Menggali Ekosistem Si’ir Madura sebagai Tradisi Lokal
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Senin, 29 September 2025
- Dilihat 48 Kali
Oleh: Dr. Moh. Hafid Effendy, M.Pd.
(Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ketua Yayasan Pakem Maddhu)
Pernahkan mendengar bahwa si’ir itu masih ada di pulau Madura? Si’ir yang tergolong sebagai tradisi lisan termasuk salah satu khazanah kebudayaan yang memiliki peran penting dalam pembentukan identitas suatu masyarakat. Di Madura, salah satu bentuk tradisi lisan yang khas adalah si’ir yang wujudnya berbentuk karya sastra seperti puisi berirama yang sarat dengan nilai moral, religius, dan sosial. Si’ir Madura tidak hanya hadir sebagai medium hiburan rakyat, tetapi juga sebagai wahana pendidikan karakter dan penginternalisasian nilai-nilai keagamaan. Namun demikian, di tengah arus globalisasi dan derasnya penetrasi budaya digital, keberlangsungan tradisi si’ir semakin terpinggirkan. Hal ini perlu upaya menggali dan membangun ekosistem si’ir Madura sebagai tradisi lokal yang berdaya hidup dalam konteks kekinian.
Menggali ekosistem si’ir Madura dapat dipahami sebagai sebuah ikhtiar untuk melihat tradisi ini tidak hanya dari aspek teks atau pertunjukannya, melainkan juga dari jejaring sosial, kultural, dan institusional yang menopangnya. Ekosistem budaya melibatkan pelaku, ruang, praktik, serta sistem nilai yang menyokong keberlangsungan tradisi. Dalam konteks si’ir Madura, ekosistem itu mencakup para kiai, santri, budayawan, lembaga pendidikan, komunitas masyarakat, hingga media digital yang dapat menjadi medium transformasi. Dengan demikian, revitalisasi si’ir Madura harus ditempatkan dalam kerangka ekologi kebudayaan yang berorientasi pada keberlanjutan.
Secara historis, si’ir Madura berkembang di lingkungan pesantren dan masyarakat religius. Hal ini menjadikan si’ir memiliki kedekatan erat dengan ajaran Islam, seperti nasihat untuk berbuat baik, menjauhi kemaksiatan, serta memperkokoh iman. Jika ditinjau dari perspektif pendidikan, si’ir berfungsi sebagai sarana internalisasi nilai-nilai akhlak secara sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat, terutama generasi muda. Sayangnya, peran tersebut kini semakin meredup karena berkurangnya minat generasi muda terhadap tradisi lisan yang dianggap kuno dan tidak relevan dengan gaya hidup modern.
Guna menjawab tantangan tersebut, perlu dibangun konsep ekosistem yang mampu menghubungkan tradisi si’ir dengan konteks zaman. Pertama, penting dilakukan penguatan basis kelembagaan melalui integrasi si’ir dalam kurikulum lokal sekolah maupun pesantren. Hal ini memungkinkan si’ir berfungsi kembali sebagai media literasi budaya dan pendidikan karakter. Kedua, perlu adanya dokumentasi dan digitalisasi naskah maupun pertunjukan si’ir agar dapat diakses secara luas melalui platform daring. Digitalisasi bukan hanya sarana pelestarian, tetapi juga transformasi agar si’ir dapat diapresiasi lintas generasi dan lintas budaya.
Ketiga, ekosistem si’ir dapat diperkuat melalui penciptaan ruang-ruang kultural seperti festival, lomba, dan diskusi sastra yang melibatkan masyarakat, akademisi, serta seniman. Dengan cara ini, si’ir tidak sekadar dikenang sebagai warisan budaya, tetapi benar-benar hidup dalam praktik sosial yang aktual. Keempat, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah daerah, komunitas budaya, dan lembaga pendidikan dalam memberikan dukungan finansial maupun regulasi untuk memastikan keberlangsungan tradisi ini.
Dengan menggali ekosistem si’ir Madura, kita sesungguhnya sedang meneguhkan kembali identitas kultural masyarakat Madura di tengah tantangan global. Si’ir bukan sekadar puisi tradisional, melainkan sistem pengetahuan, nilai, dan kebijaksanaan lokal yang dapat memberi kontribusi bagi pembangunan karakter bangsa. Konsep ekosistem menjadikan pelestarian si’ir tidak berhenti pada nostalgia masa lalu, melainkan bertransformasi menjadi bagian dari kehidupan budaya kontemporer.
Editor: Achmad Firdausi