Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

SERTIFIKAT HALAL

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 11 Oktober 2024
  • Dilihat 130 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Akhir tahun 2010 silam, saat pertama kali menginjakkan kaki di Singapura dalam rangka short course selama sebulan (bersama 25 dosen PTKI) di National University of Singapore (NUS), di antara kekhawatiran saya adalah sulitnya mencari makanan halal, mengingat Singapura adalah negara sekuler yang penduduk muslimnya hanya 14,5% dari keseluruhan penduduk Singapura yang berjumlah sekitar 5,8 juta jiwa.

Ternyata kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Di pasar tradisional tempat belanja kebutuhan sehari-hari, label halal begitu mudah ditemukan sehingga tidak ragu berbelanja. Demikian pula, tidak sedikit restoran dan food court yang mepampang label halal. Bahkan di kampus NUS, dari belasan deretan kantin yang tersedia, terdapat kantin halal yang letaknya paling pinggir, sehingga mudah dijangkau. Dan ternyata, peminatnya juga banyak dari kalangan mahasiswa non-muslim.

Ya, Singapura, meskipun negara sekuler berpenduduk minoritas muslim, pemerintah negeri singa ini mendirikan Majelis Ugama Islam Singapore (MUIS), untuk mewadahi dan melayani  kebutuhan umat Islam dalam sejumlah urusan (pendidikan, perkawinan, haji, layanan halal, dan urusan ibadah lainnya). Nah, melalui MUIS ini, layanan produk halal dikelola professional dengan manajemen modern. Sehingga tidak heran jika 14 tahun silam itu, layanan produk halal sudah begitu mapan, apalagi sekarang.

Ternyata, layanan professional produk halal yang dilakukan Singapura, negara sekuler yang minoritas muslim, bukan hal yang mengejutkan. Karena, saat ini, negara yang paling getol memasarkan produk halal adalah negara-negara sekuler, bukan negara Islam. Terbukti, negara dengan produsen produk konsumsi halal terbesar di dunia adalah Brazil, disusul Australia, dan negara lainnya.

Tentu saja, mereka getol memasarkan produk halal bukan sekedar kewajiban agama, melainkan sudah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Dan produk halalnya pun terus berkembang, dari awalnya hanya fokus ke produk makanan dan minuman, berkembang ke produk kosmetik halal, obat-obatan halal, dan produk lainnya. Bahkan sekarang sudah merambah ke pariwisata halal.

Bagaimana dengan Indonesia? Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, hanya berada di peringkat 10 sebagai negara produsen produk halal dunia. Dengan demikian, Indonesia hanya sebagai pasar konsumen produk halal. Bahkan sekitar 12,6% kebutuhan produk halal pada makanan di dalam negeri, masih diimpor dari negara lain. Sungguh ironi, negara muslim terbesar, hanya menjadi penonton dalam bisnis produk halal global. Padahal Indonesia memiliki modal religius dan demografis yang besar, di mana negeri ini memiliki jumlah pemeluk muslim terbesar di dunia, mencapai 209,1 juta jiwa atau sekira 13,1% dari populasi muslim dunia.

Menariknya lagi, peluang bisnis produk halal kian menantang. Berdasar data 2018, konsumsi produk pasar halal dunia mencapai 2,2 triliun US dollar dan akan terus berkembang mencapai 3,2 triliun US dollar pada tahun 2024. Faktor utama yang mendorong fenomena ini adalah peningkatan jumlah penduduk muslim di dunia yang telah mencapai 1,84 miliar orang pada 2017 dan diperkirakan meningkat hingga 29 persen dari total populasi dunia pada 2024.

Namun, dalam kenyataan, untuk pemenuhan kebutuhan domestik saja, Indonesia masih belum mampu, apalagi pemenuhan kebutuhan negara lain. Berdasar data BPJPH, sebanyak 30 juta produk usaha membutuhkan sertifikasi halal. Namun baru sekitar 725.000 yang tersertifikasi halal.

Padahal jaminan produk halal, sangat dibutuhkan umat Islam, untuk mendapat kepastian dan rasa aman, bahwa sesuatu yang dikonsumsi bahkan sesuatu yang dipakai di badannya, terjamin halal. Bukan hanya itu, dalam Islam prinsip yang dianut adalah “halalan thayyiban”; halal bahan bakunya, halal prosesnya, halal produknya, dan produknya berkualitas serta bermanfaat bagi konsumen. Dan ini, menjadi tugas negara untuk melindungi warga negaranya.

Tampaknya, masih banyak PR yang harus segera diselesaikan untuk memenuhi kebutuhan produk halal dalam negeri, sambil menatap ke dunia global untuk bisa bersaing dengan negara-negara lain dalam bisnis produk halal global.

Sedangkan BPJPH sebagai badan yang ditunjuk pemerintah untuk menggawangi produk halal, masih memiliki banyak keterbatasan dalam bidang anggaran, SDM profesional, serta sarana dan lembaga pendukung untuk akselerasi produk halal.

Kelemahan juga ditunjukkan, masih belum singkronnya antara MUI (sebagai pembuat regulasi produk halal) dengan BPJPH sebagai pelaksana produk halal. Ini ditunjukkan dengan adanya silang pendapat antar keduanya dalam hal penerbitan sertifikat halal yang tak semestinya pada jenis minuman tertentu. Bahkan, terakhir, ditemukan 151 nama produk bermasalah, yang mendapat sertifikat halal. Kok bisa? Wallāhu a`lam (55).

 


Editor: Achmad Firdausi