Fenomena Musik Dugem pada Malam Takbiran
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Selasa, 20 September 2016
- Dilihat 95 Kali
*Oleh : Achmad Muhlis
Perayaan malam takbiran merupakan sebuah momentum penting di mana seluruh alam semesta akan terdengar “Allahu Akbar”, karena seluruh pelosok bumi mengumandangkan takbir dan tahmid untuk mengagungkan Sang Khaliq pencipta alam semesta. Sungguh malam yang sangat istimewa, malam yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam yang “taat”.
Malam takbiran hanya dapat dirayakan dua kali dalam setahun. Pertama, terjadi di penghujung bulan suci Ramadhan yang juga menjadi pertanda telah berakhirnya ibadah puasa yang berarti pula telah tiba hari kemenangan yaitu Hari Raya Idul Fitri. Hari yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh umat Muslim di dunia, tidak terkecuali di Madura.
Kedua, malam takbiran terjadi pada malam tanggal 10 Dzulhijjah yang juga dikenal yaumun nahri. Di saat itu, umat Muslim seluruh di dunia sedang atau siap-siap untuk melakukan lontar jumrah aqabah, setelah melakukan wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah.
Dalam merayakan malam tersebut ada begitu banyak macam cara yang biasa dilakukan mulai dari takbir keliling dengan pawai mengililingi penjuru kota menggunakan kendaraan mobil yang dilengkapi dengan hiasan lampu kelap-kelip. Tidak mau ketinggalan juga motor beriringan dengan knalpot yang dinyaringkan membuat bising telinga sambil mengumandangkan takbir dan tahmid dengan menggunakan pengeras suara, takbir berjamaah di setiap masjid-masjid, mushalla sampai membuat acara sederhana “kumpul-kumpul”, bersenda gurau dan lain-lain di rumah bersama keluarga tercinta.
Malam takbiran ini biasanya juga ditandai dengan terdengarnya suara gemuruh berbagai jenis petasan, meriam bambu, kembang api dan lain-lain. Serta seluruh kota maupun desa akan diterangi dengan cahaya ledakan petasan, kembang api atau pun meriam bambu yang menyinari indahnya langit ketika malam takbiran itu tiba.
Namun, baru-baru ini malam takbiran di kota berjuluk Garbang Salam juga mulai diramaikan dengan musik dugem (dunia gemerlap) yang menggunakan sound system besar di pinggir jalan dengan alunan musik rok, DJ dan lain-lain, serta dilengkapi dengan joget erotis. Pada malam itu sudah tidak lagi menggambarkan malam takbiran yang penuh hikmah, malam yang sakral, malam yang ditunggu-tunggu umat Islam untuk meningkatkan kualitas keimanannya dengan bertakbir dan bertahmid. Itu terjadi karena ulah sekelompok kecil masyarakat yang tidak atau belum paham akan makna, dan esensi malam takbiran yakni untuk bertakbir dan bertahmid bukan untuk hura-hura, apalagi dengan cara-cara yang tidak etis, melanggar norma dan adat ke-timur-an yang dapat merubah makna substantif malam takbiran dengan diperdengarkannya musik ala dugem.
Hal itu sangat menyakitkan dan “menyesakkan dada” umat Islam yang “taat” akan aturan dan norma agama karena pada malam itu seharusnya dimanfaatkan untuk mengangungkan Sang Khaliq dengan cara memperbanyak takbir dan tahmid baik di tempat ibadah maupun di jalan-jalan.
Tetapi, kenapa fenomena itu terjadi terus menerus, sehingga dibenak penulis muncul beberapa pertanyaan yang cukup serius untuk disampaikan, apakah pemerintah sudah tidak lagi memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menghentikan fenomena ini? apakah sudah tidak ada lagi yang peduli dengan etika, adat dan norma? lalu siapa yang harus dan bisa menghetikannya? atau memang ada hal lain yang lebih penting untuk diselesaikan? atau fenomena musik dugem pada malam takbiran ini, dianggap hal “biasa” dan dianggap tidak mempengaruhi apa-apa terhadap pembentukan karakter generasi penerus bangsa? atau pemerintah takut dianggap tidak populer?.
Berbulan-bulan pertanyaan ini muncul dan timbul, karena penulis tidak memiliki wewenang dan otoritas yang cukup memadahi untuk menghentikannya, kecuali hanya dengan tulisan “opini” ini. Padahal menurut pandangan penulis, pemerintah memiliki kekuasaan, memiliki otoritas “memiliki segalanya” untuk menghentikannya.
Talcott Parsons sebagaimana dikutip oleh Mariam Budiardjo yang cenderung melihat kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif dengan jalan membuat keputusan-keputusan yang mengikat didukung dengan sanksi negatif. Dalam perumusannya, Talcott Parsons mengatakatan, bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.
Teori ini dimungkinkan oleh pemerintah (para pembuat kebijakan) dijadikan dasar untuk “menekan, memaksa dan menghentikan“ fenomena musik dugem pada malam takbiran yang dilakukan oleh sekelompok kecil masyarakat yang dapat “mengganggu” sakralitas malam takbiran di Bumi Gerbang Salam.
Apakah hanya pemerintah yang memiliki kewajiban “kekuasaan dan otoritas” untuk mengubah fenomena baru ini yang melenceng dari aturan syariat agama?. Tokoh masyarakat juga memiliki peran yang tidak kalah pentingnya untuk berusaha meluruskan, fenomena musik dugem pada malam takbiran ini. Apakah para orang tua juga tidak punya kewenangan untuk menghentikan fenomena musik dugem pada malam takbiran?. Seyogianya orang tua merupakan unsur terdekat dan terpenting dalam merubah pola pikir, prilaku dan paradigma masyarakat di sekitarnya.
Fenomena ini akan terjadi terus menerus tanpa henti dan berkelanjutan, jika ada pembiaran dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kewajiban, kewenangan dan otoritas untuk menertibkan dan mengarahkan sekelompok kecil masyarakat ini ke dalam sebuah kegiatan yang lebih bermakna, bermartabat dan mendidik. Hal ini sejalan dengan teori exchange, secara garis besar dapat dikembalikan kepada tiga proposisi George Homan berikut.
Pertama, jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkah laku atau kejadian yang mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan. Ini artinya jika fenomena musik dugem dibiarkan atau ada pembiaran oleh pemerintah, tokoh masyarakat ataupun orang tua, maka fenomena ini akan terjadi terus menerus tanpa henti dan tanpa ada ujungnya serta terus akan berkembang pada fenomena lainnya, naudzubillah min dzalik. Karena ketiganya (pemerintah, tokoh masyarakat dan orang tua) memiliki kewenangan dan otoritas yang sama untuk mengarahkan atau mengalihkan atau merubah menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih produktif, bermakna dan mendidik.
Kedua, makin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya. Artinya jika fenomena musik dugem ini dianggap sebagai penyimpangan etika, adat dan dianggap melenceng dari norma agama, sehingga semua pihak baik pemerintah, tokoh masyarakat mapun orang tua sama-sama memberikan sanksi moral “sosial”, misal, orang tua melarang anaknya terlibat dalam fenomena ini, tokoh masyarakat dengan kewenangan dan otoristasnya juga melarang untuk tidak melakukan serta membuyikan musik dugem di malam takbiran, pemerintah juga menyiapkan regulasi untuk mengantisipasinya atau menerapkan perdanya dengan tegas dan bijaksana sesuai dengan kewengan dan otoritasnya jika sudah ada regulasi.
Ketiga, makin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Proposisi George Homan ini, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Herbert Blumer (1962), seorang tokoh teori Interaksionisme Simbolik, yang menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain.
Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu, diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dan tindakan masing-masing. Jadi dalam proses interaksi manusia itu bukan suatu proses dimana adanya stimulus secara otomatis dan langsung menimbulkan tanggapan atau respon. Tetapi stimulus yang diterima dan respon yang terjadi sesudahnya, diantarai oleh proses interpretasi oleh si aktor. Jelas proses interpretasi ini adalah proses berpikir yang merupakan kemampuan khas yang dimiliki manusia.
Dengan demikian, merujuk pada proposisi George Homan yang ketiga dan teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer (1962), maka pemerintah, tokoh masyarakat dan orang tua, segera merespons dan mengambil langkah tegas dan konkrit menanggapi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, tetapi jika tanpa adanya tindakan hukum, atau tindakan sosial yang nyata, maka suatu saat nanti akan muncul perlawanan dari masyarakat lainnya yang merasa dirugikan dengan fenomena musik dugem ini, yakni “menghentikan dengan caranya sendiri”, karena sudah dianggap melengceng dengan etika, adat, moral dan norma agama yang berlaku di kota gerbang salam ini serta karena pemerintah sudah tidak lagi memiliki kewibawaan untuk menghentikan fenomena ini. Walaupun sebetul hal ini tidak perlu terjadi, jika semua pihak merespon fenomena ini dengan cepat, tepat dan cerdas. Inilah yang George Homan sebut sebagai konsep keadilan relatif (relative justice). Wallahu a’lam bis shawab. Penulis adalah Dosen STAIN Pamekasan dan peserta Program Doktor Universitas Muhammadiyah Malang
Sumber : http://mediamadura.com/fenomena-musik-dugem-pada-malam-takbiran/