Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

BANYAK JALAN MENUJU HAJI

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 21 Juni 2024
  • Dilihat 101 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Dari lima rukun Islam (syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji), ibadah haji lah yang paling longgar aturannya, yakni hanya wajib bagi yang mampu dan wajibnya hanya sekali seumur hidup. Dan yang mampu pun tidak harus segera, `alā al-tarākhī menurut Imam Syafii, yakni kewajiban yang masih dapat ditunda. Karena itu, masa wajib haji cukup luas, batas awalnya sejak seseorang mencapai baligh dan batas akhirnya sebelum ia meninggal dunia.

Pendapat `alā al-tarākhī ini didasarkan atas praktik Nabi dalam berhaji. Nabi menerima perintah haji pada tahun ke-6 hijriyah, tapi beliau melaksanakannya di tahun ke-10. Memang pasca menerima wahyu wajib haji hingga tahun ke-8 hijriyah, Nabi sangat sibuk mengkonsolidasi umat Islam dalam menghadapi gangguan dan serangan kaum kafir dan munafik. Tapi, pasca penaklukan kota Mekah (Fathu Makkah)  di tahun ke-8, situasi Madinah relatif aman dan terkendali. Namun di tahun ke-9, Nabi hanya mengutus Sayidina Abu Bakar untuk berhaji bersama sekitar 300 umat Islam. Sedangkan Nabi, baru berhaji di tahun ke-10 hijriyah, yang dalam sejarah Islam disebut Haji Wada`. Tak lama dari melaksanakan haji, Nabi wafat. Dengan demikian, Haji Wada` adalah ibadah haji yang pertama dan terakhir dilakukan Nabi.

Ada tiga kriteria mampu (istithā`ah) yang harus dipenuhi calon jamaah haji. Pertama, sehat jasmani-rohani berdasar keterangan dokter.  Mulai tahun 2024, ketentuan ini menjadi prasyarat untuk melunasi ONH. Jika calon jamaah tidak lolos pemeriksaan kesehatan, ia tidak bisa melunasi ONH dan otomatis tidak bisa berangkat haji. Dengan demikian, ia belum memenuhi kriteria istithā`ah sehingga belum wajib haji. Ketentuan Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana calon jamaah yang terjadwal berangkat tahun tersebut, dapat segera melunasi ONH, sedangkan pemeriksaan kesehatan dilakukan pasca pelunasan. Perubahan alur pelunasan ini berkaca pada kian meningkatnya jamaah haji yang wafat karena faktor kesehatan, seiring kian meningkatnya jumlah jamaah haji dan tidak kondusifnya cuaca Mekah bagi jamaah risti (beresiko tinggi) yang di muslim haji bisa mencapai 400-500C.

Kedua, calon jamaah haji harus istithā`ah dari segi finansial. Sebagai gambaran, Biaya Perjalanan Ibadah Haji tahun 2024 mencapai Rp 93,4 juta. Dari jumlah ini, yang harus ditanggung jamaah sebesar Rp 60, 5 juta (untuk Embarkasi Surabaya). Sedangkan sisanya, dibayarkan dari nilai manfaat keuangan haji. Bukan ini saja yang mesti ditanggung jamaah, biaya hidup keluarga yang ditinggal dan biaya terkait lainnya, juga termasuk dalam kriteria istithā`ah secara finansial. Dengan demikian, seseorang yang hanya mampu membayar ONH sedangkan biaya lainnya harus berhutang, belum masuk kriteria istithā`ah sehingga belum wajib berhaji.

Ketiga, calon jamaah haji harus siap dan mampu menunggu antrean. Sebagai gambaran, waktu antre haji untuk wilayah Jawa Timur di tahun 2024 mencapai 36 tahun. Artinya, jika mendaftar haji di tahun 2024, akan bisa berangkat haji sekitar tahun 2059. Dalam masa menunggu lama ini, kemungkinan tak diharapkan bisa terjadi, misalnya sakit atau factor usia yang menyebabkan dirinya tidak bisa berangkat atau meninggal. Dalam kasus demikian, maka kriteria istithā`ah belum terpenuhi, sehingga yang bersangkutan belum wajib haji.

Kendati biaya haji terus naik dan waktu tunggu kian panjang, tak menyurutkan semangat umat Islam yang mampu untuk mendaftar haji. Karena itu, tidak sedikit dari mereka yang beralih/mendaftar lewat jalur haji plus (ONH Plus), yang biayanya lebih mahal. Di tahun 2024, pemerintah mematok biaya haji plus minimal 8.000 dolar AS. Jika 1 dolar AS = Rp 17.000, maka biayanya minimal Rp 136 juta tergantung fasilitas yang disediakan penyelenggara. Meskipun lebih mahal, waktu antre jalur ONH Plus jauh lebih pendek, yakni sekitar 8 tahun.

Ada satu jalur lagi yang bisa ditempuh calon jamaah untuk berhaji, yakni melalui jalur Haji Furoda (Visa haji yang dikeluarkan Kerajaan Saudi tanpa melalui Kementerian Agama RI) yang biayanya lebih mahal lagi, berkisar 23 ribu-60 ribu dolar AS (±373,9 juta sampai 975,3 juta) tergantung fasilitas yang diberikan oleh penyelenggara. Kelebihan jalur ini, meskipun paling mahal, pendaftar bisa langsung berangkat haji tanpa antre.

Jalur Tak Resmi

Di luar jalur resmi tersebut, antusiasme umat Islam untuk berhaji juga dilakukan melalui jalur tak resmi, yakni jalur visa non haji (seperti visa ziarah/visa turis). Sesuai namanya, visa ini tidak untuk berhaji, namun karena visanya masih berlaku selama masa haji, penyelenggara dan jamaah berupaya agar mereka pun bisa ber haji gratis. Berhaji lewat cara ini terpaksa mereka lakukan karena melalui jalur resmi (khususnya haji regular)  harus antre puluhan tahun, sedangkan mereka—karena beragam alasan—ingin segera berhaji. Ikut ONH Plus kemahalan dan harus antre pula, apalagi ikut Haji Furoda yang biayanya lebih mahal lagi.

Karena lewat jalur tak resmi maka, sebagaimana diberitakan banyak media, ibadah hajinya mendapat banyak kesulitan dan beresiko, bahkan sebagian dideportasi ke negara asalnya sebelum pelaksanaan haji. Meskipun beresiko, haji jalur nekat ini selalu terjadi tiap tahun dan peminatnya kian banyak. Mengapa? Karena hampir semua jamaahnya lolos berhaji, meskipun harus menghadapi banyak kesulitan dan rintangan.

Mengapa mereka bisa lolos? Bisa jadi karena petugas kewalahan membendung arus ratusan ribu jamaah yang nekat berhaji, atau karena ada “kerjasama” dengan oknum penyelenggara haji di Saudi yang memberi peluang mereka masuk ke area Armuzna (Arafah-Muzdalifah-Mina), meskipun melalui jalan tidak biasa dan berliku. Maka, selama ada peluang lolos berhaji, jalur tak resmi ini akan terus terjadi. Karena itu, untuk membendung arus jamaah haji tak resmi ini, dibutuhkan ketegasan Pemerintah Saudi untuk melarangnya. Himbauan dan larangan pemerintah RI untuk tidak berhaji lewat jalur tak resmi ini, tidak akan efektif jika pemerintah Saudi tetap mengeluarkan visa nonhaji hingga di masa-masa pelaksanaan ibadah haji.

Nahdlatul Ulama telah mengeluarkan fatwa bahwa berhaji dengan visa nonhaji—meskipun hajinya sah--adalah cacat dan berdosa, karena mereka melanggar aturan syariat (yang harus taat pada perintah ulil amri, baik pemerintah RI maupun Saudi yang sama-sama melarang berhaji lewat jalur ini), bertentangan dengan substansi syariat (karena mencaplok [ghashab] tempat yang menjadi hak jamaah resmi, memperparah kepadatan di Armuzna dan di Mekah yang berpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi, sehingga dapat menimbulkan mudarat bagi diri sendiri dan juga jamaah lain).

Dengan demikian, berhaji lewat jalur tak resmi bukan jalan keluar yang baik untuk menghindari panjangnya antrean haji reguler. Jika karena factor usia atau kesehatan yang tidak memungkinkan antre lama, tidak harus nekat berhaji lewat jalur tak resmi ini. Toh mereka belum tergolong istithā`ah, yang berarti belum wajib haji. Wallāhu a`lam (40).

 


Editor: Achmad Firdausi