Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

FATHU MAKKAH: PUNCAK KEBERHASILAN DAKWAH NABI

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 27 September 2024
  • Dilihat 13106 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Di antara peristiwa besar dalam Islam yang mengundang perhatian dunia adalah peristiwa Fathu Makkah, penaklukan kota Mekah dengan jalan damai, yang terjadi pada tanggal 20 Ramadan tahun ke-8 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 1 Januari 630 Masehi.

Penyebab terjadinya Fathu Makkah adalah dilanggarnya perjanjian Hudaibiyah yang ditandatangani oleh Nabi Muhammad (mewakili Islam) dengan Suhail bin Amr (mewakili kafir Quraisy) di tahun ke-6 H. Salah satu poin pentingnya adalah kesepakatan untuk melakukan genjatan senjata selama sepuluh tahun. Namun, perjanjian itu dilanggar kafir Quraisy dengan membantu Bani Bakr menyerang dan membantai Bani Khuza’ah, sekutu umat Islam.

Akibat pelanggaran kaum Quraisy itu, Nabi segera menyiapkan ± 10 ribu pasukan untuk bergerak menuju Mekah. Meski menyiapkan pasukan dengan jumlah besar, Nabi tidak menghendaki adanya peperangan. Sehingga beliau berpesan agar pasukannya tidak menyerang kecuali dalam keadaan terpaksa.

Maka berangkatlah rombongan Nabi dari Madinah menuju Mekah pada 10 Ramadan tahun ke-8 Hijriyah. Perjalanan menuju Mekah membutuhkan waktu 10 hari, hingga rombongan memasuki kota suci ini pada 20 Ramadan. Lamanya perjalanan di samping jauhnya jarak Madinah-Mekah (± 500 km), juga karena pasukan sempat berhenti dan berkemah. Saat berkemah, beberapa perwakilan kafir Quraisy yang telah mengetahui pergerakan pasukan menuju Mekah, mendatangi Nabi untuk bernegosiasi agar tidak melakukan penyerangan ke Mekah.  Mereka meminta Nabi untuk mundur, karena ini masalah dengan Bani Khuza’ah, bukan dengan Nabi. Namun, Nabi tetap bergeming, karena kaum Quraisy sendiri yang telah melanggar dan membunuh orang-orang Bani Khuza’ah.

Menjelang sampai ke kota Mekah, para sahabat pun bergembira karena akan memasuki dan menaklukkan kota Mekah. Terbayang oleh sahabat Muhajirin, akan keadaan rumah dan sekitarnya setelah ditinggal hijrah 8 tahun sebelumnya. Juga teringat oleh mereka berbagai penyiksaan kafir Quraisy terhadap Nabi dan sahabatnya di saat umat Islam masih lemah pada periode Makkah. Maka, “saat ini lah kesempatan membalasnya”, kata mereka. Sehingga Sa`ad bin Ubadah, pembawa bendera yang ditunjuk Nabi, dengan lantang dan berapi-api mengatakan: al-yaumu yaumul malhamah” (Hari ini adalah hari pembalasan). Namun, Nabi tidak senang dengan sikap Sa`ad. Lalu  meminta Ali bin Thalib untuk menegur Sa`ad dan mencopotnya sebagai panglima, dan menggantinya dengan anak Sa`ad bin Ubadah yaitu Qays bin Sa`ad bin Ubadah, yang berkarakter lebih lembut. Dan Nabi pun berkata dengan penuh haru: al-yaumu yaumul marhamah” (Hari ini adalah hari kasih sayang).

Setiba di Mekah, Nabi memasuki kota kelahirannya ini dengan menundukkan kepala sambil membaca firman Allah: “Innā fatahnā laka fathan mubīnā” (Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu kemenangan yang nyata). Nabi terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram, kemudian melakukan thawaf dengan mengendarai unta sambil membawa busur untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang dilewati. Ratusan berhala yang berada di dalam maupun luar Ka'bah yang dihancurkan, dan menghapus gambar-gambar di dalamnya, sambil membaca firman Allah: “Jā’al haqqu wa zahaqal bāthilu, innal bāthila kāna zahūqā” (Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sungguh yang batil itu pasti lenyap).

Melihat Nabi datang dengan kekuatan berlipat, kafir Quraisy ketakutan luar biasa, mengingat dosa-dosa dan kesalahan mereka kepada Nabi dan umat Islam selama periode Mekah, dan pelanggaran perjanjian di saat periode Madinah. Lebih-lebih di saat itu, kekuatan kafir Quraisy mulai melemah karena tokoh-tokohnya banyak tiada, baik karena meninggal di medan tempur maupun karena telah memeluk Islam. Mereka pasrah menunggu diek­sekusi pasukan Islam sebagaimana layaknya tradisi perang kabilah, yang kalah laki-lakinya dibunuh dan perempuannya dijadikan budak bersama anak-anaknya.

Tapi apa yang dikhawatirkan kafir Quraisy tak terjadi. Justru Nabi memberi pengampu­nan massal (amnesti) kepada mereka. Di tengah kecemasan dan ketakukan penduduk Mekah, Nabi menyampaikan mengumumkan kepada mereka “Siapa yang masuk masjid, maka dia aman. Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman. dan siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.” Mendengar pengumuman tersebut, maka dukacita kafir Quraisy menjadi sirna dan berubah menjadi sukacita. Sehingga pada akhirnya mereka berbondong-bondong masuk Islam.

Peristiwa Fathu Makkah merupakan revolusi besar di mana penaklukan suatu wilayah tanpa setetes darah pun mengalir. Padahal yang terjadi saat itu, yang menang menghabiskan penduduknya dan menghancurkan kota-kota yang ditaklukkan, seperti yang dilakukan Nebukadnezar ketika menaklukkan Yerusalem, ia bantai penduduknya dan hancurkan kotanya. Tapi, melalui Fathu Makkah, Nabi yang rahmat justru memberikan pengampunan dan pembebasan.

Pengampunan dari segala kesalahan yang diperbuat kafir Quraisy kepada Nabi dan sahabatnya. Nabi Muhammad yang rahmat, melupakan dan mengampuni semuanya, kecuali beberapa pihak yang tetap membangkang dan bahkan melawan. Pembebasan dari penghambaan kepada berhala (makhluk) menuju penghambaan hanya kepada Allah al-Khāliq, yang ditandai dengan penghancuran patung-patung dan berhala sesembahan kafir Quraisy di sekitar Ka`bah, serta menghapus gambar-gambar bernuansa syirik di dalamnya

Maka, dengan pribadi dan pendekatan yang rahmat, penduduk Mekah yang dulunya menjadi penentang paling keras terhadap ajaran Islam, pada akhirnya menjadi penduduk paling kuat—bersama penduduk Madinah—dalam mempertahankan ajaran Islam. Inilah sukses besar Nabi, mengislamkan Madinah dan Mekah, dua tanah haram yang masing-masing memiliki simbol yang membius umat Islam untuk mengunjunginya setiap saat; Mekah dengan Ka`bah-Nya dan Madinah dengan makam Nabi-Nya yang rahmat. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama hamba dan kekasih-Nya yang rahmat, Amīn yā arhamar rāhimīn  (53).

 


Editor: Achmad Firdausi