HIKMAH ISRA’ MI`RAJ
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Senin, 27 Januari 2025
- Dilihat 155 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Dalam sejumlah sumber dinyatakan bahwa peristiwa Isra’ Mi`raj terjadi pada malam tanggal 27 Rajab di tahun ke-10/11 dari kenabian. Isra’ berarti perjalanan malam Nabi Muhammad dari Masjidil Haram Mekah menuju Masjidil Aqsha Palestina. Sedangkan Mi`raj berarti perjalanan lanjutan Nabi dari Masjidil Aqsha menuju ke langit ketujuh hingga ke Sidratul Muntaha. Diceritakan bahwa perjalanan tersebut dilakukan Nabi secara sadar (jasmani-rohani) dengan berkendara super cepat, Buraq, ditemani Malaikat Jibril.
Sebelum melakukan Isra’ Mi`raj, Nabi mengalami cobaan beruntun. Belum selesai penderitaan yang dialami beliau dan keluarganya (Bani Hasyim & Bani Abdul Muthalib)) pasca diboikot dan dikucilkan oleh kaum kafir Quraisy selama ± tiga tahun, Nabi ditinggal wafat paman beliau Abu Thalib, dan tak lama kemudian menyusul istri tercinta beliau Sayyidah Khadijah al-Kubra. Keduanya merupakan sosok pembela utama Nabi di masa-masa sulit dalam menyebarkan Islam di Mekah. Setelah ditinggal dua tokoh tersebut, perlawanan kafir Quraisy terhadap Nabi dan penyiksaan terhadap umat Islam kian meningkat, hingga akhirnya beliau hijrah ke Thaif untuk mencari perlindungan sekaligus mencari celah dakwah baru. Namun, kedatangan Nabi ke Thaif ditolak dengan kasar.
Cobaan beruntun tersebut membuat Nabi sangat bersedih, sehingga tahun itu disebut “`āmul khuzn”, tahun kesedihan, tahun duka cita. Karena itu, cukup beralasan jika beberapa sumber menyatakan bahwa peristiwa Isra’ Mi`raj merupakan perkenan Allah untuk menghibur Nabi dari kesedihan, meningkatkan kesabaran, dan untuk memperteguh semangat beliau dalam menjalankan risalah kenabian yang selalu mendapat tantangan dan ancaman dari kaum kafir dan munafiq.
Tentu saja bukan hanya alasan itu Nabi di-Isra’ Mi`raj-kan. Dalam peristiwa agung ini, Allah hendak menunjukkan kemahakuasaan-Nya, bahwa apapun yang dikehendaki Allah terjadi, maka akan terjadi, meskipun di luar nalar manusia. Perlu diketahui bahwa perjalanan jauh nan super cepat itu hanya berlangsung pada sebagian malam; berangkat setelah isya` dan kembali sebelum subuh. Bahkan—menurut sebagian riwayat--saking cepatnya perjalanan tersebut, tempat tidur Nabi masih terasa hangat saat beliau kembali. Padahal dalam kebiasaan orang Quraisy, perjalanan dari Mekah ke Palestina ditempuh kurang lebih dua bulan berkendara unta. Belum lagi ke Sidratul Muntaha yang tak terjangkau manusia. Tapi kalau Allah menghendaki, semuanya akan terjadi dengan mudah. Karena itu, diksi yang dipakai al-Qur’an dalam meriwayatkan perjalanan Nabi untuk Isra’ Mi`raj adalah “asrā bi`abdihī” ([Allah] yang telah memperjalankan hamba-Nya).
Makna terpenting dari peristiwa Isra’ Mi`raj bagi umat Muhammad, adalah turunnya perintah salat lima waktu. Berbeda dengan wahyu Allah yang lain yang banyak disampaikan melalui Malaikat Jibril, untuk menerima perintah salat, Nabi dipanggil langsung oleh Allah dan menerimanya di tempat yang sangat istimewa, Sidratul Muntaha, yang hanya Allah dan Nabi-Nya yang tahu.
Hal tersebut menunjukkan betapa salat sangat bermakna bagi umat Muhammad. Salat adalah media bagi hamba untuk dekat dengan Allah, salat adalah “mi`rājul mukmin”. Dan itu berlangsung secara kontinyu, lima kali sehari semalam, agar hamba-Nya selalu dekat dengan-Nya.
Lebih dari itu, salat adalah pencegah dari perbuatan keji dan munkar “Innas shalāta tanhā `anil fakhsyā-i wal munkar”; Salat adalah media penghapus dosa. Sabda Nabi: “Salat lima waktu, Jumat ke Jumat, dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa yang di antara semua itu, selama dosa-dosa besar dijauhi (HR. Muslim); Salat adalah penentu nasib hamba di akhirat. Sabda Nabi “Inna awwala mā yuhāsabu bihil `abdu yaumal qiyāmati min `amalihī shalātuhu. Fain shaluhat faqad aflaha wa anjaha wain fasadat faqad khāba wa khasira … (HR. Tirmidzi) “ (Sesungguhnya perbuatan manusia yang pertama kali dihisab di hari kiamat adalah salatnya. Jika salatnya baik, maka sungguh ia telah beruntung. Tapi jika salatnya rusak, maka sungguh ia telah merugi …).
Dengan demikian, perintah salat merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada umat Muhammad, agar setiap saat bisa dekat dengan-Nya, agar setiap saat dosa-dosanya sirna, sehingga ketika menghadap Allah kelak, datang dengan hati yang bersih dari noda “illā man atallāha biqalbin salīm”. Wamā taufīqī illā billāh (72).
Editor: Achmad Firdausi