Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

NABI IBRAHIM, HAJI, DAN KURBAN

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 14 Juni 2024
  • Dilihat 65 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Nabi Ibrahim `ālaihis salām dikenal dengan sejumlah gelar bergengsi; ulūl `azmi, khalīlullāh, abūt tauhīd, abūd dhaifān, dan abūl anbiyā’. Beliau bersama Nabi Muhammad, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Nuh adalah para rasul yang tergolong sebagai rasul ulūl `azmi, karena ketabahan yang luar biasa dalam menghadapi tantangan dan ujian bertubi-tubi ketika melaksanakan tugas kerasulan. Beliau digelari khalīlullāh, yang mencerminkan kedekatan dan kasih sayang Allah kepadanya karena kesetiaan, kepatuhan, dan kecintaannya kepada Allah.

Nabi Ibrahim juga digelari abūt tauhīd, leluhur agama tauhid, lantaran perjuangan dan perjalanan dakwahnya yang begitu panjang dan berliku dalam men-tauhid-kan umatnya sekaligus pencarian jati dirinya dalam “menemukan” Allah al-Wāhidul Ahad. Juga, beliau digelari abūd dhaifān, bapak para tamu, lantaran kepribadian beliau yang selalu memuliakan tamu, yang tak pernah makan kecuali ada tamu yang menemani. Bahkan beliau rela berjalan 1 hingga 3 km untuk mencari tamu agar bisa makan bersama. Beliau juga dikenal sebagai abūl anbiyā’, leluhur para Nabi, karena keturunannya banyak yang diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Dari istri pertamanya, Sārah, kelak lahir Ishak, Yaqub, Yusuf, Ayub, Yunus, Musa, Harun, Ilyas, Ilyasa`, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa. Sedangkan dari istri kedua-Nya, Hājar, kelak lahir Ismail dan Muhammad saw.

Tidak heran jika Allah memuji Nabi Ibrahim sebagai sosok yang layak ditiru, sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Mumtahanah ayat 4: “Qad kānat lakum uswatun hasanatun fī Ibrāhīma wal ladzīna ma`ahū” (Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia). Karena itu, sebagian syariat Nabi Muhammad shallalāhu `alaihi wa sallam, berpangkal dari ritual yang dilakukan Nabi Ibrahim saat menjalankan perintah Tuhannya, seperti ibadah haji dan kurban.

Berhaji adalah salah satu rukun Islam yang wajib bagi muslim yang `aqil bāligh dan mampu. Rukun haji diawali dengan berihram dan niat, lalu wukuf, tawaf, sa`i, dan diakhiri dengan tahallul. Sedangkan wajib haji meliputi ihram dari miqat, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah, mabit di Mina, dan tawaf wada`. Ka`bah sebagai pusat kiblat salat dan tawaf yang telah berdiri sejak Nabi Adam, dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan puteranya Ismail atas perintah Allah, yang setelah selesai dibangun, Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim agar menyeru umat manusia untuk berhaji.  

Sa`i, berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwa sampai tujuh kali, berawal dari ritual Hajar--istri Nabi Ibrahim--yang mencari sumber mata air di saat Ismail kecil menangis kehausan di tengah lahan tandus nan terik matahari. Pencarian tersebut berakhir setelah Hajar melihat air mengalir dari bawah kaki Ismail, yang setelah digali memancarkan air bersih nan segar yang tak pernah kering sepanjang zaman. Inilah air zamzam, sumber mata air abadi yang meminumnya menjadi ritual sunnah bagi jamaah haji dan umrah.

Wukuf di `Arafah (9 Dzulhijjah) sebagai puncak ibadah haji diambil kisah Nabi Adam yang, setelah ratusan tahun terpisah dengan istrinya Hawa, dipertemukan kembali di suatu tempat yang kini dikenal dengan Padang Arafah. Namun menurut sumber lain, Nabi Ibrahim yang setelah lama meninggalkan Hajar dan Ismail di padang tandus yang kelak disebut Mekah, menuju Syam (Siria) atas perintah Allah, dipertemukan kembali dengan keduanya pada tanggal 9 Dzulhijjah, hari `Arafah. Dan di hari itu pula, Nabi Ibrahim mendapat keyakinan akan kebenaran mimpinya yang memerintahkan untuk menyembelih puteranya, Ismail.

Melempar jumrah yang kini menjadi ritual wajib haji juga diambil dari ritual Nabi Ibrahim dan keluarganya saat akan melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih puteranya, Ismail. Dikisahkan, ketika Nabi Ibrahim akan menyembelih Ismail, datang gangguan iblis untuk menggagalkan rencana tersebut. Nabi Ibrahim tahu bahwa itu ulah iblis, lalu diambilnya tujuh kerikil dan dilempar ke iblis sehingga iblis lari terbirit-birit. Gagal membatalkan rencana penyembelihan melalui Ibrahim, iblis menggoda lewat Sarah agar Ibrahim mengagalkan rencananya. Sarah pun menolak dan melempari iblis dengan tujuh kerikil. Gagal merayu ayah ibu, iblis menggoda puteranya, Ismail agar menolak disembelih. Ismail pun menolak dan melemparinya dengan tujuh kerikil. Pelemparan batu ke iblis oleh ayah, ibu, dan anak tersebut, kelak menjadi ritual wajib haji dalam bentuk jumrah ula, wustha, dan jumrah aqabah.

Ketika Nabi Ibrahim siap mengayunkan pisaunya untuk melaksanakan perintah menyembelih puteranya, dan Ismail pun sudah mantap dan siap disembelih, Allah membatalkan penyembelihan itu. Allah telah meridlai kesabaran, ketabahan, keikhlasan,  dan ketawakkalan kedua hamba pilihan ini. Sebagai gantinya, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor domba sebagai kurban. Malaikat Jibril yang menyaksikan detik-detik peristiwa dahsyat--akan ketaatan, ketabahan, ketegaran, dan keikhlasan dua manusia pilihan itu--sangat kagum, seraya mengucapkan  “Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar.” Mendengar takbir dari Malaikat Jibril, Nabi Ibrahim menjawab “Lāilāha illallāhu Allāhu Akbar”, lalu disambung oleh Ismail dengan ucapan “Allāhu Akbar wa lillāhil hamdu.’ Inilah asal usul kalimat takbir yang kemudian sunnah dilantunkan di Hari Raya Idul Adha hingga hari tasyrik dan di Hari Raya Idul Fitri.

Akhirnya, cukup seekor kambing sebagai kurban bagi yang mampu di setiap Hari Raya Idul Adha hingga hari tasyrik, sebagai pertanda ketaatan kepada Allah, dan hukumnya adalah sunnah muakkad. Namun, sebagaimana kisah Nabi Ibrahim, ketaatan dan ketundukan serta keikhlasan dalam melakukannya, yang akan membuat Allah ridha. Ini juga ditunjukkan dalam Surah al-Hajj ayat 37 ”Lan yanālallāha luhūmuhā wa lā dimā-uhā wa lākin yanāluhū al-taqwā minkum” (Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan mencapai [keridhaan] Allah, tetapi ketakwaan dari kamu lah yang dapat mencapainya). Demikian pula dengan ibadah haji, Allah mewanti-wanti agar yang mampu melakukannya, dikerjakan semata-mata karena Allah dan untuk mendapat ridha-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 196 “Wa atimmul hajja wal `umrata lillāhi” (Sempurnakanlah haji dan umrah semata-mata karena Allah).  

Tentu saja bukan hanya ibadah haji dan kurban yang dituntut ikhlas, semua penyembahan kepada Allah harus dilakukan semata-mata karena Allah dan untuk mendapat ridha-Nya. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 110 “Fa man kāna yarjū liqā-a rabbihī fal ya`mal `amalan shālihan walā yusyrik bi `ibādati rabbihī ahadan” (Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah melakukan amal saleh, dan tidak menjadikan apa dan siapa pun sebagai sekutu dalam beribadah kepada Tuhannya). Wamā taufīqi illā billāhi (39).

 


Editor: Achmad Firdausi