The Jihad of Economic: The Study of Kyai as A Leader on Islamic Economic Movement in Madura<br>Oleh: Zainal Abidin
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Jumat, 27 November 2015
- Dilihat 84 Kali
Zainal Abidin
(Dosen Jurusan Syariah dan Ekonomi STAIN Pamekasan sekaligus Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Islam PPS UIN Sunan Ampel Surabaya. CP. +628175025749. Email: zainal.madura@gmail.com)
Abstract
The background of this study is the movement of kyai, where kyai as the religious figures, that is transcendental, who were involved in the business, that is profane. Kyai as the central figure in Madura has influential effect because They are the Public policy maker. Kyai had only as religious leaders, but in fact there are some kyai have a business area. Dialectic between the business that is the profane with the religious that is transcendental will create the dialectic is an interesting and feasible to be studied.
In this study the authors used a qualitative approach with a phenomenological perspective. To analyze the data the author uses a holistic theory of the Protestant ethics by Max Weber and worldview theory.
The result from the research: The first, the dynamics that occur in the business by kyai in Pamekasan is a dynamics in the whole side of the boarding school like the actors, soft ware and hard ware of a boarding school, where the kyai as a determinant factor of the dynamics including the dynamics of business. The second, the spiritual value of business by kyai is the crystallization of ‘aqîdah, syarî‘ah, and akhlâq which is based on Al-Quran and Al-Sunnah, which includes economic jihad, ‘iffah and businesses as a movement of da’wah namely da’wah bi al-hâl.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kyai merupakan salah satu tokoh sentral yang berpengaruh di Madura. Mereka merupakan agent of social change. Dinamika yang terjadi pada kyai diyakini akan membentuk pemikiran masyarakat. Di sisi lain sebagai tokoh keIslaman tentunya memamahi betul ajaran Islam[1]. Sebagaimana dipahami ada tiga aspek ajaran Islam yaitu ‘aqîdah, syarî‘ah, dan akhlâq. Dalam konteks ‘aqîdah dan akhlâq sudah tertata dengan rapi dan mapan walaupun terjadi perdebatan mungkin dalam faksi yang furū‘iyah. Namun dalam ranah shariah khususnya mu’amalah terjadi sebuah fenomena yang menarik. Mutiara hikmah dari fiqh-fiqh baik yang klasik, modern maupun kontemporer yang dipahami hanya berhenti di untaian kertas tanpa makna, seperti mandul tanpa ada buah yang bisa diharapkan.
Islam sebagai agama yang menjadi spirit dari pergerakan elitnya telah menemukan kontestasinya dalam bidang ekonomi[2] tidak seperti yang terjadi dalam Islamisasi dalam bidang hukum yang telah menjadi sebuah phobia Islam yang sulit untuk direalisasikan. Akan tetapi Islamisasi dalam ranah ekonomi mugkin akan bisa direalisasikan, namun dampak dibidang ekonomi ini tentunya tidak kalah dahsyatnya di banding dengan dampak Islamisasi di bidang hukum, karena ekonomi Islam[3] bisa dipahami sebagai salah satu jalur alternatif[4] dari kegagalan ekonomi konvensional.
Dalam konteks keindonesiaan perlu tentunya dihadirkan sebuah kajian yang kompeherensif tentang relasi ekonomi dengan Islam karena Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia ini walaupun Indonesia bukan negara Islam. Di samping itu gagasan pemikiran ekonomi Islam Indonesia tentunya mempunyai ciri khas yang berbeda dengan belahan dunia muslim yang lain. Sebagaimana diketahui posisi Indonesia dalam urutan rangking kualitas perbankan syariah adalah menduduki rangking keempat setelah Arab Saudi di posisi pertama, Iran di posisi kedua dan Malaysia di posisi ketiga. Hal ini merupakan sebuah posisi yang membanggakan namun juga merupakan sebuah tantangan, bahkan di masa depan dengan seluruh petensi yang dimiliki baik sumber daya alam (sda) maupun sumber daya manusia Indonesia akan bergeser menuju posisi yang lebih baik.
Penguatan dalam bidang ekonomi merupakan sebuah bentuk dakwah baru dalam kontes kekinian yang tentunya akan menjadi alternatif yang cukup berarti dalam konteks pembangunan kemanusiaan untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna. Diakui atau tidak, dirasakan atau tidak, taraf kehidupan ekonomi umat tentunya akan mempengaruhi tingkat kehidupan sebuah umat bahkan menentukan martabat umat dalam kontestasi kehidupan ini, dimana sudah jamak diketahui bahwa umat Islam besar dalam kuantitas tapi lemah dalam kualitas terutama dalam kehidupan ekonomi. Prestasi dalam ranah ekonomi memang mudah di ukur karena konkret dalam kehidupan yang nyata. Hal itu tentunya tidak berdiri sendiri namun berdiri di atas sebuah mind set, dimana dinamika merupakan sebuah ketertarikan yang cukup layak untuk dikaji.
Pemahaman tentang ekonomi bisnis adalah aktivitas yang menggambarkan cara bisnis dan unit ekonomi dalam melaksanakan aktivitas ekonomi baik produksi, distribusi dan konsumsi dalam rangka mencapai dan memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Sehinggga ekonomi bisnis merupakan sebuah aktivitas bisnis dalam skala yang lebih luas yang merupakan suatu hubungan yang saling mempengaruhi sebagai tolak ukur dari efektivitas dan efisiensi dari suatu masyarakat dalam usahanya ketika mencari kebutuhannya.[5]
Islam telah begitu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Madura. Agama telah menjadi sebuah ukuran yang bisa dikatakan sebagai sebuah barometer apa yang ia kerjakan sehari-hari. Bahkan orang Madura akan marah jika ia tersinggung soal agama. Mereka rela mati demi membela agama yang ia yakini yaitu Islam. Membela agama menurut orang Madura adalah shahid dan shahid merupakan sebuah lambang begitu terhormatnya seseorang yang menyandang gelar itu.[6]
Kyai sebagai pimpinan tradisional tentunyai mempunyai kharisma. Artinya jika ada keinginan dari kyai untuk membina ekonomi umat akan lebih mudah terealisir karena kyai sebenarnya adalah dinamisator[7] sehingga kyai mampu menjadi cultural broker bahkan mampu menjadi power broker[8] di sebuah entitas kultur kasyarakat. Dakwah kyai dengan membangun fondasi ekonomi umat sama seperti membina fondasi tauhid yang akan menyelamatkan umat dari kekafiran sebagai salah satu akibat dari kefakiran yang dideritanya. Kehidupan yang berkualitas dalam segi kebahagiaan merupakan sebuah cita-cita bersama dalam kerangka pembangunan kehidupan yang ada dan menjadi cita-cita bersama umat Islam.[9]
Kyai selama ini hanya identik dengan pemimpin agama namun sebenarnya kyai adalah uswah hasanah bagi umatnya sebagaimana para nabi, dimana kyai adalah pewaris nabi sehingga harus mampu memainkan peran itu. Namun kenyataannya banyak hal yang ironi di Madura, perekonomian kyai begitu maju namun kehidupan ekonomi umat tetap. Sebenarnya ketika kyai merupakan panutan maka kehidupan ekonomi umat harus selaras dan seimbang serta bisa mengikuti langgam berpikirnya kyai sehinggga gap diantara mereka yang terjadi tidak begitu menganga dengan lebar sekali.
Kyai bukan hanya “menguasai” pesantrennya melainkan juga merambah ke desa-desa. Seluruh problematika kehidupan masyarakat meminta penyelesaian kepada seorang kyai. Kyai tidak terasa telah menjadi tolak ukur kehidupan masyarakat. Seluruh sendi kehidupan masyarakat memerlukan jasa seorang kyai. Mulai dari proses menikah, melahirkan, aqiqah, sampai meninggal dunia tidak terlepas dari peran kyai. Tentunya kyai juga akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Madura. [10]
Fanatisme agama merupakan salah satu ciri orang Madura. Disamping itu etos kerja yang tinggi, gemar berpetualang, mandiri dan mempunyai semangat berusaha yang tinggi. Hal itu merupakan potensi ekonomi yang cukup tinggi yang dimiliki kaum Madura. [11] Sebagai orang yang gemar bermigrasi maka kaum Madura dikatakan mempunyai kesamaan dengan suku Minang bahkan dengan etnis yang kental dengan urusan bisnis yaitu Cina. Ketiga etnis itu yaitu Minang, Cina dan Madura dianggap suka migrasi dan ulet, sehingga dimanapun bisa dijumpai masakan Padang, dimanapun juga bisa dijumpai orang Madura.[12] Bahkan mereka biasanya lebih menyukai bisnis di sektor informal seperti penjual sate, masakan Padang, toko klontongan, dan lain sebagainya.
Kaum Madura tidak bisa dipisahkan dengan kyai. Hal itu tentunya akan melahirkan fanatisme agama, gejala itu bisa dilihat dari bagaimana kedekatan orang Madura dengan pimpinan informalnya yang disebut dengan kyai. Status kyai akan mempunyai kharisma yang cukup tinggi dikalangan masyarakat Madura bahkan melebihi posisi informal sekalipun. Apalagi seorang kyai yang menjadi pemangku pesantren besar di Madura dan kealimannya sudah diketahui.[13]
Progresifitas pemikiran ekonomi kyai Madura tentunya akan menjadi sebuah madhhab berpikir yang bisa dikaji untuk menambah khazanah keilmuan apalagi dalam konteks ekonomi Islam yang sedang tumbuh dengan begitu suburnya. Warna dan polesan ciri khas serta kearifan lokal yang dikandung orang Madura akan memberikan sentuhan yang dimungkinkan akan menggerakkan dinamika pemikiran ekonomi dalam konteks keindonesiaan. Agama bagi orang Madura merupakan suatu hal yang sangat pokok dan mendasar. Ia akan sangat tersinggung ketika persoalan agama disinggung. Tentunya menarik apabila dikorek dalam sisi pemikiran ekonomi Islamnya.
Pakar ekonomi Islam dalam skala nasional dari tokoh agama Islam yang dikenal dengan kyai adalah munculnya KH. Ma’ruf Amin tentunya memberikan catatan tersendiri bagi kaum sarungan. Kinerja dan aktualisasi KH. Ma’ruf Amin telah memberikan prestasi tersendiri bagi kaum muslimin sebagaimana tercantum dalam testimoni salah satu pakar perbankan syari’ah yaitu Prof. Dr. Sutan Remy Sjadeini, SH. Menurut beliau, KH. Ma’ruf Amin mempunyai prestasi ilmiah dan prestasi praktis sehingga layak diberi gelar doctor honoris causa oleh lembaga pendidikan tinggi yang berkualitas sekelas UIN Jakarta. KH. Ma’ruf Amin layak diberi gelar ahli hukum ekonomi syariah.[14]
Realitas seperti itu bisa diduga kuat sebagai fenomena gunung es, artinya banyak sebetulnya kaum kyai yang pakar di bidang ekonomi tidak terkecuali di Madura. Memang banyak praktisi ekonomi yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan di bidang ekonomi. Namun kalau diteliti lebih dalam sebenarnya kyai telah dibekali penguasaan ilmu di bidang agama yang sebenarnya bersentuhan dengan kehidupan sosial termasuk kehidupan ekonomi. Agama telah memberikan inspirasi bagi kaum kyai untuk bertindak sesuai dengan tuntunan agamanya di dalam kehidupan ini.
Dinamika kyai di Madura merupakan sebuah entitas yang unik dan menarik untuk dilakuan kajian yang mendalam, apalagi terkait dengan tema ekonomi salah satunya bisnis. Kyai di Madura sebagai sebuah entitas tentunya mempunyai sebuah dinamika tersendiri dalam ekonomi karena begitu kompleksnya masalah yang ditangani oleh kyai namun mereka masih meluangkan waktu untuk turut aktif berkecimpung dalam permasalahan ekonomi sehingga menarik untuk dikaji sebagai sebuah warna baru dalam kajian ekonomi sendiri maupun kajian tentang kyai. Atas dasar pertimbangan itulah tema di atas layak untuk diangkat sebagai sebuah kajian dalam disertasi ini.
2. Fokus Kajian
Agar pembahasan lebih terarah maka masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: pertama, Bagaiman dinamika bisnis Kyai di Pamekasan Madura? Kedua Bagaimana nilai spiritual bisnis kyai di Pamekasan Madura?
3. Signifikansi Kajian
Kajian ini tentunya mempunyai sebuah signifikansi baik dalam ranah teoritis maupun praktis. Dalam ranah teoritis, penelitian ini mempunyai signifikansi bagi pengembangan elaborasi antara relasi ekonomi dengan Islam yang memperkaya khazanah dalam ekonomi Islam, khususnya dalam konsep bisnis. Hal itu bisa dikaji dalam ranah dinamika dan nilai spiritual yang ada untuk memformulasikan sebuah tatanan baru dimasa depan tentang sebuah konsep bisnis Islam.
Sedangkan dalam ranah praktis signifikasi dari penelitian ini adalah pemetaan perkembangan ekonomi Islam di Madura karena bagaimanapun kyai adalah sebuah pihak yang berhak dan mempunyai modal yang cukup dalam mendiskusikan dan memetakan pemikiran keIslaman terutama tentang ekonomi karena para kyai merupakan pihak yang diyakini mempunyai kapasitas yang meyakinkan dalam konteks penguasaan keagamaan serta mereka mempunyai kesempatan bersosialisasi langsung serta bisa mengarahkan masyarakat. Demikian juga kajian ini akan memberikan peta baru bagi pesantren dalam kegiatannya untuk berdakwah kepada masyarakat, yang selama ini ranah ekonomi sering kali tidak mendapatkan porsi perhatian para pimpinan pondok pesantren atau kyai.
B. PEMBAHASAN
1. Dinamika Kyai dalam Bisnis Di Pamekasan Madura
Dinamika kyai dalam bisnis di Pamekasan terdapat sebuah dinamika yang menarik yaitu masuknya unsur bisnis dalam pesantren yang lebih dikenal dengan istilah ekonomi.[15] Bisnis telah menjadi sebuah kajian yang kontekstual dalam kehidupan pesantren. Tentunya hal itu dilakukan oleh actor pesantren yaitu Kyai.
Secara lebih spesifik dinamika dalam bisnis dengan mengikuti pola dinamika dari Mastuhu[16] dan Ridlwan[17] bisa dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Dinamika pada sisi actor pesantren. Ada perubahan yang cukup berarti dimana kyai merasa penting memikirkan ekonomi dari kyai sendiri dan pesantren yaitu santri dan alumninya. Disadari oleh kyai bahwa posisi kyai yang hanya memikirkan pesantren perlu di back up dengan sebuah kekuatan ekonomi sehingga ia akan fokus mengurus pesantren. Sesuai dengan pendapat Kuntowijoyo seorang kyai tidak mendapatkan gaji dari posisinya sebagai kyai. Demikian juga dinamika pada santri yang jumlahnya menembus angka ribuan mustahil mereka akan menjadi kyai atau ustad semua, sehingga mereka harus diberi bekal dengan skill atau keterampilan untuk bisa menghadapi problematika dalam kehidupan ini terutama masalah ekonomi. Kedua, Dinamika dalam soft ware pesantren. Dinamika dalam ranah soft ware adalah bisa dilihat pada perubahan materi kajian yang ada di pesantren. Materi kajian ekonomi baik secara teori maupun praktik telah menjadi sebuah kesadaran baru bagi dunia pesantren. Skill sudah diajarkan sejak dini seperti di pesantren Bata-Bata berupa pelatihan otomotif, teknik informatika, dan lain sebagainya. Bahkan dalam tataran praktik para santri bahkan alumni sudah dikenalkan dengan bisnis. Walaupun semua itu tidak menghilangkan tradisi pesantren berupa kompetensi penguasaan kitab kuning dan keahlian keagamaan yang lain. Namun dinamika dalam soft ware ini belum menyentuh perombakan kurikulum pesantren. Hal itu terlihat dalam penambahan pengayaan wawasan tentang ekonomi dan bisnis di pesantren sebagai sebuah reaksi terhadap fenomena kontekstual dari problematika dan pertumbuhan wacana ekonomi umat saat ini. Ketiga, Dinamika pada sisi hard ware. Adanya pusat latihan berupa BLK dan unit bisnis yang ada di dalam pesantren dan di luar pesantren telah menjadi sebuah keniscayaan dari perubahan pada sisi actor dan soft ware sebuah pesantren. Sehingga gedung-gedung yang ada di dalam pesantren bukan hanya masjid atau mushalla dan asrama santri melainkan sudah berdiri gedung Balai Latihan Kerja, Laboratorim otomotif berupa bengkel, bahkan unit-unit usaha bisnis telah menghiasi dan mewarnai dunia pesantren
Dengan demikian telah terjadi sebuah dinamika kyai dalam bisnis di Pamekasan Madura yang dipelopori oleh kyai sebagai sosial actor dari pesantren, dimana kyai merupakan penentu utama dari dinamika yang terjadi pada pesantren dan masyarakat. Kualitas dan kuantitas dinamika dalam bisnis yang terjadi tentunya dipengaruhi oleh kualitas kyai yang terus mengembangkan sumber daya manusia berupa wawasan dan keilmuan termasuk dalam ranah bisnis. Kyai bukan hanya memikirkan kegiatan pembelajaran keagamaan di pesantren namun kyai juga ikut aktif di dalam mencari pemecahan dari problematika keumatan khususnya di bidang ekonomi, sehingga kyai telah melakukan ijtihad baru untuk merespon problemtika umat tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai sebuah kyai dan pesantren. Hal itulah yang telah menjadi bukti dari pengamalan kaidah yang diyakini kaum kyai dan pesantren yaitu menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.[18]
Dari dinamika yang berkembang dalam dinamika kyai dalam bisnis maka kyai dan pesantren yang terjun dalam dunia bisnis dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama, Kyai bisnis, maksudnya adalah kyai berbisnis dengan modal sendiri dan hasilnya kembali kepada kyai. Kedua, pesantren bisnis, yaitu kyai berbisnis tetapi dengan modal dari pesantren sehingga hasilnya dikembalikan kepada pesantren. Ketiga, kyai dan pesantren bisnis. Maksudnya kyai dan pesantren sama-sama memiliki bisnis yang sama-sama berjalan. Milik kyai kembali ke kyai dan milik pesantren kembali ke pesantren, walaupun pengendali dari semuanya adalah kyai.
Setelah ditelusuri kondisi awal, konteks tiap kyai beragam. Hal itu lazim dalam kehidupan manusia termasuk kyai. Latar belakang serta settting keluarga walalupun dalam rumpun yang sama yakni pesantren tentunya mempunyai perbedaan di satu sisi dan kesamaan di sisi yang lain. Secara makroskopis mungkin mirip, tetapi dalam ranah yang lebih mikroskopis pasti terdapat perbedaan antara kyai yang satu dengan yang lain.
Ada yang diawali dengan kondisi keluarga, demikian juga ada memang sudah menjadi hobby setelah menjadi kyai. Dari keluarga yang kecil yang bersifat pribadi kemudian menjadi keluarga yang besar yaitu pesantren, bisnis terus digarap sebagai sebuah skill dan kesenangan yang menjadi hobbi sekaligus tuntutan. Artinya banyak faktor yang beranekaragam sebagai penyebab kyai harus dan terpaksa bahkan terpanggil untuk melakukan aktivitas bisnis.
Terlepas dari itu semua ternyata dari semua informan yang ada menyatakan hal yang sama bahwa bisnis itu hanyalah wahana dalam berikhtiyar. Sebagai sebuah sarana hanyalah sarana, sehingga penentu akhir hanyalah Allah. Semua aktivitas bisnis yang dijalankan didedikasikan sebagai sebuah bentuk ibadah kepada Allah. Diyakini bahwa semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah dan semuanya akan dikembalikan kepada Allah. Bahkan bisnis bukan hanya ibadah melainkan jihad ekonomi yang bisa disejajarkan dengan jihad fi> sabi>l alla>h untuk meniggikan kalimat Allah di bumi persada ini. Sehingga semangat dalam menjalankan bisnis harus sama dengan berjuang di jalan Allah. Jika menang akan terhormat dan jika meninggal akan mati dengan sahid.
Dengan pemetaan seperti itu maka ke depan dapat diprediksi bahwa kesadaran akan pentingnya pesantren dan kyai menggarap sektor ekonomi sebagai wahana pemberdayaan umat akan menjadi kesadaran bersama kaum kyai yang selama ini hanya sibuk dengan pendidikan pesantrennya.
Fenomena yang menggambarkan bahwa kyai hanya sibuk dengan pesrantren sebagai istana gadingnya, sementara masyarakat semakin menyingkir dari pesantren karena masyarakat sibuk dengan tuntutan ekonominya. Dengan demikian maka akan terjadi gap yang serius antara masyarakat dengan kyai dan pesantren. Hal itu ditambah lagi bahwa kyai sibuk dengan dakwahnya sementara masyarakat sibuk dengan mencari sesuap nasi sebagai pengganjal perutnya.
Kondisi seperi itu bisa didiskusikan ketika kyai mempunyai sebuah pandangan bahwa dengan alasan apapun ekonomi itu penting. Selama apapun santri menimba ilmu di pondok pesatren, ia akan kesulitan untuk mengaplikasikan ilmunya jika ia tidak sanggup menghadapi kerasnya ujian hidup ini termasuk didalamnya dalam ranah ekonomi.
Melalui pembekalan yang serius tentang bagaimana menghadapi kehidupan dengan mempunyai skill yang cukup maka santri akan menjadi anggota masyarakat yang akan mewarnai kehidupan masyarakat. Santri yang nota bene mempunyai pemahaman keagamaan tentunya akan membawa masyarakat untuk mematuhi nilai-nilai dan spirit agama. Itulah ujung tombak dari fungsi kyai dan pesantren di masyarakat.
Paradigma kyai memaknai bahwa bisnis itu hanyalah ikhtiyar atau sarana untuk menjalani hidup di dunia yang fana ini. Apalagi kehidupan dimaknai sebagaimana spirit Nabi seperti persinggaham dari dua perjalanan panjang dan subsatansi hidup merupakan cobaan. Namun mereka juga sadar bahwa dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat kelak. Bisnis yang diproyeksikan sebagai proyek akhirat akan dijalani dengan sepenuh hati.
Konsep bisnis menyatakan bahwa tujuan pertama dan utama dari sebuah bisnis adalah profit atau keuntungan. Disamping itu aktivitas bisnis mempunyai manfaat bagi orang lain.[19] Itu di setujui oleh para kyai. Artinya ini jumhur dikalangan kyai. namun berbicara keuntungan sangat relatif. Oleh karena itu konsep ‘iffah telah menjadi batasan tersendiri bagi kyai. dengan demikian kyai yang berbisnis walaupun dalam hitungan aset sampai miliyaran namun aura kesederhanaan menjadi ruh tersendiri dalam hidup dan kehidupan kyai.
Hal itu menemukan alasannya karena bisnis tujuannya adalah mencari ridla Allah semata. Bahkan semua aktivitas bisnis seberat apapun didedikasikan unuk Allah SWT. Itulah bukti kepasrahan dan ketawakkalan kyai dalam berbisnis.
Inilah sebenarnya konsep enterpreneur shariah. Adanya keseimbangan atara egoisme dalam diri dengan nilai altruistik. Keinginan mencari keuntungan yang maksimum dengan keinginan berbagai dengan orang lain, bahkan profit pada kondisi tertentu tidak dibutuhkan yang penting bisa memberdayakan orang lain.[20]
Ada tujuan yang bersifat profan sebagaimana lazimnya bisnis yang dijalankan oleh pebisnis. Namun pebisnis dari golongan kyai tujuan itu ditambah dengan tujuan yang bersifat transendental yaitu untuk bermanfaat kepada orang lain dengan memberi lapangan pekerjaan bahkan pelatihan bagi santri dan alumni agar ia mampu bertahan dan memenangkan perlombaan hidup.[21]
Melalui aktivitas bisnis kyai tidak hanya mampu memberikan ilmu agama namun mampu menyebarkan ilmu tentang bisnis sekaligus serta lapangan pekerjaan. Kyai telah memberikan yang terbaik bagi orang lain, memang yang menjadi tujuan adalah menjadi manusia yang terbaik dengan dua indikator yaitu mendahului dakwah dengan bi al-hāl sebagaimana yang diistilahkan Al Qur’an kuntum khoir al-ummah dan yang diistilahkan Nabi dengan khoir al-nās ‘anfa’uhum li al-nās. Diakui memang kyai tidak bisa keluar dari hegemoni kelompok yaitu santri dan alumninya. Namun yang penting kyai telah memberikan yang terbaik.
Bisnis merupakan pekerjaan netral. Nilai dari semua bisnis tergantung pada niatnya. Kalau bisnis hanya diorientasikan untuk kehidupan dunia berupa keuntungan maka seorang pebisnis akan mendapatkannya, namun jika bisnis diorientasikan untuk Allah dan Rasul-Nya maka ia akan memperoleh keuntungan dan ridla dari Allah SWT.[22]
Berbicara dakwah maka perlu dipahami konsep dakwah. Dakwah merupakan sebuah aktivitas untuk mendorong manusia melakukan hal yang baik dan meninggalkan yang munkar demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Demikian juga dakwah bisa dipahami sebagai usaha untuk memberikan penyadaran dan pengajaran kepada masyarakat sesuai dengan kapasitas yang dimiliki dalam hal urusan dunia dan keagamaan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.[23]
2. Nilai Spiritual Bisnis oleh Kyai Di Pamekasan Madura
Nilai spiritual bisnis yang diimplementasikan oleh kyai sekaligus sebagai pendorong secara spiritual dalam ranah bisnis bersandar pada teks Al Qur’an dan al Hadith.
Pertama, bisnis di anggap sebagai jihad mālî. Hal itu disandarkan pada Al Qur’an surat al Taubah ayat 41:
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّه
“ Berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah”[24]
Dari ayat ini menurut kiai dapat dipetakan bahwa jihad ada lima jenis jiha yaitu jihad mālî, ta’lîmî, siyāsî, qitālî dan nafs.
Untuk menguraikan lebih luas tentang jihad dan bisnis maka diperlukan sebuah pendukung konsep jihad yang dicetuskan oleh salah satu pemikir muslim yaitu Yususf Qardlawi. Ia menjelaskan bahwa definisi jihad adalah:
“jihad secara etimologi berarti mencurahkan usaha, kemampuan dan tenaga. Jihad juga berarti menanggung kesulitan.”[25]
Secara istilah kata jihad lebih diorientasikan dalam arti peperangan untuk menolong agama dan membela kehormatan umat. Ada 34 kali penyebutan kata jihad dalam Al Qur’an. Namun dalam kitab zad al-ma‘ād tulisan Ibn al-Qayyim, telah membagi jihad kedalam tiga belas tingkatan yang dikenal dengan istilah al jihād al madānî.[26]
Sebagai tuntunan shariah maka jihad perlu dilihat posisinya dalam shariah. Ajaran shariah sedikitnya dipetakan ke dalam dua jenis, yaitu pertama, thawābit yang artinya tetap dan permanen dan kedua, mutaghayyirāt yaitu shariah yang diberikan ruang dan waktu untuk berubah. Salah satu contohnya adalah konsep pemahaman tentang jihad. Shariah jihad tidak bisa dihapuskan namun cara dan aplikasinya bisa berubah sesuai dengan konteksnya.[27]
Jihad dalam konteks ekonomi telah disinggung sebenarnya oleh Ibn Al- Qayyim dalam pemetaanya yang dikenal dengan al jihād al madānî (jihad sipil). Inti dari jihad sipil adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh untuk memenuhi berbagai problematika masyarakat dan menututpi tuntutan moral dan materiilnya serta membangkitkan dalam segala lini sehingga umat bisa meraih posisinya yang berdaya dan terhormat.[28]
Jihad ekonomi dipahami sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengais rizki dengan penuh semangat dan kerja keras serta menikmati karunia Allah yang telah dianugerahkan kepada hambanya.
Diriwayatkan dari Ka’ab ibn ‘Ujrah bahwa pada suatu hari Rasulullah duduk bersama para sahabatnya. Kemudian ada seorang laki-laki dengan penuh semangat dan keuletan. Kemudian para sahabat menyatakan: seandainya ini termasuk jihad fîsabîl allāh.
Nabi bersabda: Jika dia keluar untuk bekerja untuk (keperluan) anaknya yang masih kecil berarti ia berada di jalan Allah. Jika ia keluar untuk bekerja untuk orang tuanya yang sudah tua renta berarti ia berada di jalan Allah. Jika ia keluar untuk menjaga kesucian dirinya (dari meminta-minta) berarti ia berada di jalan Allah. Dan jika ia keluar untuk pamer dan menyombongkan diri berarti ia berada di jalan setan.[29]
Pembeda bobot dan nilai dari suatu pekerjaan dalam perspektif shariah adalah ternyata terletak pada niatnya. Jika ia berniat dengan niat yag sesuai dengan niat yang dibenarkan shariah maka ia berada di jalan Allah, namun jika ia berniat tidak sesuai dengan tuntunan shariah maka ia jauh dari Allah dan berada di jalur yang justru dilaknat oleh Allah yaitu jalan setan.
Jika aktivitas bisnis diniati untuk memenuhi ekonomi yang sesuai dengan shariah baik keluarga, dirnya sendiri dan masyarakat maka hal itu termasuk sebuah jihad fîsabîl allāh. Akan tetapi jika aktivitas bisnis yang dijalankan dengan sunguh-sungguh tetapi untuk menyombongkan diri sendiri dan berfoya-foya maka ia sudah keluar dari jihad fîsabîl allāh. bahkan ia telah melaju di sabîl al-shaitān.
Sudah sangat jelas bahwa semangat dari jihad ekonomi merupakan sebuah usaha yang bisa meningkatkan dan memberdayakan perekonomian umat, dengan melakukan segala aktivitas baik yang berhubungan dengan ekonomi dan bisnis maka sesungguhnya ia berada dalam jihad fîsabîl allāh.
Apalagi jika seseorang seperti yang diimplementasikan kyai membuka peluang bisnis untuk mengurangi permasalahan keumatan seperti pengangguran meruapakan sebuah jihad di bidang ekonomi. Paradigma menciptakan pekerjaan harus dimulai oleh pihak yang dekat dengan nilai-nilai agama baik itu kyai, santri dan alumni serta masyarakat simpatisan pesantren sehingga akan melahirkan sebuah mileu yang akan menumbuhkembangkan jihad ekonomi dalam umat. Hal itu bisa membuang jauh-jauh paradigma selama ini bahwa bisnis hanyalah urusan mereka yang tidak paham agama dan anggapan bahwa kyai tidak atau haram berbisnis. Dengan demikian bisnis bukan hanya urusan dunia dengan mengejar keuntungan namun juga proyek akhirat bahkan bobotnya bisa disejajarkan dengan jihad.
Itulah sebenarnya lisān al-hāl dan da’wah bi al-hāl dari seorag kyai sebagai leader bagi umatnya. Kalau kyai mempunyai semangat jihad ekonomi maka mudah sebenarnya memobilisasi umatnya, karena kyai sebenarnya adalah penjaga nilai-nilai shariah utamanya dalam masalah ekonomi.
Kalau hal ini digaris bawahi maka akan mempunyai kekuatan yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Dengan demikian maka posisi umat yang selama ini lemah akan mempunyai bergainning yang bisa dinaikkan. Setelah ditelisisk lebih dalam sebenarnya karena faktor lemahnya ekonomi umat Islam sehingga kaum muslimin mempunyai bergainning yang lemah. Tentunya bayak faktor yang mempengaruhi posisi umat Islam pada era kontemporer ini. Namun dengan maksud tanpa ingin mengenyampingkan faktor lain seperti politik dan hukum maka faktor ekonomi mempunyai penyebab yang signifikan. Apapun istilahnya penguatan dibidang ekonomi itu dipentingkan, bukan hanya ibadah tetapi berusaha dalam ranah bisnis merupkan sebuah jihad.
Jihad ekonomi tentu akan menjadi tawaran dan proyek yang perlu dikawal karena betapa akut, kronis dan beratnya masalah keumatan khususnya di bidang ekonomi. Kalau tidak dengan istilah jihad maka dimungkinkan tidak akan ada gerakan yang bersifat “revolusi” dari umat Islam, sehingga posisi umat yang besar secara kuantitas namun miskin secara kualitas dan kapasitas khususnya dalam bidang ekonomi.
Ekonomi merupakan kunci truf untuk masuk ke dalam peningkatan faktor yang lain. Jika ekonomi seseorang meningkat maka tingkat pendidikan, kesehatan dan taraf hidupnya akan meningkat dengan sendirinya. Kalau meminjam pemetaan istilah fardu ‘ayn dan kifāyah maka ekonomi sebenarnya berada pada posisi fardlu ‘ayn, sehingga menjadi kewajiban setiap jiwa yang bernyawa untuk berjihad dalam bidang ekonomi.
Dasar ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadith sudah sangat jelas memberikan referensi sejarah betapa pentingnya perjuangan di bidang ekonnomi, dalam istilah Nabi memelihara kesucian dirinya dari meminta-minta(atau keinginan meminta-minta)[30] maka posisi ‘iffah[31] yang ditawarkan kyai akan menjadi terminal yang akan memperjelas bahwa jihad ekonomi kyai dalam berbisnis bukan untuk ajang menyombongkan diri, pamer dan kufur terhadap nikmat, melainkan untuk menjadi pelindung dari godaan dari dalam dirinya berupa keinginan dan meminta-minta kepada pihak lain serta melindungi murū’ah kyai di mata orang lain. Hal itu sesuai dengan Pernyataan Al-Ghazali yang menyatakan bahwa Niat yang dianjurkan dalam berbisnis adalah untuk menjauhkan diri dari pekerjaan dan keinginan meminta-minta kepada orang lain (al-isti’fāf), [32]
Kesederhanaan dalam nuansa kehidupannnya akan menjadi sebuah pedoman serta lentera yang akan menerangi gelapnya kehidupan. Mastuhu menjelaskan bahwa kesederhanaan merupakan nilai luhur yang dimiliki oleh kyai sebagai suri tauladan bagi semua penghuni pesantren. Kesederhanaan yang dimaksudkan berbeda dengan kemiskinan. Kesederhanaan dipahami sebagai kemampuan bersikap dan berpikir wajar, proporsional dan tidak sombong. Jadi sederhana dipahami sebagai suatu keadaan dimana seseorang berlaku dan bertindak secara wajar.[33]
Pemetaan jihad yang diajukan oleh Yusuf Qardhawi memang merupakan sebuah pemikiran yang sudah melalui perdebatan yang panjang. Kalau disederhanakan maka sebenarnya semua sektor kehidupan manusia selama dijalankan dan diusahakan dengan sungguh-sungguh karena Allah maka ia berada dalam spectrum jihad.
Gagasan dari KIAI tentang jihad mālî atau jihad dalam harta , dimana seseorang harus berjuang dengan sungguh untuk mencari harta dengan cara yang halal dan menggunakan harta di jalan Allah untuk mendapatkan ridla Allah. Pemetaan jihad semacam ini sebenarnya diperlukan untuk menciptakan sebuah titik tekan bagaimana pentingnya sebuah usaha bisnis untuk digarap dimasa depan. Di samping itu untuk mengoreksi motivasi dan niat selama mengerjakan bisnis.
Jika berbisnis sudah dianggap jihad fisabilillah maka Allah yang akan memberikan petunjuk. Mungkin inilah yang menjadi dasar bagi kyai , walaupun ia tidak sama sekali mempunyai latar belakang keilmuan bisnis, dengan niatan jihad maka jalannnya ditunjukkan oleh Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah yang bisa dipahami bahwa barag siapa yang berjuang dijalanku maka aku akan memberikan petunjuk kepada jalan-jalanku (yang diridoiku).
Dengan demikian konsep jihad yang ditegaskan oleh kiai mempunyai kesamaan dengan konsep jihad ekonomi dari Yusuf Qardkawi yang mengadopsi al-jihād al-madāni dari Ibn Qayyim. Perbedaan istilah yang digunakan dipengaruhi dari pemetaan yang dilakukan oleh beberapa pencetus konsep jihad tersebut. Sehingga bisa dikatakan bahwa gagasan kiai merupakan bentuk lain dari apa yang sudah dicanangkan pencetus sebelumnya.
Kedua, kepasrahan total tentang hidup ini dengan semua aspek kehidupannya termasuk bisnis kepada Allah SWT. Nilai ini dilandaskan pada al Qur’an yang berbunyi:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Dalam edisi lengkapanya ayat tersebut berbunyi:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ () الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan lafad: innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.[34]
Pemahaman dari konsep ini dalam teks ayat yang lengkap merupakan sebuah mental dari sifat sabar terhadap semua ujian hidup. Dalam konteks binsis tentunya ketika seseorang menjalankan bisnis maka banyak resiko dan tantangan yang akan dihadapi. Berdasarkan mental itu maka ia akan siap dengan segala resiko yang akan dihadapinya.
Etika bisnis mengajarkan bahwa jika berhasil maka ia akan bersyukur ketika gagal maka ia akan bersabar. Jika seseorang sudah mampu bersabar dan bersyukur maka ia telah mempunyai kedua sayap yang mampu terbang kemana ia sukai. Ada kaidah bahasa arab yang menjelaskan Al-shukr wa al-sabr ka al-janāhayn li al-tôir (syukur dan sabar seperti kedua sayap bagi seekor burung, dengan kedua sayap tersebut maka burung bisa terbang kemana yang ia sukai).
Dengan mental yang penyabar dan sudah siap dengan segala resiko maka ia akan menjalani bisnis dengan penuh optimis jauh dari sifat putus asa. Apalagi bisnis hanya dipandang sebagai wahana bukan tujuan. Tujuan akhirnya adalah ridla Allah SWT.
Sikap pantang menyerah dan bersabar dengan kesiapan menghadapi segala kemungkinan dalam dunia bisnis akan menjamin bisnisnya bisa eksis. Ia telah menjalankan bisnisnya dengan sungguh-sungguh karena Allah maka Allah yang akan memberikan petunjuk agar ia melalui jalan yang terbaik dalam menjalankan bisnisnya. Sabar di yakini merupakan separuh dari iman, artinya iman seseorang sangat tergantung kepada kesabarannya menjalankan hidup, termasuk bisnis yang penuh dengan cobaan dan godaan. Sebagai seorang mukmin harus bersabar, dan hal itu akan memukan kontestasinya dalam dunia bisnis ketika ia sabar dalam menjalankan bisnis.
Ketiga, nilai bahwa pekerjaan yang terbaik adalah yang dihasilkan oleh tangannya sendiri. Hadith yang dijadikan dasar adalah :
عمل الرجل بيده
Sebenarnya redaksi yang lengkap dari hadith di atas adalah:
أي الكسب اطيب؟ قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور
Ketika Nabi ditanya, pekerjaan apa yang paling baik? Nabi menjawab pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur. Hadith Riwayat Al-Bazza>r dan sahih menurut Imam Hakim .[35]
Bukan sebuah kebetulan ternyata hadith tersebut menggandengakan perbuatan dengan tangan dengan transaksi bisnis. Artinya setiap bisnis yang dijalankan dengan cara yang baik merupakan sebuah pekerjaan yang terbaik. Apalagi jika dipadukan dengan penanganan dengan tangan sendiri. Bisa dipahami bisnis bukan hanya retorika namun memerlukan keberanian untuk berbuat dengan tangannya sendiri. Bisnis tidak pernah terwujud tanpa dikerjakan. Inilah sebenarnya motivasi dan spirit dari hadith di atas.
Menurut Imam Nawawi yang dimaksud dengan kasab (pekerjaan ) yang terbaik adalah sesuatu yang dihasilkan oleh tangan, seperti pertanian karena memang terkandung tawakkal kepada Allah dan bermanfaat untuk umum.[36]
Semua sektor yang bermanfaat bagi umum sebagaimana bisnis yang dijalankan merupakan sebuah usaha yang baik menurut shariah. Ini senada dengan konsep bisnis yang menekankan bahwa produksi barang dan jasa merupakan sebuah pekerjaan yang harus bermanfaat bagi manusia.
Ketiga landasan spiritual tersebut sebenarnya hanyalah merupakan sampel dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Artinya sebenarnya kyai yang nota bene sebagai pewaris Nabi telah meletakkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai pegangan yang utama dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Dengan berpegang teguh kepada kedua hal itu maka hidupnya tidak akan tersesat.
Hal itu sepertiapa yang disampaikan nabi:
تركت فيكم أمرين ما ان تمسكتم بهما لن تضلو ابدا كتاب الله و سنة رسوله
Bisnis sebagai wahana dalam hidup dan kyai sebagai pewaris Nabi sudah sangat panstas jika orientasi bisnis dari kyai harus bersumber dari spirit kitabullah dan sunnah Nabi. Dengan demikian maka nilai spiritual itu sebenarnya adalah Living Al-Qur’an atau dikenal da’wah bi al-hāl. Sebagai sebuah dakwah maka tentunya sarat dengan ajaran dan nilai didalamnya.
Aktivitas bisnis yang dilakukan oleh kyai sebenarnya merupakan sebuah implementasi dari apa yang ada dalam alam pikiran kyai. sesuai dengan konsep worldview yang menyatakan bahwa worldview sebuah keberlangsungan hidup, perubahan sosial dan moral yang diimplementasikan oleh seseorang merupakan sebuah gerakan yang dimotori dan dikendalikan oleh apa yang menjadi kepercayaan, perasaan dan cara pandang yang tertuang dalam pikirannya.[37] Dengan demikian worldview menjadi asas dari setiap perilaku manusia termasuk dalam aktivitas ilmiah dan teknologi, sehingga untuk melacak aktivitas manusia dapat dilacak dalam pandangan hidupnya.[38]
Selaras dengan konsep worldview kegiatan bisnis yang dilakukan oleh kyai bisa dilacak dari pola piker kyai. Kegiatan bisnis yang dilakukan dengan penuh kesabaran, ulet, istiqamah, konsekwen dan pantang menyerah merupakan sebuah fenomena yang bisa dijadikan sebagai sebuah epoche dalam kajian fenomenologi. Dalam epoche inilah bisa dilihat karakter asli dari bisnis yang dijalankan oleh kyai.
Kondisi yang demikian kemudian didialektikkan dengan spiritual kyai yang diinspirasi oleh prinsip-prinsip shariah. Dialektik itulah yang menjadikan bisnis yang dilakukan oleh kyai menjadi sebuah bisnis yang mempunyai ciri khas dan unik sehingga berbeda dengan bisnis yang dilakukan oleh pebisnis yang lain.
- 3. Bisnis oleh Kyai dalam Pandangan Weber
Dari uraian di atas maka dapat di sederhanakan bahwa nilai spiritual dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh kyai di Pamekasan adalah jihad ekonomi (jihad mālî>), ‘iffah dan da’wah bi al-hāl.
Untuk menganalisis nilai spiritual tersebut maka bisa didekati dengan menggunakan teori nilai dari Max Weber tentang etika protestan dan semangat kapitalisme. Teori Weber ini sangat lumrah digunakan untuk melihat relasi antara agama dengan bisnis.
Agama dalam pandangan Weber mempunyai posisi yang determinan terhadap kehidupan seseorang. Hal itu terjadi pada kyai. Agama telah menjadi urat nadi kyai. Pesantren didirikan salah satu untuk tujuan utamanya adalah untuk membentengi agama, bahkan pesantren dikenal sebagai lembaga yang menjadi benteng untuk mendidik seseorang menjadi penganut agama yang berkualitas.
Semua lini kehidupan kyai harus sesuai dengan prinsip-prinsip shariah, termasuk kegiatan bisnisnya. Sudah jelas bahwa kegiatan bisnis kyai didasari oleh landasan spiritual yang bersumber dari Shariah.
Dalam pandangan yang lain Weber melihat bahwa agama dengan ekonomi mempunyai hubungan yang kausatif. Artinya agama mempunyai pengaruh terhadap ekonomi seseorang, namun masih ada faktor lain yang mempengaruhi kehidupan ekonomi seseorang. Hal itu bisa dilihat pada penelitian Muhtadi di Malang terhadap pengrajin tempe. Dalam kontek kyai di Pamekasan, juga terjadi hal yang sama. Akan tetapi bukan dipengaruhi oleh tingkat pemahaman keagamaan namun pemahaman keagamaan dari kyai telah melahirkan sebuah pandangan bahwa bisnis itu hanyalah ikhtiyar, bukan tujuan akhir. Sehingga walaupun ada faktor lain selain agama namun agama tetap menjadi faktor yang dominan bagi kyai yang mempengaruhi kehidupan bisnisnya.
Etika Protestan dari Weber juga menyatakan bahwa prestasi seseorang di dunia itu melambangkan “pilihan” Tuhan kepada seseorang. Artinya orang yang berprestasi dalam kehidupan materinya berarti ia merupakan pilihan Tuhan. Inilah perbedaan yang sangat signifikan dengan pandangan kyai. hal itu disebabkan oleh perbedaan antara Islam sebagai agama dari kyai dengan Protestan sebagai sebuah agama yang dijadikan kajian dalam tesis Weber. Dalam pandangan Islam sebagaimana diyakini bahwa prestasi dalam kehidupan dunia berupa kesuksesan bisnis misalnya bukan merupakan jaminan posisi seseorang di sisi Tuhan. Akan tetapi yang menjadi jaminan kemuliaan seseorang di sisi Allah SWT hanyalah tingkat ketakwaanya kepada Allah SWT.
Djakfar setelah menggunakan teori dasar dari Weber berhasil memetakan tipologi dialektika etika pada pedagang buah di Malang. Salah satu dari kelompok pedagang adalah adanya pedagang yang masuk ke dalam kelompok jujur yang meyakini bahwa bisnis itu adalah ibadah sehingga harus mematuhi etika yang bersumber dari nilai-nilai agama yang diyakininya yaitu Islam. Sedangkan kyai di Pamekasan juga meyakini bahwa menjalankan bisnis itu adalah ibadah. Namun kyai meyakini bisnis bukan hanya ibadah melainkan jihad. Dengan demikian bisnis harus dijalankan dengan konsep jihad, yaitu berjuang dengan sungguh-sungguh dengan segenap hati serta mengeluarkan semua kompetensi yang terbaik. Tujuan akhirnya adalah rid}a> dari Allah SWT sebagai konsekwensi dari niat menjalankan bisnis sebagai sebuah perjuangan fi sabilillah.
Ada beberapa peneliti yang menolak teori Weber tentang etika Protestan seperti Sobary dan Irwan Abdullah. Menurut hemat penulis para peneliti tersebut menolak teori Weber dalam ranah prosedurnya. Hal itu disebabkan perbedaan antar agama yang tentunya setiap agama mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Namun dalam kapasitas sebagai sebuah agama yang secara substansi mempengaruhi penganutnya di dalam menjalankan kegiatan ekonomi maka tidak ada satupun peneliti yang menolak adanya pengaruh agama yang diyakini seseorang ternyata memberikan pengaruh sekaligus pedoman bagaimana ia menjalankan kegiatan ekonominya, kecuali bagi seseorang yang anti terhadap kebenaran agama.
C. PENUTUP
Dinamika yang terjadi dalam bisnis kyai di Pamekasan merupakan sebuah dinamika yang terjadi pada seluruh sisi pesantren baik actor, soft ware dan hard ware dari sebuah pesantren, dimana kyai adalah penentu dari dinamika termasuk dalam bisnis. Kyai dan pesantren yang terjun dalam dunia bisnis dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: Kyai bisnis, Pesantren bisnis, dan kyai dan pesantren bisnis. Semua lahan bisnis bisa digarap oleh kyai.
Nilai spiritual dari bisnis yang dilakukan oleh kyai di Pamekasan adalah sebuah nilai berlandaskan pada landasan spiritual yang mewarnai gerakan bisnis kyai adalah kristalisasi dari ‘aqîdah, syarî‘ah, dan akhlâq yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang meliputi Jihad ekonomi, ‘ifffah dan bisnis sebagi gerakan da’wah bi al-hāl. Semua nilai tersebut ditentukan dan dipengaruhi oleh Islam sebagai agamanya.
Wa allāh al-a‘lam bi al-sawāb.
DAFTAR PUSTAKA
Apartanto, Pius. dan M. Dahlan Al Bary. (2001) Kamus Ilmiah Popular. Surabaya: Arkola.
Aziz, Moh. Ali. (2004) Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana.
Bellah, Robert N. (1991). Beyond Belief: Essays On Religion In A Post Traditionalism World. Berkeley lord Los angles: University of California.
BPS Kabupaten Pamekasan. (2012) PDRB Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Pamekasan. Pamekasan: Multi Mitrasasata.
Ching, David CL. (2002) Sukses Cina Perantauan, ed. Rahayu Ratna Ningsih dan Budi Kurniawan. Jakarta: Tajidu press.
Departemen Agama RI. (1984) Al Qur’an Dan Terjemahnya. Suarabaya: Jaya Sakti.
Dhofier, Zamakhsyari. (1982) Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Djakfar, Muhammad. (2007) “Agama Etos Kerja Dan Prilaku Bisnis; Studi Kasus Etika Bisnis Pedagang Buah Etnis Madura Di Kota Malang”, Disertasi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
Effendi, Bachtiar. (2001) “ Pertumbuhan Etos Kerja Kewirausahaan Dan Etika Bisnis Di Kalangan Muslim:, dalam Effendi, Masyarakat.
------- (2001) Masyarakat Agama Dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press.
Al-Ghazālî, Abū Hāmid bin Muhammad. (1964) Ihyā’ ‘Ulūm al-Dîn, Juz II. Mesir: Maktabah Nahd}ah,.
Hasan, Ali.(2009) Manajemen Bisnis Syari’ah; Kaya Didunia Terhormat Diakhirat. Yogyakarta: Pustaka PelajaR.
Kuntowijoyo. (2002) “Social Change in an Agriculture Society: Madura 1850-1940”. Disertasi, Universitas Columbia New York. Terj. M. Effedndi dan P. Amaripuja, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris. Madura 1850-1940. Yogyakarta: Matabangsa.
Mastuhu. (1994) Dinamika Sistm Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta:INIS.
al-Munāwî, (tt) ‘Abd al-Raūf. Fayd al-Qadîr Sharh Jāmi’ al-Saghîr, Juz V . Beirut: Dār al-Ma’rifah.
[1] Islam sebagai agama merupakan salah satu alat untuk memahami fenomena dunia. Salah satu dari fenomena dunia adalah ekonomi. Sehingga konsep Islam mempunyai potensi untuk memahami bagaimana mengkaji ekonomi yang dijalankan oleh pemeluknya terutama kyai sebagai elit dalam agama Islam. Lihat Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essays On Religion In A Post Traditionalism World (Berkeley lord Los angles: University of California, 1991), 146.
[2] Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama Dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 7.
[3] Bahkan wacana islamisasi dibidang ekonomi dimungkinkan telah menjadi melting pot antara kapitalis dengan kaum agamawan, walaupun dalam pertemuannya itu apakah seperti air dan minyak ataukah seperti gula dan kopi. Sebagai sebuah diskursus hal itu akan menjadi sebuah babak baru dalam perkembangan sebuh gagasan baik Islam maupun konvensional.
[4] Sebagaimana ditegaskan oleh KH. Ma’ruf Amin yaitu “biarlah ekonomi Islam tumbuh bergandengan dengan ekonomi konvensional dan masyarakat yang akan menilainya”.
[5] Pengertian ini menurut Nimpoena. Lihat Ismail Nawawi, Islam Dan Bisnis; Pendekatan Ekonomi dan Manajemen, Doktrin, Teori dan Praktik (Surabaya: vivpress, 2011), 3. Sedangkan arti sempit bisnis seperti sudah diterangkan di atas adalah sebuah perdagangan.
[6] Sunyoto Usman, Suku Madura Yang Pindah Ke Umbul Sari (Madura III) (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Pendidikan Tinggi DEPDIKBUD, 1979), 374.
[7] Dinamisator dipahami sebagai sebuah pihak yang mampu memahami sesuatu yang bersifat kompleks dan rumit kemudian hal itu dicerna sehingga mudah untuk dipahami pihak lain. Dalam hal ini tentunya ada sebuah filter (penyaringan).
[8] Istilah ini diperkenalkan oleh Cliffort Gertz. Bandingkan dengan Kuntowijoyo. “Social Change in an Agriculture Society: Madura 1850-1940”. Disertasi, Universitas Columbia New York. Terj. M. Effendi dan P. Amaripuja, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris. Madura 1850-1940. (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), 593.
[9] Sebagaimna selalu termaktub dalam doanya: fi al-dunyā hasanah wa fi al-akhirat hasanah wa qinā ‘adāb al-nār. sebuah dambaan dan cita-cita agar mempunyai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
[10] Abd. Halim Soebahar dan Hadanah Utsman, Hak Reproduksi Perempuan Dalam Pandangan Kiai (Yogyakarta: Pusat penelitian kependudukan UGM , 1999), 18-19.
[11] Bachtiar effendi, “ Pertumbuhan Etos Kerja Kewirausahaan Dan Etika Bisnis Di Kalangan Muslim:, dalam Effendi, Maysrakat.. 195-219.
[12] David CL ching, Sukses Cina Perantauan, ed. Rahayu Ratna Ningsih dan Budi Kurniawan, (Jakarta: tajidu press, 2002), 94-115.
[13] Iik Arifin Mansurnoor, Islam in an Indonesian World Ulama of Madura (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), 4.
[14] Testimoni doktor KHMA oleh Prof. Dr. Sutan Remy Sjadeini, “ Testimoni pemberian gelar Doktor HC kepada KH Ma’ruf Amin” dalam www.uinsyahid.ac.id (16 Mei 2012).
[15] Seperti komentar KHMH, apapun istilahnya ekonomi di butuhkan.
[16] Mastuhu, Dinamika Sistm Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian Tentang Unsure dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta:INIS, 1994), 25.
[17] Ridlwan Nasir, Mencari Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Di Tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),11.
[18] Ibid., 330.
[19] Lihat Sawaldjo Puspopranoto, Manajemen Bisnis; Konsep, Teori Dan Aplikasi (Jakarta: PPM, 2006), 1 dan 9.
[20] Roziq Ahmad, “Etika Bisnis Islami” (Disertasi, UNAIR Surabaya Tahun 2010.34-35.
[21] Hadith yang berbunyi:
خير المواهب العلم والكسب
[22] Sesuai dengan hadith yang mashur yaitu: إنما ألأعمال بالنيات
[23] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), 14.
[24] DEPAG, Al Qur’an…, 285.
[25] Yusuf Qardhawi, Fiqh Jihad: Sebuha Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut Al Qur’an dan Sunnah, terj, Irfan Maulana Hakim dkk (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), lxxv.
[26] Ibid., Fiqh, lxxv.
[27] Ibid., Fiqh, xxxvi.
[28] Ibid., Fiqh, 148-149.
[29] HR Al-T}abrani dalam kitab al-sawîr, juz 2 halaman 248. Bandingkan dengan al-kabîr juz 19 halaman 129.
[30] Dalam istilah Al Qur’an dikenal ada istilah sāil dan mahrūm, yaitu orang miskin yang berhak terhadap zakat baik di meminta (sāil ) atau ia tidak meminta (mahrūm).
[31] Abū Hāmid bin Muhammad al-Ghazālî, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dîn, Juz II (Mesir: Maktabah Nahd}ah,1964), 84.
[32] Ibid.
[33] Mastuhu, Dinamika, 63.
[34] DEPAG, Al Qur’an, 39.
[35] Musnad Ahmad Juz 4 no 141.
[36] Al-San’ānî, Subul al-Salām, juz 3, (Madinah: Dar al-Hadîth 1990),7.
[37]Lihat Hamid Fahmy Zarkasy, “Worldview Islam; (Asas Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer” dalam http://xa.yimg.com/kq/groups/22099150/188036894 (10 Agustus 2014).
[38] Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Alparslan tentang definisi dari konsep worldview. Ibid.