Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

MAKNA HARI PENDIDIKAN

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Kamis, 2 Mei 2024
  • Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Berdasar Keputusan Presiden Nomor 316 tahun 1959, setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tanggal 2 Mei diambil dari tanggal lahir Ki Hajar Dewantara, Pahlawan Nasional dan Bapak Pendidikan Nasional yang banyak berkiprah sejak sebelum kemerdekaan untuk kemajuan pendidikan anak bangsa.

Ki Hadjar lahir di Keraton Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, dan wafat di usia 70 tahun pada tanggal 26 April 1959. Sebagai anak dari kalangan bangsawan, Ki Hajar termasuk beruntung karena mendapat akses pendidikan yang layak dari penjajah Belanda, sehingga beliau dapat menamatkan Sekolah Dasar (ELS), Sekolah Guru (Kweek School) di Yogyakarta, dan sempat belajar di sekolah kedokteran (STOVIA) di Jakarta. Di bidang agama, beliau belajar di bawah asuhan Kyai Sulaiman Zainudin Abdurahman di sebuah pesantren di wilayah Kalasan Prambanan. Dan di Kabinet pertama RI, beliau diangkat sebagai Menteri Pendidikan. Dalam sejarahnya, Ki Hajar melahirkan sejumlah gagasan penting dalam dunia pendidikan yang tetap relevan hingga kini.

Pertama, pendirian Perguruan Taman Siswa. Berawal dari kegelisahan akan nasib anak pribumi yang tidak mendapat akses pendidikan formal oleh penjajah Belanda, Ki Hajar dan dua kawannya (Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo) yang sedang dalam pengasingan di Belanda, berpikir keras bagaimana anak-anak pribumi mendapat layanan pendidikan yang layak, karena pendidikan bukan sekedar tuntunan untuk menyokong kemajuan hidupnya, melainkan juga sebagai alat untuk melakukan mobilisasi politik dan sekaligus cara untuk mensejahterakan umat.

Akhirnya, didirikanlah Perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Jogjakarta. Berbeda dengan sistem pendidikan Belanda saat itu yang diskriminatif dan militeristik yang serba menghukum, Perguruan Taman Siswa didirikan dengan semangat patriotisme berbasis sistem among yang humanis, yang melarang adanya hukuman dan paksaan kepada peserta didik karena akan mematikan jiwa merdekanya. Sistem among ini sejalan dengan nama “Taman Siswa”, di mana sekolah laksana taman sebagai tempat rekreatif yang menyenangkan untuk belajar. Bukan sebagai tempat yang menakutkan sebagaimana dialami banyak murid kini, karena kerap mengalami kekerasan di sekolah baik yang dilakukan oleh guru maupun oleh sesama murid.

Kedua, konsep Tri Pusat Pendidikan, yang meliputi pendidikan dalam keluarga, pendidikan dalam alam perguruan, dan pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat. Ketiganya, menurut Ki Hajar, berkelindan dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kini, ketiganya dikenal dengan istilah pendidikan informal, formal, dan nonformal. Namun, implementasinya sudah terkotak-kotak sedemikian rupa dengan menjadikan pendidikan formal sebagai panglima. Padahal ketiganya, masing-masing, memiliki karakteristik dan kelebihan yang saling menguatkan guna mewujudkan tujuan pendidikan.

Ketiga, filosofi pendidikan yang popular di dunia pendidikan hingga kini, yakni Ing Ngarsa Sung Tulodha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Bahkan kalimat yang terakhir, Tut Wuri Handayani, menjadi bagian tak terpisahkan dari lambang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga kini.

Ing Ngarsa Sung Tuladha, di depan menjadi teladan. Maksudnya, di depan murid, seorang pendidik harus memberi teladan yang baik yang layak digugu dan ditiru oleh murid-muridnya. Ing Madya Mangun Karsa, di tengah membangun semangat. Maksudnya, ketika bersama-sama murid, pendidik harus mampu membangun prakarsa dan gagasan untuk diri dan murid-muridnya. Tut Wuri Handayani, di belakang memberi dorongan. Maksudnya, murid yang memiliki beragam potensi dan bakat harus didorong dan difasilitasi agar berkembang optimal dan maksimal. Tentu saja, filosofi pendidikan ini tidak hanya penting bagi guru/ustadz di sekolah/madrasah, melainkan juga penting untuk orang tua di rumah, bahkan para pemimpin di masyarakat dan pemerintahan. Wallāhu a’lam (35).

 


Editor: Achmad Firdausi