Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

Perkembangan Terorisme di Indonesia

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Kamis, 31 Mei 2018
  • Dilihat 88 Kali
Bagikan ke

Perkembangan Terorisme di Indonesia Oleh: Sofiatul Fitriyah Mahasiswi PBA IAIN MADURA Pola dan jaringan Dari sekian banyak kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, pola dan jaringannya terlihat mengalami perubahan: berkembang dari satu pola ke pola yang lain. perubahan yang paling kentara adalah pergeseran dari terorisme tradisional menjadi pola. Terorisme tradisional secara umum ditandai dengan adanya kelompok dengan personel dan komando yang jelas. Sistem organisasinya berlangsung berdasarkan sistem piramid-hirarkis. Aktor terlibat secara penuh, mulai dari perencanaan hingga ploting target. Melakukan pemilihan target secara selektif. Operasi serangan dilakukan secara konservatif. Sementara kelompok atau organisasi yang melakukan serangan mengklaim atau mengakui perbuatannya. Terorisme model ini terjadi pada masa sebelum gencar-gencarnya operasi terorisme pasca tragedi 11 September yang melibatkan Al Qaeda dan Al Jama’ah al Islamiyah (JI). Peristiwa bom Bali I dan II, serta bom J.W. Marriot I dan II adalah produk dari terorisme pola tradisional. Serangan direncanakan dengan pengorganisasian, pendaan, dan perencanaan yang matang, sehingga menghasilkan efek serangan yang dahsyat. Perubahan dari pola tradisional ke pola modern terjadi beberapa tahun pasca Bom Bali I dan II, yakni ketika sel-sel dan beberapa nama aktor teroris dan jaringan terorisme global muali terkuak. Pada masa ini koordinasi dan dukungan dari aktor lokal mulai tersendat. Dalam kondisinya yang kian terjepit, para teroris kemudian mulai mengeksplorasi pola baru yang ditandai dengan aksi-aksi terorisme yang dilakukan secara mandiri. Struktur organisasi terpisah dan tidak jelas, kendali komandi bersifat mendatar. Kelompok besar teroris mulai terpecah kedalam kelompok-kelompok kecil yang melakukan aksi teroris secara terpisah. Sistem pendanaan dilaksanakan secara terpisah atau dengan menjalin kerjasama antara kelompok jika dimungkinkan. Target tidak lagi harus ditentukan oleh pemimpin besar, mereka juga tidak lagi melakukan pengakuan publik atas aksi-aksi terorisme yang dilakukan. Pola ini terlihat pada kasus Bom Cirebon, Bom Serpong, dan Bom Solo. Pola terorisme modern memunculkan fenomena baru bernama Phantom Cell Network (jaringan sel hantu), Leaderless resistance (perlawanan tanpa pimpinan), dan lone wolver(serigala tunggal). Jaringan sel hantu pertama kali dikembangkan oleh Ulius Louis Amoss pada awal tahun 1960-an. Jaringan ini adalah ‘hubungan gelap’ antar grup yang dijalankan secara sangat rahasia. Tidak memiliki ikatan kelompok, struktur kelompok tidak jelas, namun memiliki kesamaan ideologi. Sementara jaringan terorisme tanpa pimpinan (Leaderless resistance) mengambil pemimpin (spiritual) hanya untuk dijadikan sebagai motivator untuk sosok-sosok yang dinilai sudah ikhlas untuk menjadi martir (mereka biasa menyebutnya degan “pengantin”) dalam menentukan dan menyerang targetnya. Sedangkan jaringan serigala tunggal (lone wolver) adalah aktor-aktor yang telah termotivasi dan sanggup merencanakan dan mengeksekusi aksi terorisme secara mandiri/ dalam konteks ini, status si aktor atau organisasinya tidak terlalu dipermasalahkan. Karena yang paling penting adalah aksi terorisme dapat terus berjalan; semakin banyak mendapat serigala tunggal semakin bagus, serangan tetap berlangsung meskipun hanya bersekala kecil.