Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN TINGGI

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 17 Mei 2024
  • Dilihat 84 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Memasuki masa penerimaan mahasiswa baru tahun ini, ramai diberitakan tentang naiknya UKT (Uang Kuliah Tunggal) di hampir semua PTN BLU lebih-lebih PTN BH. Anehnya, PTN terkesan tertutup menaikkan UKT, dan baru diketahui public setelah calon mahasiswa yang diterima hendak melakukan registrasi. Sehingga kenaikan UKT terkesan menjebak calon mahasiswa. Dan naiknya tak kepalang tanggung, mulai 30% hingga 100%. Bukan hanya UKT yang naik, Iuran Pengembangan Institusi (IPI)—yang dibayar sekali—juga naik berlipat. Bukan hanya itu, PTN juga berlomba menambah kuota mahasiswa baru, terutama di jalur mandiri, sehingga membuat banyak PTS khawatir tidak kebagian mahasiswa. Alasan menambah kuota bisa ditebak, untuk menaikkan pendapatan dari UKT dan IPI.

Banyak alasan yang disampaikan PTN mengapa menaikkan UKT; demi peningkatan mutu dan daya saing yang butuh biaya besar, demi biaya operasional yang terus meningkat, demi keseimbangan dan keadilan mahasiswa yang tingkat ekonominya beragam, dan demi alasan lainnya. Pemerintah (Kemdikbudristek) dan PTN terkesan saling lempar tanggungjawab soal kenaikan UKT. Bahkan pemerintah terkesan mendukung langkah PTN, dengan alasan anggaran pemerintah lebih fokus mebiayai program wajib belajar hingga SMA, sedangkan pendidikan tinggi merupakan Tertiary Education yang merupakan pilihan bagi masyarakat. Padahal dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah berkewajiban menyiapkan pendi­dikan berkualitas dengan biaya murah dalam semua jenjang pendidikan, tak terkecuali pendidikan tinggi.

Adalah perubahan status PTN dari satker menjadi BLU (Badan Layanan Umum) dan dari BLU menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum), yang menjadi penyebab utama kian mahalnya biaya kuliah di PTN. Apa perbedaan ketiga PTN ini? Mengutip laman itjen.kemdikbud.go.id, perbedaan ketiga jenis PTN ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

PTN Satker adalah perguruan tinggi sebagai satuan kerja kementerian yang menaungi. Seluruh pendapatannya, termasuk UKT-IPI mahasiswa harus masuk ke rekening negara terlebih dahulu, sebelum digunakan.

PTN BLU merupakan institusi dengan level kedua dalam hal otonomi. Pengelolaan institusi ini mirip dengan rumah sakit milik pemerintah. Seluruh penerimaan non pajak (PNBP) dikelola secara otonomi dan dilakukan pelaporan ke Negara.

PTN BH merupakan institusi yang memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya, termasuk dosen dan tenaga kependidikan. PTN jenis ini beroperasi mirip dengan perusahaan-perusahaan BUMN. PTN-BH juga diberi kewenangan secara mandiri untuk membuka dan menutup program studi sesuai kebutuhan lembaganya, yang hal ini tidak bisa dilakukan oleh PTN-BLU, apalagi PTN Satker.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah terus mendorong PTN Satker menjadi BLU dan PTN BLU menjadi PTN BH; dari PTN semi otonomi menjadi PTN otonomi penuh. Bahkan perubahan ini terkesan dipaksakan, karena ada PTN yang belum genap dua tahun menjadi BLU, sudah didorong untuk menjadi PTN BH.

Alasan pemerintah “memaksakan” perubahan status PTN, untuk menekan bantuan dari pemerintah yang terbatas, dengan mendorong PTN BLU dan lebih-lebih PTN BH untuk mencari anggaran dari sumber lain (dari masyarakat, hasil pemanfaatan sumber daya, penerimaan hibah, dan lainnya), dengan iming-iming PTN akan lebih leluasa mengelola anggaran secara mandiri dan leluasa pula dalam membuka dan menutup program studi sesuai kebutuhan.

Iming-iming pengelolaan anggaran secara otonomi ini, menarik perhatian para petinggi PTN karena memang harus diakui bahwa proses pengelolaan keuangan negara cukup kaku serta tidak terdapat ruang sedikitpun untuk adanya fleksibilitas. Semua institusi pemerintah dianggap setara dan memiliki kewajiban serta aturan yang sama dalam menggunakan keuangan negara, tak terkecuali pada PTN. Sehingga banyak PTN yang bermasalah dari sisi administratif pengelolaan keuangan Negara. Maka dengan berubah menjadi PTN BH, kerumitan tersebut dapat dipangkas karena PTN memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan, bahkan juga memiliki otonomi penuh dalam membuka dan menutup program studi.

Masalahnya, tidak semua PTN mampu menambah pendapatan dari sumber lain utamanya dari pemanfaat sumber daya dan penerimaan hibah. Maka jalan termudah untuk menaikkan pendapatan, adalah melalui penerimaan dari masyarakat dengan menaikkan UKT dan IPI.

Tampaknya, perubahan status ini merupakan cara halus pemerintah untuk melepas tanggungjawab dalam hal anggaran, dengan iming-iming otonomi penuh. Masalahnya, yang menjadi korban adalah masyarakat luas yang hendak melanjutkan studi ke PTN berkualitas. Wallāhu a`lam (36).

 


Editor: Achmad Firdausi