Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

Macapat (Macopat) di Madura, Antara Ada dan Tiada

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Senin, 30 Mei 2016
  • Dilihat 258 Kali
Bagikan ke

Ditulis oleh. Ahmad Faizal Amin Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAIN Pamekasan

Macapat merupakan sebuah istilah yang sangat asing bagi kalangan pemuda di jaman sekarang, sudah jarang sekali atau dapat dikatakan tidak ada kalangan pemuda yang mengetahui hal tersebut, padahal istilah ini sangatlah populer di era 90-an. Sekarang, macapat hanya sekedar dikenal oleh orang-orang tertentu saja, seperti orang-orang yang masih menjaga nilai budaya dan kesenian serta orang-orang yang masih hidup dari era 90-an sampai sekarang.

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. Macapat di Madura lebih dikenal dengan istilah macopat yang mana pembacaan tembangnya lebih mengutamakan pada cengkok, karena memang tradisi ngejung lebih diperindah oleh cengkok pada sebuah syair atau kata-kata, dan hal ini masih banyak dilakukan oleh orang-orang Madura di bagian timur (Sumenep).

Namun, macapat di Madura sudah tidak seperti pada masa dulu lagi, dimana setiap malam pasti ada sekumpulan orang yang melakukan macapat. Saya sempat teringat, dulu ketika ingin tidur di malam hari pasti diiringi alunan-alunan tembang macapat yang kalau didengarkan agak sedikit horor, namun dibalik itu semua betapa indahnya nilai-nilai dan kandungan-kandungan yang terdapat dalam tembang macapat. Tapi, pada saat ini macapat hanya dilakukan di acara-acara tertentu saja, seperti pernikahan, tasyakkuran, atau perkumpulan-perkumpulan yang hanya dilakukan 1 bulan sekali, itupun hanya di daerah tertentu saja. Hal inilah yang menyebabkan macapat dianggap ada dan tiada, karena pemudanya saja sudah tidak banyak mengetahui hal tersebut.

Dari kejadian ini, sebenarnya banyak yang perlu diperhatikan dalam macapat, diantaranya regenerasi agar tradisi ini tidak punah dan bisa diteruskan bahkan dikembangkan oleh generasi berikutnya, namun apakah ada yang ingin dijadikan regenerasi?. Pertanyaan ini sangat menghawatirkan, karena saya sempat menemukan di Desa Talasah Pamekasan, yang terkumpul dalam anggota macapat hanya tinggal 4 orang yang sudah berumur 50-70 tahun dan setelah ditelusuri ternyata tidak ada generasi yang ingin mempelajarinya, bahkan dari keluarga 4 orang tersebut. Lantas, bagaimana nasib macapat di masa mendatang?. Tapi, ada sebuah keyakinan dari salah satu anggota tersebut bahwa macapat akan banyak dicari dan dibutuhkan lagi dalam 10 atau 20 tahun mendatang.