79 TAHUN KEMENTERIAN AGAMA
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 3 Januari 2025
- Dilihat 82 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Ada yang berbeda di Peringatan Hari Amal Bakti Kementerian Agama ke-79 tahun ini, bukan karena menterinya baru, tapi karena Presiden Prabowo—dalam Kabinet Merah Putih—membentuk dua badan setingkat Menteri yang terkait dengan Kemenag, yakni Badan Penyelenggara Haji (BPH) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Mengapa berbeda? Karena sebelumnya, urusan haji dan urusan produk halal, menjadi bagian tanggungjawab Kemenag. Setalah dua badan tersebut dibentuk, maka tanggungjawabnya beralih ke kedua badan tersebut. Namun, khusus urusan haji, karena di masa transisi, masih diurus berdua (Kemenag & BPH).
Sebelumnya, tahun 2004, urusan peradilan agama yang menjadi bagian dari tanggungjawab Kemenag, juga telah dilepas dan menjadi bagian dari tanggungjawab Kementerian Kehakiman. Juga, beberapa urusan yang akrab dengan Kemenag, telah pula dibentuk menjadi lembaga mandiri, yakni Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di tahun 2001, Badan Wakaf Indonesia (BWI) di tahun 2004, dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang secara embrional telah berdiri sejak tahun 1970.
Masih mungkinkah bidang lain di Kemenag yang dilepas ke kementerian/lembaga lain? Menurut analisis kawan saya, bisa saja urusan pendidikan (madrasah) dimerger ke Kemdikbud dan PTKI ke Kemdikti dengan alasan menghilangkan dikotomi dan diskriminasi. Juga, urusan administrasi perkawinan bisa menyatu ke Kantor Catatan Sipil, dengan alasan karena perkawinan menjadi urusan semua agama.
Kalau begitu, jangan-jangan Kemenag lambat laun tak lagi dibutuhkan? Untuk menjawab pertanyaan jangan-jangan ini, mari kita lihat sejarah pembentukan Kementerian Agama ini.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa Kemenag dibentuk saat itu. Pertama, sebagai jalan tengah antara keinginan memisahkan agama dari negara dan menyatukan agama dengan negara. Kedua, pembentukan Kemenag sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, yang menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Ketiga, sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap umat Islam yang mayoritas dan memiliki saham besar dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Namun, untuk sampai pada pembentukan Kemenag oleh negara, butuh perjuangan tersendiri dari umat Islam. Awalnya, pentingnya pembentukan Kemenag telah disampaikan pertama kali dalam rapat BPUPKI pada 11 Juli 1945. Kemudian pada 19 Agustus 1945, saat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bersidang untuk membahas pembentukan kementerian/departemen, diusulkan pula pembentukan Kementerian Agama, namun tidak disetujui. Penolakan ini telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta.
Selanjutnya, dalam sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 25-27 November 1945, usulan pembentukan Kemenag disampaikan lagi, yang akhirnya disepakati dan ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 bertepatan dengan 29 Muharram 1365 H.
Atas dalil sejarah tersebut dan kian tampaknya peran-peran yang dilakukan Kemenag dalam melaksanakan dan mendukung kebijakan pemerintah dalam bidang agama, rasanya tidak mungkin Kementerian ini ditiadakan, bahkan kian dibutuhkan.
Kalaupun sebagian peran telah diserahkan ke kementerian/lembaga lain, hal ini harus dipandang secara positif dan optimis. Positif, karena dengan berkurangnya beban, tugas yang diemban akan semakin ramping sehingga bisa lebih gesit mengelola sumber daya, guna mensukseskan tugas-tugas pemerintah dalam bidang agama. Optimis, karena tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik, tidak ada prestasi yang diraih, tanpa optimisme.
Karena itu, mari kita sambut tahun baru 2025 dan HAB Kemenag ke-79, dengan positif thinking, optimisme dan spiritualisme, bahwa tahun ini akan lebih baik dari tahun lalu. Wamā taufīqī illā billāh (68).
Editor: Achmad Firdausi