BELAJAR DARI PENYESALAN SAHABAT NABI
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 31 Januari 2025
- Dilihat 50 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Seorang sahabat Nabi bernama Sya’ban wafat, Rasulullah bertakziah ke rumahnya. Saat itu, istri Sya’ban bertanya: “Ya Rasulullah ada sesuatu yang menjadi tanda tanya bagi kami, yaitu menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing-masing teriakan disertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya.”
“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasulullah.
“Di masing-masing teriakannya, dia berucap kalimat “Aduh, kenapa tidak lebih jauh!; Aduh, kenapa tidak yang baru!; Aduh, kenapa tidak semua!’” jawab istri Sya’ban.
Kemudian Rasulullah menjelaskan: “Apa yang dilihat oleh Sya’ban (dan orang yang sakaratul maut) tidak dapat disaksikan yang lain. Dalam padangannya yang tajam itu Sya’ban melihat suatu tayangan peristiwa di mana kesehariannya dia pergi pulang ke masjid untuk salat berjamaah lima waktu. Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki, tentu itu bukan jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke masjid,” ujar Rasulullah.
Dia melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan sebagai ganjarannya. Saat dia melihat, dia berucap: “Aduh, mengapa tidak lebih jauh!” Timbul penyesalan dalam diri Sya’ban mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi dari masjid, supaya pahala yang didapatkan lebih indah.
Dalam tayangan berikutnya Sya’ban melihat saat ia akan berangkat salat berjamaah di musim dingin. Saat ia membuka pintu, berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang. Ia masuk ke dalam rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Ia memakai dua baju, Sya’ban memakai pakaian yang bagus di dalam dan yang jelek di luar.
Ia berpikir, jika kena debu tentu yang kena hanyalah baju yang luar dan ketika sampai di masjid ia dapat membuka baju luar dan salat dengan baju yang lebih bagus. Ketika dalam perjalanan menuju masjid, ia menemukan seseorang terbaring kedinginan dalam kondisi mengenaskan. Sya’ban pun merasa iba dan segera membukakan baju yang paling luar lalu dipakaikan kepada orang tersebut, kemudian ia memapahnya ke masjid agar dapat melakukan salat subuh bersama-sama.
Orang itu pun selamat dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan salat jamaah. Sya’ban pun kemudian ditunjukkan indahnya surga, sebagai balasan memakaikan baju usangnya kepada orang tersebut. Kemudian ia berteriak lagi “Aduh, kenapa tidak yang baru!” Timbul lagi penyesalan Sya’ban. Jika dengan baju jelek saja dapat mengantarkannya mendapat pahala besar, sudah tentu ia akan mendapatkan surga yang lebih indah jika dia memberikan pakaian yang baru.
Berikutnya, Sya’ban melihat lagi suatu peristiwa. Saat hendak bersarapan roti yang dicelupkan ke segelas susu, datang pengemis yang meminta sedikit roti karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal itu, Sya’ban merasa iba. Ia kemudian membagi dua roti tersebut dengan ukuran sama besar dan membagi dua susu ke dalam gelas dengan ukuran yang sama, kemudian mereka makan bersama-sama. Lalu, diperlihatkan kepada Sya’ban pemandangan surga yang indah. Ketika melihat itupun Sya’ban berteriak lagi, “Aduh, kenapa tidak semua!” Sya’ban kembali menyesal. Seandainya ia memberikan semua roti dan susu kepada pengemis tersebut, maka pasti ia akan mendapat surga yang lebih indah.
Māsyāallāh, sahabat Sya’ban menyesal hanya karena kurang optimal berbuat baik, kurang banyak berbuat kesalihan. Bagaimana dengan yang banyak melanggar ketentuan Allah?, bagaimana dengan yang kufur kepada Allah? Na`ūdzubillāh, tentu penyesalannya tak terhingga. Tapi, penyesalan di akhirat tiada guna, karena akhirat bukanlah tempat beramal, melainkan tempat menuai apa-apa yang sudah diperbuat selama hidup di dunia. Wa mā taufīqī illā billāh (73).
Editor: Achmad Firdausi