 2024

Belajar dari kisah “dusta membawa bencana” tersebut, ternyata dusta bukan hanya membuat pelakunya gelisah dan berdosa tapi juga membahayakan jiwanya. Jika dusta dilakukan pejabat, di samping membahayakan dirinya juga menyusahkan keluarganya, merugikan rakyat dan negara. Seperti yang dilakukan sejumlah pejabat, dengan kebohongan-kebohongan dan tipu-tipu yang dilakukan, uang negara miliaran bahkan triliunan dikorupsi. Bantuan-bantuan sosial digarong sehingga yang sampai ke rakyat miskin hanya tetesannya. Anggaran pembangunan dirampok, sehingga pembangunan selesai, kerusakan menyusul.

Tidak mudah berlaku jujur, menghindari dusta, apalagi sampai menjadi karakter yang tertanam kuat dalam diri seseorang. Tapi, tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Berpuasa selama bulan Ramadan bisa menjadi salah satu kawah candra­dimuka dalam membangun karakter jujur.

Orang yang sedang haus dan lapar berpuasa, sangat mudah makan-minum tanpa ketahuan orang lain, dan setelah itu ia bisa berpura-pura terus berpuasa, dan saat adzan maghrib ikut berbuka bersama keluarga/teman. Dan hal ini dapat ia lakukan setiap hari selama Ramadan. Tapi “peluang” ini tidak ia lakukan karena—meskipun tidak ada orang yang tahu—Allah pasti mengetahui dan pasti membalasnya. Apalagi Nabi berpesan  “Ash-shiyāmi junnatun. Faidzā kāna yaumu shaumi ahadikum falā yarfuz walā yashkhab. Fain sābbahū ahadun au qātalahū fa qul innī shā-imun  [Puasa itu perisai. Jika salah seorang dari kalian berpuasa, janganlah berkata kotor dan jangan pula bertindak bodoh. Jika seseorang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah berkata: sesungguhnya saya sedang berpuasa].

Nah, kesadaran merasa diawasi ini yang akan menuntun seseorang berlaku jujur dan menghindari dusta. Bisa jadi, awalnya sangat terpaksa berlaku jujur karena godaan-godaan duniawi. Tapi jika terus terulang menghindari dusta, kejujuran akan tumbuh dan berkembang menjadi kebutuhan, kemudian menjadi karakter yang tertanam kuat. Inilah yang oleh ibn Miskawaih dinamakan akhlak, yakni Hālun lin nafsi dā`iyatun lahā ilā af`ālihā min ghairi fikrin wa lā rawīyyatin [kondisi jiwa yang mengarahkan untuk berbuat sesuatu tanpa pemikiran dan perencanaan]. Wamā taufīqī illā billāh [29].

Editor: Achmad Firdausi / Humas