PUASA RAMADHAN: PENCAPAIAN KARAKTER PROFETIK & MABADHI’ KHAIRU UMMAH
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 28 Maret 2025
- Dilihat 59 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Atiqullah, S.Ag., M.Pd.
(Direktur Pascasarjana IAIN Madura)
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi spiritual dan sosial yang mendalam pada derajat muttaqien (QS: 2, 183). Selain sebagai bentuk ibadah, puasa Ramadhan juga berfungsi sebagai sarana efektif dalam pengembangan karakter profetik sebagai model kepemimpinan yang meneladani sifat-sifat para nabi, seperti kejujuran, amanah, tabligh, dan fathanah.
Karakter profetik mengacu pada paradigma yang didasarkan pada nilai-nilai kenabian. Menurut Kuntowijoyo (1991), kepemimpinan profetik melibatkan tiga nilai utama: humanisasi (memanusiakan manusia), liberasi (pembebasan dari belenggu penindasan), dan transendensi (hubungan spiritual dengan Tuhan). Nilai-nilai ini menjadi dasar bagi sseeorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Puasa Ramadhan tidak hanya menuntut umat Islam untuk menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari perilaku negatif seperti amarah, kebohongan, dan tindakan tidak etis lainnya. Melalui puasa, individu dilatih untuk mengendalikan diri, meningkatkan empati terhadap sesama, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan. Aspek-aspek ini sejalan dengan nilai-nilai dalam karakter profetik.
Pertama, Humanisasi Puasa, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dengan mendorong individu untuk merasakan penderitaan orang lain yang kurang beruntung. Dengan menahan lapar dan dahaga, seseorang diharapkan dapat lebih memahami kondisi mereka yang hidup dalam kekurangan, sehingga menumbuhkan rasa empati dan kepedulian sosial. Hal ini penting bagi seorang muslim sejati yang harus mampu memahami dan memperhatikan kebutuhan serta aspirasi masyarakat lingkungannya.
Kedua, Liberasi Puasa, berfungsi sebagai sarana pembebasan diri dari hawa nafsu dan kebiasaan buruk. Dengan berpuasa, individu dilatih untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada materi dan kesenangan duniawi yang berlebihan. Proses ini membantu individu dalam membebaskan diri dari sifat-sifat negatif seperti keserakahan, egoisme, dan ketidakadilan, sehingga mampu lebih bijaksana dan adil dalam berkehidupan.
Ketiga, Transendensi Puasa, tercermin melalui peningkatan kualitas hubungan spiritual dengan Tuhan. Puasa mendorong individu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ibadah, do’a, dan refleksi diri. Seorang muslim sejati yang memiliki hubungan spiritual kuat dengan Tuhannya akan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga mampu mengambil keputusan yang tidak hanya berdasarkan pertimbangan rasional, tetapi juga etika dan nilai-nilai spiritual dalam tindakan kesehariannya.
Selama bulan Ramadhan ini, umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan amal ibadah dan perbuatan baik. Hal ini mencakup kegiatan sosial seperti memberikan zakat dan shodaqohnya, membantu mereka yang membutuhkan, dan mempererat tali silaturahmi. Tindakan-tindakan ini mencerminkan nilai-nilai profetik, di mana seseorang diharapkan tidak hanya fokus pada kepentingan pribadi, tetapi juga pada kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan.
Adalah sosok pemuka muslim Nusantara, KH. Hasyim Asy'ari (1926), seorang ulama besar yang dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia merupakan manifestasi nyata dari kepemimpinan profetik yang mengintegrasikan nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi. Melalui pendekatan yang bijaksana, perjuangan melawan penindasan, dan kehidupan spiritual yang mendalam, beliau berhasil membawa perubahan signifikan dalam masyarakat Indonesia bagian pedalaman. Kepemimpinan beliau menjadi inspirasi bagi pemimpin Muslim di Indonesia untuk memimpin dengan integritas, keberanian, moderat (washatiyah) dan visi jauh ke depan.
Sementara KH. Ahmad Dahlan (1912), pendiri Muhammadiyah, merupakan sosok nyata sezaman dengan KH. Hasyim Asy'ari keduanya menerapkan kepemimpinan profetik dalam konteks pendidikan Islam yang menekankan pentingnya pendidikan yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter dan moralitas. Nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi tercermin dalam pendekatan pendidikan yang beliau terapkan, yang bertujuan untuk menciptakan individu-individu yang berintegritas dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Keduanya sama sama menorehkan suatu peninggalan penting kelembagaan khas Nusantara dalam membangun bangsa ini melalui Pesantren dan Perguruan.
Momentum Puasa Ramadhan tahun ini tentu kita diingatkan pada peran-peran penting dalam pengembangan karakter-karakter profetik bangsa selama ini. Melalui puasa, individu dilatih untuk menginternalisasi nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi yang esensial dalam pembangunan karakter profetik. Dengan demikian, puasa tidak hanya berfungsi sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai sarana efektif dalam membentuk pemimpin-pemimpin atau kader-kader muslim nusantara sejati yang berintegritas, adil, dan peduli terhadap kesejahteraan masyarakat. Sehingga materi dan tema-tema puasa ramadhan ini kembali perlu digalakkan dalam lembaga pendidikan dan pesantren dalam membangun karakter bangsa yang berintegritas, solidaritas dan peduli sesama yang lebih sejahtera secara lahir maupun batin dalam menupang canangan pembangunan umat terbaik (mabadhi’ khaira ummah) dan Maslahatul Ummah (1935).
Editor: Achmad Firdausi