Merosotnya Moralitas di Kalangan Mahasiswa Era Milenial
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Rabu, 30 Mei 2018
- Dilihat 208 Kali
Oleh: Ismail Al-Faruqy*
Hal yang sangat menarik jika berbicara tentang kampus adalah bagaimana kehidupan anak kampus atau mahasiswa. Seluk-beluk kehidupan mereka memang menarik untuk diselami sedalam mungkin bagi orang-orang yang belum pernah mencicipi dunia kampus. Terutama bagi mereka seakan-akan selalu bertanya dan mencari informasi seputar dunia kampus, khususnya bagi para orang tua yang sudah menempatkan buah hatinya pada suatu kampus.
Gambaran tentang rasa penasaran orang tua di atas tentu bukan hanya sekadar drama. Rasa penasaran orang tua tercermin dari bagaimana mereka selalu menanyakan kabar buah hatinya di kampus dan bagaimana kehidupan kampus tersebut. Hal seperti itu bukan lantas berarti orang tua tidak memberi ruang kepada anaknya untuk mandiri. Karena yang dilakukan oleh mereka tak lebih dari wujud rasa takut sang buah hati terjerumus dalam pergaulan yang salah, akibat salah memilih pergaulan dan lingkungan yang ada di sekitar kampus.
Ya, begitulah kampus, di mana kebaikan dan keburukan menjadi sebuah keniscayaan. Jika kita salah langkah_terjerumus ke dalam pergaulan bebas, maka siap-siaplah untuk masuk dalam sebuah lingkaran setan. Tapi jika jalan yang kita pilih benar, maka langkah kita tetap berada dalam ridha Tuhan.
Lalu seperti apakah lika-liku kehidupan kampus itu? Di sini akan dijabarkan bagaimana kehidupan anak kampus yang masuk dalam lingkaran setan. Musabab dari merosotnya nilai moral. Tapi meskipun demikian, kita tidak boleh memandang sebelah mata, apalagi menganggap kampus memberi dampak buruk.
Kampus adalah tempat belajar sekaligus menjadi peralihan seorang anak yang tadinya bergelar siswa menjadi mahasiswa. Melihat dari definisi tersebut, kampus tergambar sangat elok dan sangat begitu indah. Hal demikian dikarenakan kampus akan mencetak seseorang yang mempunyai berbagai keahlian khusus dan nantinya juga mempunyai banyak disiplin ilmu. Maka perlulah kiranya kita acungi jempol dan berikan apresiasi yang begitu besar pada kampus. Lalu bagaimana dengan warga (baca: mahasiswa) yang ada di dalam lingkup kampus? Apakah mereka juga pantas diberikan jempol dan apresiasi yang begitu besar? Tentunya kita harus melihat dulu kondisi dan kualitas dari warga kampus. Jika memang mempunyai kualitas yang bagus, maka wajib diberikan apresiasi yang cukup.
Gelar mahasiswa bagi warga pelajar kampus memang sangat luar biasa. Karena dengan kata ‘maha’ dalam nama itu, seolah menyamai nama-nama Tuhan saat diucapkan. Namun hanya karena sudah mempunyai gelar ‘maha’ yang seakan-akan sejajar dengan gelar Tuhan, bukan lantas mahasiswa mempunyai kelebihan selayaknya Tuhan. Kata ‘maha’ tersebut berarti daya berpikir dan pengetahuan mahasiswa sudah di atas pola pikir seorang siswa. Itulah maksud dari gelar ‘maha’ yang diberikan pada mahasiswa.
Sayangnya, mahasiswa hari ini telah banyak terjerumus dalam pergaulan yang salah. Tentu saja hal tersebut tak hanya akan membuat langkah dan daya pikir mahasiswa sedikit terganggu, tetapi membuat gelar ‘maha’ sendiri jadi tak berarti apa-apa. Seperti halnya banyak mahasiswa yang sudah tidak lagi mengedepankan adab terhadap dosen. Ini menunjukkan bagaimana adanya kemerosotan sopan santun yang ada dalam diri mahasiswa. Jika dulu saat masih menjadi siswa begitu menghormati pada guru, maka hari ini di dalam kampus mahasiswa bersikap seakan-akan telah mampu menandingi seorang guru atau dosen. Sangat mungkin, ini terjadi karena persoalan salah menafsirkan gelar ‘maha’ tersebut sehingga membuat seorang mahasiswa merasa bahwa dirinya sama dengan dosen. Apalagi jika sang dosen kurang dalam penilaiannya, maka muncullah sikap semacam acuh tak acuh dan mulai tidak menghargai dosen. Dan inilah yang kini banyak menjadi penyakit dalam diri seorang mahasiswa.
Potret sikap mahasiswa semacam ini banyak kita jumpai di dalam kampus. Mereka merealisasikan sikap ketidaksukaannya dengan berbagai bentuk, dari mulai tidak mendengarkan dosen ketika mengisi materi sampai berulah dengan cara keluar saat kelas berlangsung. Sikap demikian tak lain hanya ingin membuktikan bahwa si mahasiswa tidak suka atau jenuh pada materi kuliah dari dosen terkait yang tidak memberi inspirasi.
Hal lain yang menjadi cermin kemorosotan moral di kampus dapat ditemui pada mahasiswa yang terjerumus dalam pergaulan bebas. Lazimnya, ini banyak terjadi pada mereka yang sudah berstatus hubungan pacaran. Bahkan sampai ada sebuah kalimat popular yang sering dilontarkan bahwa ‘pacaran tanpa melakukan hubungan intim, itu bukan pacaran’. Nah, jika hal demikian sudah benar-benar terjadi, maka sungguh menjijikkan sekali apa yang diperbuat oleh mereka. Padahal melihat gelar yang disandang, sudah jelas mereka mempunyai pengetahuan melebihi orang yang tidak berstatus mahasiswa. Betapa memalukannya, sementara mereka yang tidak bergelar mahasiswa justru mampu mengendalikan hubungan agar tidak sampai masuk ranah yang dilaknat oleh sang pencipta.
Maka tidak heran, jika ada sebuah kalimat yang sudah viral di kalangan remaja, yakni ‘sisakan perawan untuk generasi kami’. Dari quote ini, sudah terbayang dalam benak bahwa sebagian warga kampus yang berstatus pacaran cenderung disertai sebuah hubungan yang dilarang agama. Hal demikian dapat terjadi karena mereka menganggap pacaran yang disertai dengan hubungan imtim adalah sebuah cinta karena tidak didasari dengan unsur pemaksaan. Padahal, apa yang dilakukan itu akan menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan mereka dan akan mendapat murka sang Ilahi.
Ada juga mahasiswa yang terjerumus dalam lingkungan kampus yang salah. Ini bisa dilihat dari bagaimana mahasiswa harus mempertahankan segala keyakinannya dan segala pesan yang diamanatkan oleh orang tua pada dirinya. Seperti kita ketahui, ada kampus yang berada dalam lingkungan yang terkenal dengan dunia malam. Tentu ini menjadi suatu problem yang sangat sulit bagi mahasiswa untuk tidak ikut terjerumus dalam dunia semacam itu. Maka tidak heran, jika dilihat dari data kepolisian pelaku tindak kriminal banyak dari kalangan remaja. Di tahun 2015, kasus kenakalan remaja tercatat mencapai 7762 kasus. Jumlah ini setiap tahunnya diprediksi meningkat sebesar 10,7%. Sehingga jika prediksi itu benar terjadi, maka di tahun 2018 ini angka kenakalan remaja mencapai 10549,70 kasus.
Data yang diambil Badan Pusat Statistik (BPS) di atas pada dasarnya menjukkan bahwa tingkat kejahatan kriminal yang dilakukan oleh remaja, khususnya di kalangan mahasiswa, sangat besar. Dari mulai yang menjual diri untuk membayar biaya kuliah sampai ada yang ikut tren yang ada, seperti halnya ikut minum-minuman keras dan pergaulan bebas. Mereka seakan telah lupa pesan dari orang tua di rumah. Kalaupun ada yang menanyakan alasan kenapa melakukan hal demikian, maka tentu mereka telah menyiapkan seribu alasan. Entah karena persoalan ekonomi, keadaan yang memaksa, dan lainnya. Meskipun demikian, jika mereka mau mempergunakan jiwa dan daya pikir dengan baik, maka tentu jalan yang merugikan seperti menjual diri dan pergaulan bebas, tidak akan dilakukan. Karena dalam segala kesulitan yang mereka alami, masih ada jalan lain yang bisa ditempuh selain melakukan hal buruk tersebut.
Dewasa ini, kita tidak usah tercengang mendengar mahasiswa digrebek polisi karena minum-minuman keras, pergaulan bebas, tawuran, bahkan mencuri. Itu sudah hal lumrah terjadi pada sebagian mahasiswa. Maka dalam semua potret buruk tersebut, kampus seolah menjadi momen baru bagi seorang siswa memperoleh kebebasan dalam mengenal lebih jauh ke dunia luar rumah. Dan penulis rasa, hal demikian memang realitas yang telah mengakar dalam diri mahasiswa yang telah rusak moralitasnya. Tentu saja, hal seperti mencuri, pergaulan bebas, dan sebagainya itu, menjadi aib yang nantinya akan mencemarkan nama baik diri, keluarga dan kampus. Namun demikian, faktanya mereka tetap acuh tak acuh terhadap dampak yang akan ditimbulkan. Mereka tidak memandang kampus tempat belajar berlabelkan islam atau tidak. Bahkan, mereka juga acuh terhadap perbuatan yang secara tidak langsung telah melukai perasaan orang tua yang sudah membiayai dan menunggu kehadirann sang buah hati untuk dapat membahagiakan dan berguna bagi diri dan lingkungannya.
Kampus memang ajang untuk menguji sekuat mana para warganya mempertahankan segala hal yang menjadi keyakinan. Tentu itu akan membuat semua yang ada di dalam kampus benar-benar diuji. Jika mereka tidak mampu menerima ujian tersebut, maka mereka akan gagal dan akan terjerumus pada lingkaran setan yang melalaikan. Padahal dengan terjerumusnya mereka ke dalam lembah setan seperti halnya pergaulan bebas, pencurian, dll, maka dapat disimpulkan bahwa ajaran agama mereka lemah dan terjadi kemerosotan moral sehingga tidak lagi memikirkan dampak baik-buruknya sebuah tindakan.
Sungguh sangat memprihatinkan jika mendengar seorang mahasiswa terciduk pihak berwajib dalam melakukan tindak kriminal. Hal tersebut sudah pasti juga menjadi pukulan yang sangat keras bagi kedua orang tua yang bersangkutan karena merupakan sebuah aib bagi keluarga. Maka sepantasnyalah seorang mahasiswa tetap mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh kedua orang tua dan guru sejak sebelum menginjak bangku kuliah. Nilai-nilai yang nantinya akan mencegah dan membentengi diri dari segala bentuk bisikan setan yang merugikan diri dan orang lain. Seperti sebuah ayat yang berbunyi ‘sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Mahasiswa yang mempertahankan nilai-nilai luhur dan agama tidak akan mudah terjerumus pada pergaulan bebas. Itu karena mereka telah mempersiapkan diri dan telah membentengi diri dari segala godaan setan yang nantinya aka membawa keburukan. Karena itu, agar terhindar dari terjerumus dalam lingkaran setan, mahasiswa harus tetap mempertahankan nilai-nilai luhur dan agama yang telah diajarkan sejak masih kecil oleh keluarga dan guru. Sehingga nantinya, ketika mahasiswa kembali dengan gelar sarjana, sudah mempunyai ide-ide yang kreatif yang mampu mengubah pola pikir dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat. *Mahasiswa STAIM Terate, Pandian, Sumenep. Aktif di UKM LPM Obor.