HIDUP DI ERA POST-TRUTH
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 13 Desember 2024
- Dilihat 157 Kali
Oleh: Prof. Dr. Mohammad Kosim, M.Ag.
Dalam kamus Oxford, post-truth, pasca kebenaran, disebut sebagai kata sifat yang artinya "berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi."
Di era post-truth ini, fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Di era ini, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya.
Dahlan Iskan menyebutnya sebagai era “kebenaran baru”, yakni kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang sesungguhnya. Di era ini, kata Dahlan, fakta sudah tidak lagi merupakan bagian dari kebenaran. Jadi kalau ingin berbantah di media sosial jangan lagi menggunakan fakta-fakta, sudah tak berguna lagi, lantaran “kebenaran baru” itu datang dari yang disebut persepsi. Jadi, persepsi ini yang menjadi dasar kebenaran. Persepsi tidak dibentuk oleh fakta, melainkan oleh frame, yang disebut framing. Di zaman “kebenaran baru” ini, fakta tidak lagi dianggap penting. Yang dianggap penting adalah framing yang pada langkah selanjutnya disebut buzzer.
Sederhananya, era “kebenaran baru” adalah suatu era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan para pembaca. Di sinilah ungkapan Ali ibn Abi Thalib menemukan contohnya, bahwa “kesalahan yang terorganisir akan mengalahkan kebenaran tak terorganisisr.”
Hasil kajian Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru pada soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news (berita palsu) versus media yang valid. Beberapa media fake news bahkan bisa mengalahkan media mainstream. Lagi-lagi hoax (berita bohong dan informasi yang direkayasa atau dibuat-buat) mengalahkan fakta yang sebenarnya.
Memang kini banyak situs opini yang bias, menyerang, dan tendensius pada satu kelompok, tapi mereka bisa mengambil hati dan perasaan pembaca dengan story-telling, yakni pesan yang diolah sedemikian rupa untuk kemudian disampaikan kepada orang lain dengan menarik. Di sini, kebenaran menjadi tidak penting. Kredibilitas nama medianya apalagi, sudah tidak dilihat oleh pembaca. Ketika media mainstream justru berseberangan faktanya dengan media opini tersebut, pembaca malah berbalik menjadi tidak percaya terhadap media-media bernama besar itu.
Bagaimana kita menghadapi era “kebenaran baru” ini? Dalam al-Qur’an surah al-Hujurāt ayat 6 dinyatakan “Yā ayyuhalladzīna āmanū in jā'akum fāsiqum binaba'in fa tabayyanū an tushībū qaumam bijahālatin fa tushbihū ‘alā mā fa‘altum nādimīn” (Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuanmu yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu).
Jadi, di era “kebenaran baru” ini, berita-berita yang berseliweran di medsos yang tak jelas asal usulnya, harus dipandang sebagai “akhbārun kādzibah”, “fake news” (berita-berita bohong), yang harus diklarifikasi (tabayyun). Setelah itu, jika terbukti benar dan bermanfaat untuk publik, dapat dishare. Jika hasil tabayyun belum jelas, apalagi berpotensi buruk bagi publik, maka tinggalkan.
Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk menghindari penyesalan akibat tindakan yang diakibatkan oleh berita yang belum diteliti kebenarannya. Jangan sampai berita yang kita share ke medsos berpotensi menjadi fitnah. Sedangkan fitnah, dalam surah al-Baqarah ayat 191, lebih kejam daripada pembunuhan “Al-fitnatu asyaddu minal qatl”. Membunuh satu orang, yang mati satu. Tapi akibat fitnah, akan menimbulkan konflik di masyarakat, yang bisa jadi saling bunuh, sehingga korbannya berlipat.
Karena itu, di era medsos ini, apalagi di era “kebenaran baru” ini, mari kita resapi sabda Nabi: “Kafā bil mar’i kādziban an yuhadditsa bi kulli mā sami`a” (Cukuplah seseorang disebut pembohong, jika ia menyebarkan semua yang didengar [tanpa klarifikasi]), dan “Man kāna yu’minu bil lāhi wal yaumil ākhiri falyaqul khairan aw liyashmut” (Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam). Wa mā taufīqī illā billāh (65).
Editor: Achmad Firdausi