Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 6123433

Email

info@iainmadura.ac.id

PUASA JALAN MENUJU TAKWA

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 5 April 2024
  • Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Puasa yang diwajibkan kepada kaum beriman bertujuan untuk memperoleh derajat takwa, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah 183: Yā ayyuhal ladzīna āmanū, kutiba `alaikumus shiyāmu kamā kutiba `alal ladzīna min qablikum la`allakum tattaqūn (Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa). 

Lalu, apa yang disebut takwa? Dalam pengertian yang sering disampaikan khatib shalat jum`at, takwa adalah Imtitsālu awāmirillāhi wajtinābu nawāhīhi (Melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya). Menurut Ali bin Abi Thalib, takwa adalah Al-khaufu minal jalīl, wal `amalu bit tanzīl, wal qanā`atu bil qalīl, wal-isti`dādu li-yaumir rahīl (Takut kepada Zat Yang Maha Agung, mengerjakan apa yang diperintahkan, menerima dari yang sedikit, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat). Sedangkan menurut Ibn Mas`ud, takwa adalah Ay-yuthā`a falā ya`shī, wa yadzkura falā yansā, wa ay-yasykura falā yakfur (Menaati perintah Allah dan jangan melanggar, mengingat Allah dan jangan lalai, mensyukuri nikmat Allah dan jangan mengingkari).

Ketika Umar bin Khatab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang hakikat takwa, Ubay balik bertanya kepada Umar, “Apakah engkau pernah menempuh jalan berduri?” Umar menjawab, “Pernah.” Ubay kembali bertanya, “Apa yang engkau lakukan?” Umar menjawab, “syamartu wa ijtahadtu (Aku berusaha keras dan bersungguh-sungguh [agar tak terkena duri]).” Ubay bin Ka’ab berkata. “Itulah takwa.” 

Al-Qur’an menyebut sejumlah indikator seseorang disebut bertakwa, yakni (berdasar surah Ali `Imran ayat 134-135); Alladzīna yumfiqūna fis-sarrā-i wadh-dharrā-i (menginfakkan harta baik dalam keadaan lapang maupun sempit), wal-kādzimīnal ghaidza (menahan amanah), wal-`āfīna `anin nāsi (memaafkan kesalahan orang lain [kepadanya]), wallāhu yuhibbul muhsinīn (berbuat baik [kepada orang yang bersalah kepadanya]), walladzīna idzā fa`alū fākhisyatan au dzalamū anfusahum dzakarullāha fas taghfarū lidzunūbihim (dan apabila berbuat keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya). 

Sedangkan dalam Surah al-Baqarah ayat 3-4, indikator orang bertakwa adalah Alladzīna yu’minūna bil ghaibi wa yuqīmūnas shalāta wa mimmā razaqnāhum yunfiqūna (beriman kepada yang gaib, menunaikan shalat, menginfakkan sebagian hartanya), walladzīna yu’minūna bimā unzila ilaika wamā unzila min qablika, wa bil ākhiratihum yūqinūn (beriman kepada kitab Allah al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya, dan beriman kepada hari akhir).

Berdasar sejumlah kriteria tersebut, takwa mengandung dua dimensi, yakni dimensi vertikal dan horizontal (hablun minallāhi wa hablun minan nāsi). Dalam dimensi vertikal, orang yang bertakwa (muttaqīn) adalah sosok yang memiliki keimanan yang mantap kepada Allah Swt dan ciptaan-Nya yang gaib (malaikat, hari akhir, surga, neraka, dan lainnya), beriman kepada kitab suci-Nya, istikamah melaksanakan shalat dan kewajiban vertikal lainnya, mensyukuri nikmat Allah dan bersabar atas musibah, rajin beristighfar atas segala kesalahan, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Sedangkan secara horizontal, muttaqīn adalah sosok yang mampu bergaul baik dengan orang lain, memaafkan kesalahan orang lain bahkan membalas kesalahan orang lain dengan kebaikan, mampu menahan amarah, dan suka menginfakkan sebagian hartanya kepada yang membutuhkan. 

Maka, dengan makna dua dimensi ini, derajat takwa tidak mudah dicapai tanpa ikhtiar sungguh-sungguh dan pertolongan Allah. Lalu, mengapa ibadah puasa yang disebut al-Qur’an sebagai jalan menuju takwa (la`allakum tattaqūn)? Karena dalam puasa mengandung banyak dimensi ibadah, baik dimensi vertikal maupun horizontal. 

Dimensi vertikal ditunjukkan bahwa berpuasa harus dikerjakan semata-mata karena Allah, dan karena itu, Allah berfirman dalam hadits Qudsi As-shaumu lī wa anā ajzī bihī (puasa itu untukku dan aku yang membalasnya). Karena dikerjakan lillāhi ta`ālā, maka orang yang sedang lapar berpuasa, tidak berani makan-minum di siang hari meskipun aman dari perhatian manusia, karena ia menyadari bahwa Allah pasti mengawasi dan murka. Nah, pembiasaan merasa diawasi & beribadah lillāhi ta`ālā melalui berlapar puasa dalam sebulan, diharapkan membekas dalam semua aktivitas keseharian, bahwa apapun yang diperbuat akan diketahui bahkan diawasi Allah, dan ibadah apapun akan dilakukan semata-mata karena Allah.

Sedangkan dimensi horizontal puasa, ditunjukkan dengan pembiasaan lapar sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Pembiasaan berlapar puasa dalam sebulan akan melahirkan empati bahwa lapar tidak enak dan menderita. Dari empati akan lahir aksi nyata untuk membantu kaum duafa. Apalagi di akhir Ramadan ditutup dengan kewajiban zakat fitrah, sebagai simbol keberpihakan kepada kaum duafa. Dimensi horizontal puasa juga ditunjukkan dengan larangan mengganggu orang lain selama berpuasa, seperti memfitnah, berdusta, sumpah palsu, berseteru, dan berkelahi. Bahkan jika ada orang memaki dan menyerangnya, saat dirinya berpuasa, dia mengalah dan berkata innī shā-imun ([maaf] saya sedang berpuasa). 

Selain itu, berpuasa--yang makna asalnya imsāk (menahan diri)--juga memiliki makna vertikal dan horizontal. Secara vertikal, melalui puasa dilatih untuk menahan diri dari perbuatan dilarang Allah yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, berhubungan seks, dan lainnya. Sedangkan secara horizontal, puasa juga menahan diri dari perbuatan yang membatalkan pahala puasa, seperti memfitnah, berbohong, bertengkar, dan sumpah palsu. Nah, pembiasaan “menahan diri” selama Ramadan diharapkan memberikan bekas yang kuat pasca Ramadan untuk juga menahan diri untuk tidak melanggar hak-hak Allah dan hak-hak manusia, bukan hanya yang terlarang (haram) tapi juga terhadap yang tak disuka (makruh). Wa mā taufīqī illā billāh [32].

Editor: Achmad Firdausi / Humas