DOSA BESAR PENDIDIKAN
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Jumat, 22 September 2023
- Dilihat 3512 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Di awal 2022, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menyebutkan tiga dosa besar pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan/kekerasan, dan intoleransi. Penggunaan bahasa agama--dosa besar--tampaknya untuk menggugah para pelaku pendidikan akan penting dan mendesaknya mengatasi masalah tersebut secara bersama-sama. Karena, jika dibiarkan akan sangat membahayakan masa depan bangsa, mengingat pelajar saat ini merupakan pemimpin masa depan. Tulisan ini akan membaca satu dosa besar pendidikan tersebut, yakni dosa kekerasan seksual terhadap peserta didik di satuan pendidikan.
Dalam kbbi.kemdikbud.go.id kekerasan seksual berarti “segala bentuk tindakan terkait dengan hasrat seksual seseorang yang dilakukan secara paksa kepada orang lain.” Bentuknya bisa beragam seperti mencium/memegang/memeluk/meraba area sensitif secara paksa, ancaman/percobaan pemerkosaan, hingga memperkosa/memperkosa dengan kekerasan. Lalu, sejauh mana kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan dianggap serius sehingga dikategorikan sebagai salah satu dosa besar pendidikan? Dilansir Media Indonesia (3/7/23), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan pendataan kasus kekerasan seksual (KS) yang terjadi di wilayah satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kemendikbud dan Kementerian Agama. Pendataan dilakukan sejak Januari sampai dengan Mei 2023 terhadap kasus yang telah dilaporkan ke pihak kepolisian. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam masa 5 bulan telah terjadi 22 kasus KS di satuan pendidikan dengan jumlah korban mencapai 202 peserta didik. Jika dibuat rata-rata, berarti setiap pekan terjadi satu kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Para pelaku terdiri dari guru sebanyak 31,80%, pemilik dan/atau pemimpin pondok pesantren sebanyak 18,20%, kepala sekolah sebanyak 13,63%, guru ngaji (satuan pendidikan informal) sebanyak 13,63%, pengasuh asrama/pondok sebanyak 4,5%, kepala madrasah sebanyak 4,5%, penjaga sekolah (4,5%), dan lainnya (9,%).
Informasi di atas, hanya dari satu sumber yang kasusnya sudah dilaporkan ke pihak kepolisian, dan dalam masa 5 bulan di tahun 2023. Belum lagi dari sumber lain, waktu yang lain, dan terutama dalam kasus yang belum dilaporkan (karena pada umumnya pihak korban bersikap tertutup untuk melaporkan karena menyangkut aib). Pendek kata, informasi tentang jumlah dan bentuk kekerasan seksual terhadap peserta didik sangat mudah didapat di banyak media sosial. Dengan demikian, sangat beralasan mengapa Mendikbud menyebut kekerasan seksual terhadap peserta didik sebagai salah satu dosa besar pendidikan. Dan yang sangat memprihatinkan, mayoritas pelakunya adalah para guru, sosok yang seharusnya digugu dan ditiru.
Bagaimana dampak kekerasan seksual terhadap korban? Pertama, secara psikologis korban akan mengalami trauma yang mendalam, selain itu stres yang dialami korban dapat menganggu fungsi dan perkembangan otaknya. Kedua, secara fisik, kekerasan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan penyakit menular seksual. Selain itu, korban juga berpotensi mengalami luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi. Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Ketiga, dampak sosial, korban kekerasan dan pelecehan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial, hal yang seharusnya dihindari karena korban pastinya butuh motivasi dan dukungan moral untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya, terutama untuk melanjutkan pendidikannya (law.ui.ac.id/bahaya-dampak-kejahatan-seksual).
Apa saja penyebab kekerasan seksual di satuan pendidikan? Pertama, kian mudahnya akses pornografi di dunia maya, dan anak cenderung mencoba/meniru ke dunia nyata; kedua, kurangnya perhatian orang tua di rumah dan pihak sekolah untuk memantau dan mengontrol perilaku dan pergaulan anak terutama yang mengarah ke pergaulan bebas; ketiga, kurangnya sex education yang positif terhadap anak baik di keluarga maupun di sekolah; keempat, dalam hal kekerasan seksual terjadi di asrama/pesantren, penyebab utamanya karena besarnya kesempatan dan peluang pengasuh untuk melakukannya; dan kelima, kurang optimalnya penegakan hukum bagi pelaku sehingga belum efektif dalam memberikan efek jera.
Bagaimana pandangan Islam? Pemerkosaan tentu saja dilarang keras dan termasuk dosa besar yang di dunia diancam pidana berat dan di akhirat diancam neraka. Kekerasan seksual selain pemerkosaan, sebagaimana penjelasan di atas, juga dilarang, diancam pidana, dan berdosa. Bukan hanya itu, perbuatan seksual yang dilakukan suka sama suka pun--yang disebut perzinaan--juga dilarang keras dan termasuk perbuatan dosa besar. Dalam hal ini, Islam melarang keras perbuatan yang mendekati zina, apalagi perzinaanya. Sebagaimana firman Allah Wa-lā taqrabuz zinā, innahū kāna fāhisyatan wa sā-a sabīlā (Dan jangan kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk).
Nah, perzinaan ini yang luput dari perhatian Mendikbud. Padahal, di samping dilarang keras agama, perzinaan berdampak pada rusaknya moral anak bangsa, masa depannya gelap, akan kehilangan martabat dan harga dirinya di masyarakat, pelaku zina dapat dianggap menjijikan dan menjadi sampah bagi masyarakat. Masalahnya, perzinaan di kalangan pelajar sulit terdeteksi karena dilakukan suka sama suka, dan baru ketahuan jika tertangkap basah atau hamil. Kasus-kasus perzinaan di kalangan pelajar tak terhitung jumlahnya. Misalnya, dalam setiap perayaan tahun baru, valentine day, dan hari kelulusan, media sosial sering memberitakan penjualan kondom meningkat dan temuan kondom-kondom bekas berserakan di tempat-tempat tertentu.
Jadi, jangan hanya kekerasan seksual yang dipandang sebagai dosa besar pendidikan, perzinaan pun tak kalah besar mudaratnya bagi masa depan bangsa dan negara. Dan ini harus mendapat perhatian besar dari pemerintah, orang tua, pelaku pendidikan, dan masyarakat luas agar kasus-kasus kekerasan seksual dan perzinaan ini dijauhkan dari peserta didik kita (5).
Editor: AF/Humas IAIN Madura