PESANTREN RAMAH ANAK
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 21 Februari 2025
- Dilihat 297 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Kampanye ramah anak terus digaungkan di lembaga pendidikan, terutama setelah kian maraknya kasus-kasus kekerasan (violence) dan perundungan (bullying) di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru ke murid, murid ke guru, maupun oleh sesama murid. Dan peran media turut membantu menyiarkan kasus-kasus tersebut, sehingga publik dengan cepat mengetahui dan meresponnya. Tentu saja responnya sama, bagaimana kasus-kasus tersebut segera diatasi, agar sekolah menjadi lembaga yang ramah terhadap anak, sehingga anak betah bahkan enjoy belajar di sekolah. Apalagi, menjadi hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan yang terlindungi dari segala bentuk kekerasan di satuan pendidikan.
Pesantren termasuk lembaga pendidikan yang menjadi sasaran kampanye ramah anak. Karena di lembaga pendidikan tertua ini, juga ditemukan kasus-kasus kekerasan dan perundungan, mulai dari kasus ringan, sedang, berat bahkan hingga menyebabkan kematian.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dalam rilisnya tentang data kasus kekerasan di lembaga pendidikan tahun 2024, menunjukkan sebanyak 36 persen atau 206 kasus terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, dengan rincian di madrasah sebanyak 16 persen atau 92 kasus, dan pesantren sebanyak 20 persen atau 114 kasus. Jenis kekerasan yang terjadi antara lain kekerasan seksual sebanyak 42 persen atau 241 kasus, perundungan sebanyak 31 persen atau 178 kasus, kekerasan psikis sebanyak 11 persen atau 63 kasus, kekerasan fisik sebanyak 10 persen atau 57 kasus, dan kebijakan diskriminatif sebanyak 6 persen atau 34 kasus.
Korban kekerasan di pesantren didominasi oleh santri putri; pada kasus kekerasan seksual sebanyak 556 orang dan kasus perundungan sebanyak 470 orang. Sementara pada santri putra, kasus kekerasan seksual sebanyak 17 orang dan kasus perundungan sebanyak 103 orang.
Di antara kasus kekerasan tersebut, terjadi pada bulan Februari di Pesantren al-Hanifiyah, Kediri, yang menyebabkan seorang santri tewas akibat tindak kekerasan fisik oleh santri senior. Pada September, seorang santri dianiaya seniornya di salah satu pesantren di Sukoharjo, Jawa Tengah, hingga mengakibatkan santri tersebut meninggal. Di bulan November terjadi kekerasan seksual di Pesantren Madrasatul Qur'an Hasyim Asy'ari Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang mengakibatkan seorang santri tewas. Lalu pada Desember 2024, terjadi lagi kekerasan fisik terhadap santri di Pesantren Darus Syahadah, Boyolali, Jawa Tengah yang mengakibatkan santri tersebut mengalami luka bakar serius pada bagian paha ke bawah.
Kasus-kasus di tahun 2024 tersebut dan yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, menjadi sisi gelap pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam par excellence dalam menghasilkan santri berakhlak mulia dan menjadi ahli agama. Apalagi kekerasan terhadap anak bukan hanya pelanggaran HAM, tapi juga pelanggaran terhadap ajaran semua agama, khususnya Islam. Bahkan misi kenabian Muhammad saw adalah menjadi rahmat bagi semesta alam.
Karena itu, merespon kasus-kasus kekerasan di pesantren, Kementerian Agama sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, membuat regulasi pesantren ramah anak, melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 91 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Pengembangan Pesantren Ramah Anak. KMA setebal 60 halaman ini, mengatur banyak hal terkait pesantren ramah anak, dimaksudkan sebagai panduan bagi pihak pesantren dan Kementerian Agama dalam mengelola dan mengembangkan pesantren ramah anak.
Perhatian Kementerian Agama terhadap kasus-kasus kekerasan di pesantren sangat beralasan, meskipun pesantren merupakan lembaga independen, karena lembaga pendidikan Islam par excellence ini, merupakan kekayaan unik bangsa Indonesia yang jumlahnya terus bertambah. Berdasar data EMIS Tahun 2024, jumlah pesantren mencapai 41.286 lembaga, dengan jumlah santri sebanyak 3.339.536, dan jumlah pengajar serta tenaga kependidikan sebanyak 284.662. Dan dari pesantren-pesantren tersebut, telah dihasilkan banyak ulama dan tokoh bangsa yang kiprahnya tidak diragukan lagi dalam memperjuangkan dan membangun Indonesia.
Tentu, yang lebih penting dari sekedar regulasi, adalah implementasi. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam banyak kasus, regulasi selesai, implementasi dilupakan bahkan diabaikan. Karena itu, regulasi pesantren ramah anak tersebut perlu diketahui pihak pesantren, dan perlu pengawasan oleh pihak-pihak terkait, serta sanksi tegas kepada setiap pelaku kekerasan di pesantren. Dan pihak pesantren perlu lebih membuka diri, untuk kebaikan pesantren dan santri. Wallāhu a`lam (76).
Editor: Achmad Firdausi